Potret peserta didik mengenakan ikat hasduk sebagai tanda semangat nasionalisme. (ist)

Ach. Taufiqul Umam, Arif Wijayanto, Siti Uswatun Khasanah, dan Zainal Muttaqin*

Pendidikan merupakan sebuah jembatan bagi manusia untuk mengetahui segala sesuatu, mengidentifikasi antara yang benar dan salah. Proses mencari tahu dan memberitahu merupakan hakikat manusia sebagai makhluk Allah swt yang dikaruniai akal yakni mencari tahu dari diri sendiri, orang lain dan alam sekitar. Menurut Daradjat (1996:16), pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia karena hal ini potensi dididik dan mendidik. Adapun fokus utama pendidikan agama islam adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia.

Shihab (2016:4) menyatakan bahwa akhlak adalah sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui kehendak dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Pendidikan agama merupakan bagian pendidikan yang sangat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain akhlak, keagamaan dan sosial masyarakat. agama memberikan motivasi hidup dalam kehidupan.

Dewasa ini, sorotan utama pendidikan di Indonesia adalah akhlak peserta didik karena dekadensi moral yang semakin ambruk. Krisis tersebut merupakan masalah-masalah sosial antara lain tawuran antar pelajar, pemerasan/kekerasan (bullying), penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, kebiasaan mencontek dan lain sebagainya. Saat ini permasalahan tersebut belum dapat diatasi secara tuntas padahal sejatinya salah satu aspek yang diutamakan dalam proses pembelajaran di Indonesia adalah membangun mental positif dalam berbagai dimensi yang tergambar pada undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 77,9 juta keluarga, dan populasi remaja adalah sekitar 27,94 % dari jumlah tersebut. Kepala BPS juga menyampaikan klasifikasi penduduk Indonesia berdasarkan generasi, di mana penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z dan Generasi Milenial, dengan proporsi masing-masing 27,94 persen dan 25,87 persen. Generasi Z adalah mereka yang lahir tahun 1997-2012, yang saat ini diperkiraan berusia 8-23 tahun, sementara Generasi Milenial lahir di tahun 1981-1996 dan saat ini diperkiraan berusia 24-39 tahun. Menurut pendapat Mehta, dkk., (1998) menyatakan bahwa selain itu perubahan apapun dalam pola pendidikan, sikap, usia menikah dan gaya hidup dikalangan generasi Z atau remaja akan memberikan dampak pada lingkungan sosial dimanapun mereka berada (Mehta, Groenen, Roque, 1998). Tentu saja masalah kemerosotan akhlak dikalangan remaja saat ini tidaklah datang begitu saja. Menurut Rachman (2012) menyebutkan bahwa pada masa transisi ini remaja mengalami ketidaktentuan dan ketidakpastian, serta banyak sekali mendapatkan godaan atau tarikan-tarikan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak jelas.

Konsep Dasar Akhlak dan Karakter

Karakter menurut Thomas Lickona (1991: 82) adalah nilai operatif dalam tindakan. Karakter didapatkan melalui proses seiring sebuah nilai menjadi kebaikan. Selain itu, karakter juga bisa dipahami sebagai suatu disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menanggapi sebuah situasi sesuai moral baik. Sementara itu, pusat studi karakter di Amerika Josephson Institute of Ethics (2007) menyatakan bahwa karakter merupakan ciri yang dapat dikenali dalam diri sesorang yang terdiri dari enam pilar kebaikan, yaitu kepercayaan, rasa hormat, tanggung jawab, keadilan, peduli dan kewarganegaraan. Pernyataan ini juga diadopsi oleh Ghozali Rusyid Affandi (2014), yang menyatakan bahwa karakter erat kaitannya dengan habit (kebiasaan) yang terus menerus dilakukan yang harus diiringi oleh komponen penting desiring the good atau keinginan untuk berbuat baik. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna karakter berorientasi pada realisasi perkembangan positif seseorang sebagai pribadi intelektual, sosial, emosional, dan etis.

Sedangkan, akhlak secara bahasa berasal dari Bahasa Arab adalah bentuk jamak dari Khuluq yang pada mulanya bermakna ukuran, latihan dan kebiasaan (Shihab, 2016:3). Selain itu, Suwito (2004: 76) juga mengemukakan bahwa akhlak merupakan kata khuluq yang bermakna adat kebiasaan, perangai, tabi’at, watak, adab atau sopan satun dan agama. Menurut Quraish Shihab (2016:123) akhlak adalah sifat dasar/kondisi kejiwaan yang telah terpendam lagi mantap di dalam diri seseorang dan yang tampak ke permukaan melalui kehendak atau kelakuan dan itu terlaksana dengan sangat mudah, tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Dari penjelasan tentang akhlak, dapat ditarik suatu pengertian yang lebih jelas, bahwa akhlak memiliki makna yang lebih luas dan mendalam. Dan perbuatan baik dan buruk dalam ilmu akhlak bersandarkan dari agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis bukan dari akal pikiran atau dari teori filsafat. Pembentukan moral merupakan tujuan utama pendidikan Islam dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pembinaan pribadi. Pendidikan akhlak menjadi karakter terpenting pendidikan Islam yang membedakannya dengan pendidikan umum (Hamim, 2014). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari Anwar (2010: 12) bahwa agama pada dasarnya adalah akhlak. Barang siapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanya pun mulia. Agama diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu kesabaran, memelihara diri, keberanian dan keadilan.

Pendidikan Akhlak di Indonesia

Dunia pendidikan memiliki peran yang cukup besar dalam hal pembentukan perilaku anak sejak dini. Pendidikan akhlak sejak awal merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam dalam menumbuhkan dan memantapkan kecenderungan tauhid yang telah menjadi fitrah manusia. Menurut Mubarok (2001: 45) pendidikan akhlak sangat berperan dalam membentuk kepribadian seseorang terutama kepribadian muslim. Pendidik harus mampu memberikan wawasan, materi, mengarahkan dan membimbing peserta didiknya ke arah yang lebih baik dengan penuh perhatian, sabar, ulet, tekun, dan berusaha terus menerus. Bila hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar maka peserta didik akan terkesan dalam sanubarinya sehingga terbina kepribadian yang Islami.

Di Indonesia, lembaga pendidikan dibagi menjadi dua yaitu lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum. Lembaga pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam tubuh pendidikan nasional yang tertuang pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Daulay (2012: 7) setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan pendidikan Islam yaitu Pertama, secara kelembagaan pendidikan madrasah diakui setara dengan sekolah. Kedua, Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran diakui keberadaannya baik di sekolah-sekolah maupun madrasah. Ketiga, nilai terdapat seperangkat nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional.

Lembaga pendidikan Islam mempunyai otonomi untuk mengembangkan kurikulum agamanya. Salah satunya dengan membagi mata pelajaran agama Islam kepada empat mata pelajaran yaitu salah satunya adalah mata pelajaran akidah akhlak. Pelajaran akidah akhlak sendiri memiliki dua komponen dasar yaitu pelajaran tentang akidah Islamiyah dan pelajaran akhlak.

Lingkungan sekolah atau madrasah merupakan tempat bertemunya semua watak dan perilaku peserta didik yang berbeda-beda. Ada peserta didik yang nakal, berperilaku baik, sopan dalam bertutur kata, beringas sifatnya, pandai pemikirannya dan sebagainya. Kondisi kepribadian peserta didik yang sedemikian rupa dalam interaksi antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya dapat saling mempengaruhi kepribadiannya.

Quraish Shihab (2016: 134) mengemukakan bahwa pendidikan akhlak di Indonesia untuk mengetahui lebih dalam perihal baik dan buruk. Untuk itu perlu adanya proses belajar salah satunya melalui pendidikan formal atau sekolah. Di sinilah tempat untuk membentuk sebuah paradigma universal perihal apa yang dinamakan baik dan buruk bagaimana cara untuk melakukan kebaikan menghindari keburukan, serta membagikan kebaikan dan mencegah keburukan. Pendidik harus memberi contoh bahwa yang benar harus didahulukan. Pendidik tidak harus menguasai berbagai bidang pelajaran atau kehidupan, setidaknya harus lebih bijaksana dalam bidang yang ditekuninya.

Kontribusi Pendidikan Akhlak dalam Membentuk Karakter Peserta didik

Pendidikan akhlak memiliki kontribusi penting dalam mengembangkan karakter peserta didik. Sebagaimana diungkapkan oleh Nurhaedah, bahwa diantara peranan pendidikan akhlak dalam membentuk karakter peserta didik adalah sebagai berikut:

Pendidikan Akhlak Sebagai Filter Pengaruh-Pengaruh Negatif Luar

Dewasa ini pengaruh mordenisasi sangat kuat terhadap perilaku manusia, seperti budaya pop yang secara tidak sadar masyarakat melakukannya. Budaya pop adalah budaya dimana ia hadir dalam wujud yang serba menyenangkan, glamour, instant, dan pragmatis atau disebut juga budaya hiburan yang mana keindahan dan kecantikan menjadi gambaran dari citra seseorang (Muhyidin, 2008: 7). Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Media dapat dijadikan alat yang sangat ampuh untuk menanamkan atau merusak nilai-nilai akidah dan untuk mempengaruhi pola pikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Dengan kondisi dan realitas kehidupan manusia dewasa ini sehingga peran pendidikan akhlak dalam mengembangkan karakter sangat penting kehadirannya guna mengantisipasi terjadinya dekadensi akhlak dari pengaruh perkembangan globalisasi tersebut.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan memberikan pendidikan akhlak pada anak dengan baik. Pendidikan akhlak yang diberikan membutuhkan kerja sama antara orang tua dan guru di sekolah. Adapun hal-hal yang dapat kita lakukan dalam mendidik anak agar anak dapat menghadapi kemajuan zaman dan mampu menghancurkan kemaksiatan maka Muhyidin (2008: 23) melakukan dengan cara mendidik anak hingga mereka menjadi cerdas dan mendidik anak-anak kita dengan kebenaran Al-Qur’an. Dengan kata lain pendidikan akhlak wajib diberikan kepada anak sejak usia dini sebagai bentuk tanggung jawab moral orang tua terhadap anak, disamping pengharapan menciptakan generasi yang berprilaku baik (berakhlak mulia) demi kenyamanan, kedamaian dan kebahagian baik dunia maupun akhirat.

Pendidikan Akhlak Sebagai Pembina Nilai Akhlak dan Moral Peserta didik Sehingga Menentukan Sikap dan Perilakunya

Pendidikan akhlak memiliki peran dan tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada umat manusia utamanya penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan agar menjadi insan kamil manusia yang berakhlak mulia, cerdas dan bertanggung jawab sebagai cermin dari kepribadiannya. Nata (2012: 209-210) mengemukakan bahwa pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia ke dalam diri peserta didik, sehingga nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam pola pikir (mindset), ucapan dan perbuatannya, serta dalam interaksinya terhadap Tuhan, manusia (dengan berbagai strata sosial, fungsi dan peranannya) serta lingkungan alam jagat raya. Nilai-nilai tersebut selanjutnya membentuk visi trancendental-spiritual, visi sosiologis dan visi ekologis. Nilai-nilai akhlak mulia tersebut kemudian melekat dalam dirinya sehingga membentuk budaya perilaku dan karakternya. Pendidikan akhlak merupakan pendidikan nilai yang pertama didapat anak dari keluarganya. Pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Pola asuh orang tua baik yang menerima atau yang menolak anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, social-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa.

Kesimpulan

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama, yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan Timur dan Islam, sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Thomas Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan sebagaimana dikutip oleh Zubaedi keterkaitan erat antara karakter dengan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai pendidikan.

Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai berdasarkan perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila. Cara membentuk karakter akhlak yang baik ada dua cara yaitu pembiasaan dan meniru keteladanan. Pertama, kebiasaan dapat lahir dari pembiasaan. Kedua, meniru keteladanan. Pada dasarnya sifat manusia adalah mudah meniru. Cara ini membutuhkan adanya sosok teladan yang dianggap memiliki kelebihan atau kesempurnaan.

*) Penulis
Lebih baru Lebih lama