Ilustrasi. (ist) |
Lilik Fauzah dan Isrofatul Laili*)
Adanya Tantangan masa kini terhadap perkembangan karakter yang meliputi Pertama: Pola pikir dan gaya hidup dapat dipengaruhi oleh adanya globalisasi yang menawarkan dimensi baru pengetahuan dan otoritas dalam pola pikir dan gaya hidup anak dan remaja. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari dengan bentuk konsumerisme, materialisme, hedonism dan cara berpikir instan. Kedua: Semakin maraknya penyalahgunaan kekuasaan, melemahnya penghargaan terhadap sesama sebagai akibat pergeseran pemahaman dan penerapan nilai-nilai dan moral kehidupan. Ketiga: Perubahan pemahaman dan sikap seksualitas, pelecehan seksual, LGBT, masih adanya ketidakadilan/diskriminatif terhadap gender antara laki dan perempuan/seksisme, komodifikasi seks, dll. Keempat: Terjadinya tawuran remaja, pertikaian antar kelompok yang berakhir dengan kekerasan, tayangan media yang mengeksplorasi kekerasan, sebagai akibat penyimpangan perilaku sosial dalam masyarakat. Kelima: Meningkatnya fanatisme dan radikalisme Keenam: Penyimpangan dalam penggunaan media sosial dan tekhnologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih. Ketujuh: Pengaruh kemajuan tekhnologi , seni, budaya negara maju dapat mengakibatkan kemerosotan peradaban kebudayaan bangsa.
Pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internaIisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam pertumbuhan yang semakin utuh. Jika menengok ke belakang, pendidikan berasal dari bahasa Latin educare yang berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Kata “educare” merupakan gabungan dari preposisi ex yang artinya keluar dari dan kata kerja ducere yang berarti memimpin. Oleh karena itu, kata educare bisa berarti kegiatan sebuah proses pembimbingan untuk menarik keluar atau membawa keluar.
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad 18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualitas dalam pendidikan yang dikenal dengan teori pendidikan normative. Karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan yang diambilnya.
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa pendidik terkemuka di awal berdirinya Republik Indonesia seperti RA Kartini, Moh Natsir, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka telah menerapkan pendidikan karakter dalam pembentukan kepribadian mereka.
Pidato Soekarno sebagaimana dikutip harian Suluh Indonesia Muda 1928, “Djikalau kita ingin mendidik rakjat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, djikalau kita ingin mendidik rakyat Indonesia menjadi tuan atas dirinja sendiri, maka pertama-tama haruslah kita membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam hati sanubari rakjat Indonesia itu ia punya Roch dan Semangat menjadi Roch-Merdeka dan Semangat Merdeka yang sekeras-kerasnya, yang harus pula kita hidup-hidupkan mendjadi api kemauan-merdeka jang sehidup-hidupnja! Sebab hanya Roch-Merdeka dan Semangat-Merdeka jang sudah bangkit mendjadi Kemauan Merdeka sahadjalah jang dapat melahirkan sesuatu perbuatan-Merdeka jang berhasil (bdk. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global: 47).
Keterpaduan dimensi-dimensi dalam pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010 telah Sistem pendidikan menanamkan nilai-nilai sesuai budaya bangsa dengan komponen: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik menjadi satu kesatuan juga meningkatkan kecerdasan siswa secara holistik yang menyeluruh yakni pada kecerdasan IQ, EQ maupun SQ, dan SQ inilah yang menjadi landasan memnfunsikan IQ dan EQ secara efektif untuk mencapai titik maximal. Dimana hal ini telah dirumuskan dalam dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, menyatakan karakkter merupakan keterpaduan 4 bagian yaitu:
- Olah hati, didalam olah hati terdapat nilai karakter perasaan sikap, keyakinan/keimanan;
- Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna menilai dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif;
- Olah Raga, didalam olah raga ada proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, penciptaan aktifitas baru disertai sportifitas;
- Olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas, yang tercermin dalam kepedulian, pecitraan dan penciptaan kebaharuan.
Untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa, salah satu dari gerakan nasional revolusi mental kementerian pendidikan dan kebudayaan menetapkan penguatan pendidikan karakter masuk dalam sistem pendidikan nasional. Pertumbuhan karakter bangsa ingin dilaksanakan secara masif dan sistematis.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa: “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 pasal 1 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK tersebut merupakan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik. Hal itu dicapai melalui olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang akan diterapkan diseluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan karakter dapat menjadikan kecerdasan spiritual dalam mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi dalam keterpadaun dengan olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa untuk memajukan peradaban bangsa sebagai bangsa yang unggul dan tangguh. (Doni K, 2018) salah satunya melalui praksis pendidikan dalam kelas.
*) Penulis