Ilustrasi. (ist)


Lilik Fauzah dan Isrofatul Laili*)

Adanya Tantangan masa kini terhadap perkembangan karakter yang meliputi Pertama: Pola pikir dan gaya hidup dapat dipengaruhi oleh adanya globalisasi yang menawarkan dimensi baru pengetahuan dan otoritas dalam pola pikir dan gaya hidup anak dan remaja. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari dengan bentuk konsumerisme, materialisme, hedonism dan cara berpikir instan. Kedua: Semakin maraknya penyalahgunaan kekuasaan, melemahnya penghargaan terhadap sesama sebagai akibat pergeseran pemahaman dan penerapan nilai-nilai dan moral kehidupan. Ketiga: Perubahan pemahaman dan sikap seksualitas, pelecehan seksual, LGBT, masih adanya ketidakadilan/diskriminatif terhadap gender antara laki dan perempuan/seksisme, komodifikasi seks, dll. Keempat: Terjadinya tawuran remaja, pertikaian antar kelompok yang berakhir dengan kekerasan, tayangan media yang mengeksplorasi kekerasan, sebagai akibat penyimpangan perilaku sosial dalam masyarakat. Kelima: Meningkatnya fanatisme dan radikalisme Keenam: Penyimpangan dalam penggunaan media sosial dan tekhnologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih. Ketujuh: Pengaruh kemajuan tekhnologi , seni, budaya negara maju dapat mengakibatkan kemerosotan peradaban kebudayaan bangsa.


Terjadinya Kemerosotan moral yang dapat menghancurkan peradaban bangsa, pertama: Urgensitas Pendidikan karakter perlu segera diimplementasikan karena adanya berbagai macam perilaku yang non-educatif telah masuk dalam lembaga pendidikan seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, bisnis mania lewat sekolah, korupsi, dan kesewenang-wenangan yang terjadi di duaia luar namun juga juga di kalangan sekolah. Banyaknya peristiwa yang terjadi dalam dunia pendidikan pada akhir-akhir ini, akan semakin merendahkan harkat dan derajat manusia, hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dll. (Doni Koesoma ) kedua Brooks dan Goble mengindikasikan bahwa kejahatan dan bentuk-bentuk perilaku yang tidak bertanggungjawab semakin meningkat dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan dan telah merembes serta menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses reproduksi sosial. Masyarakat sedang berada dalam ancaman tindak kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan, anak-anak yang kabur atau membolos dari sekolah (truancy), kehamilan di kalangan anak-anak muda-diluar nikah, bisnis hitam (business fraud), korupsi para politisi, kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat kepada orang lain, dan memupusnya etika profesi.

Pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internaIisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam pertumbuhan yang semakin utuh. Jika menengok ke belakang, pendidikan berasal dari bahasa Latin educare yang berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Kata “educare” merupakan gabungan dari preposisi ex yang artinya keluar dari dan kata kerja ducere yang berarti memimpin. Oleh karena itu, kata educare bisa berarti kegiatan sebuah proses pembimbingan untuk menarik keluar atau membawa keluar.

Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad 18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualitas dalam pendidikan yang dikenal dengan teori pendidikan normative. Karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan yang diambilnya.

Menurut FW Foerster (1869-1966), pendidikan karakter mengarus-utamakan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pembentukan karakter terwujud dalam kesatuan esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya.

Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa pendidik terkemuka di awal berdirinya Republik Indonesia seperti RA Kartini, Moh Natsir, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka telah menerapkan pendidikan karakter dalam pembentukan kepribadian mereka.

Pidato Soekarno sebagaimana dikutip harian Suluh Indonesia Muda 1928, “Djikalau kita ingin mendidik rakjat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, djikalau kita ingin mendidik rakyat Indonesia menjadi tuan atas dirinja sendiri, maka pertama-tama haruslah kita membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam hati sanubari rakjat Indonesia itu ia punya Roch dan Semangat menjadi Roch-Merdeka dan Semangat Merdeka yang sekeras-kerasnya, yang harus pula kita hidup-hidupkan mendjadi api kemauan-merdeka jang sehidup-hidupnja! Sebab hanya Roch-Merdeka dan Semangat-Merdeka jang sudah bangkit mendjadi Kemauan Merdeka sahadjalah jang dapat melahirkan sesuatu perbuatan-Merdeka jang berhasil (bdk. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global: 47).

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Peradaban Bangsa

Keterpaduan dimensi-dimensi dalam pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010 telah Sistem pendidikan menanamkan nilai-nilai sesuai budaya bangsa dengan komponen: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik menjadi satu kesatuan juga meningkatkan kecerdasan siswa secara holistik yang menyeluruh yakni pada kecerdasan IQ, EQ maupun SQ, dan SQ inilah yang menjadi landasan memnfunsikan IQ dan EQ secara efektif untuk mencapai titik maximal. Dimana hal ini telah dirumuskan dalam dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, menyatakan karakkter merupakan keterpaduan 4 bagian yaitu:

  1. Olah hati, didalam olah hati terdapat nilai karakter perasaan sikap, keyakinan/keimanan;
  2. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna menilai dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif;
  3. Olah Raga, didalam olah raga ada proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, penciptaan aktifitas baru disertai sportifitas;
  4. Olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas, yang tercermin dalam kepedulian, pecitraan dan penciptaan kebaharuan.


Dalam pandangannya ada empat ciri fundamental yang harus dimiliki. Pertama, keteraturan inferior di mana setiap tindakan manusia diukur berdasarkan hierarki nilai. Dengan demikian karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal pertentangan, melainkan merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai. Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi yang berarti kemampuan untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain. Dan keempat, keteguhan dan kesetiaan yang merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih (Dono Koesoema 2007: 43).

Untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa, salah satu dari gerakan nasional revolusi mental kementerian pendidikan dan kebudayaan menetapkan penguatan pendidikan karakter masuk dalam sistem pendidikan nasional. Pertumbuhan karakter bangsa ingin dilaksanakan secara masif dan sistematis.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa: “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 pasal 1 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK tersebut merupakan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik. Hal itu dicapai melalui olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang akan diterapkan diseluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka keberhasilan pendidikan karakter tidak dapat dilepaskan dari praksis pendidikan dalam kelas. Peristiwa pengajaran di dalam kelas merupakan momen pendidikan karakter yang sangat strategis. Di dalam kelas guru adalah penentu semua kebijakan yang mengendalikan dan mengarahkan seluruh proses pendidikan. Dalam interaksi antara guru dan peserta didik inilah terjadi interaksi dan proses penanaman nilai dari pendidik kepada peserta didik. Doni Koesoema (2007: 231) menyatakan praksis kelas menjadi ajang strategis pembentukan karakter.

Pendidikan karakter dapat menjadikan kecerdasan spiritual dalam mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi dalam keterpadaun dengan olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa untuk memajukan peradaban bangsa sebagai bangsa yang unggul dan tangguh. (Doni K, 2018) salah satunya melalui praksis pendidikan dalam kelas.

*) Penulis
Lebih baru Lebih lama