Rahmat Sularso Nh.*


Asesmen Nasional (AN) yang bakal digelar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) RI pada beberapa bulan ke depan. Membuat semua institusi yang terlibat mempersiapkan segalanya sematang mungkin. Penuh harapan agar tak sampai terjadi sebuah kegagalan yang bersifat human error.

Walau nanti yang bakal melaksanakannya tidaklah semua satuan pendidikan, karena hanyalah mereka yang terpilih dari Daftar Pokok Pendidikan (Dapodik) saja. Demikian pula teknis dan mekanisme sepenuhnya di tangan Kemendikbud-Ristek RI dalam pemilihannya. Sementara daerah atau satuan pendidikan tinggal menjalankan saja.

Sebenarnya AN ini kalau lebih diselami lagi tak jauh beda dengan sejumlah ujian yang pernah dijalankan oleh kepala sekolah, guru, maupun peserta didik. Sebab yang dicitakan oleh Kemendikbud-Ristek RI ini muaranya pada pemetaan pendidikan. Sehingga akan ada kualifikasi penilaian yang dimunculkan, lantas ditindaklanjuti dalam intervensi (baca: perbaikan) oleh satuan pendidikan tersebut maupun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memandegani pendidikan tersebut.

Teknis pelaksanaannya besar kemungkinan menggunakan dua jalur, online dan semi online. Mengapa demikian? Sudah bukan rahasia lagi apabila kendala teknis yakni server pusat hingga penyebaran jaringan internet yang dibutuhkan saat dipakai bersamaan dalam jumlah besar sering kali mengalami down. Oleh karenanya, tiada salahnya apabila ada opsi pilihan pelaksanaan semi online itu. Selain lebih memberikan jaminan kelancaran penerapannya, juga kecil sekali kemungkinan kegagalannya.

Hanya tinggal kesiapan jaringan internet, listrik, dan perangkat yang digunakan. Kalau semua itu sudah terpenuhi dengan mumpuni, kemulusan AN besar kemungkinan akan terjamin.

AN secara tidak langsung akan meninjau keseluruhan komponen yang terdapat dalam aktivitas pendidikan. Baik yang bersifat intern yaitu lebih pada pergulatan pembelajaran, maupun ekstern yang bersinggungan langsung dengan sejumlah perangkat pendukung terkait.

Lalu bagaimana dengan online? Sudah tak perlu dijelaskan panjang lebar. Artinya pada prinsipnya tetap mampu berjalan sama halnya dengan semi online. Akan tetapi risiko yang ditanggung jelas lebih besar.

Sembari terus terpancar penuh harapan semuanya akan berlangsung lancar. Tiadakah terbesit tanda tanya besar bila AN ini mampu sebagai indikator penilaian yang jamak?

Mana lagi kalau kita menengok kondisi pendidikan Indonesia sekarang ini. Jelas masih belum merata semuanya meskipun menggunakan satu kurikulum yang seragam.

Jangankan di Indonesia, Jombang sendiri seperti apa? Antara satuan pendidikan yang ada di kota, pedesaan, pengungan, hingga kawasan terluar/terdalam menyesuaikan tipografi yang ada. Masih belum dapat dikatakan serupa. Pastinya dari banyak hal, misalkan saja infrastruktur, SDM, hasil pembelajaran, dan lainnya. Jelas rasanya kurang tepat jika hanya menggunakan satu ukuran dalam menilai kualitas sebuah pendidikan.

Baca Juga: Desa Klitih, Kecamatan Plandaan Pelarian Pasukan Pangeran Diponegoro

Sewajarnya ukuran atau indikator yang digunakan mestilah lebih majemuk. Kalau seumpama secara keseluruhannya mampu sama, barulah AN menjadi pisau bedah yang laik. Karenanya tinggal melihat pada hasil akhir daripada proses yang sudah dijalankan oleh satuan pendidikan serta civitas didalamnya.

Kesempatan Perubahan Keseluruhan

Di tengah ketidaktahuan akan hasil dalam AN nanti seperti apa khususnya bagi dunia pendidikan Jombang. Ada semacam peluang dalam melakukan perubahan lebih baik lagi dalam ranah pendidikan di kota tercinta ini.

AN secara tidak langsung akan meninjau keseluruhan komponen yang terdapat dalam aktivitas pendidikan. Baik yang bersifat intern yaitu lebih pada pergulatan pembelajaran, maupun ekstern yang bersinggungan langsung dengan sejumlah perangkat pendukung terkait.

Kepala sekolah, guru, sekaligus peserta didik adalah unsur-unsur penting dalam roda pendidikan selama ini. Bayangkan saja jikalau suatu satuan pendidikan tak memiliki kepala sekolah atau kurang berkompetensi. Pastinya akan terjadi stagnasi dalam pengembangan yang bersifat berkelanjutan.

Tiada lagi rasanya rencana jangka pendek, menengah, hingga panjang dalam upaya pembentangan pendidikan di angsana. Ibarat dalam sebuah medan peperangan kolosal, kepala sekolah adalah panglimanya. Sangat tidak etis juga panglima membiarkan semua prajuritnya bertempur begitu saja tanpa ada strategi serta arahan guna meraih kemenangan.

Wajar saja andai kata kepala sekolah mesti menindaklanjuti dari jangkauan kompetensi yang dimilikinya sekarang ini. Pasti semua pun telah mengetahui bilamana dalam kubangan pendidikan selalu terjadi perubahan. Dari cepat atau lambat, bahkan secara seketika dipaksa untuk berubah.

Inilah yang dialami saat pembelajaran beralih menjadi online. Praktis hal itu membuat seluruhnya mau tidak mau tetapi wajib mau berubah. Kalau tak melakukan perubahan itu sudah jelas bakal berhenti skema pembelajaran dengan peserta didik. Demikian pun berkenan dipaksakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) akan sangat rentan sekali potensi penularan Covid-19.

Artinya, peran kepala sekolah sangatlah sentral. Mencari solusi beserta dengan langkah taktis sejalan itu strategis agar semua tak merasa kesulitan dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tetapi tetap meraih hasil yang serupa PTM. Boleh jadi lebih baik lagi meskipun dengan segala keterbatasannya dalam proses pembelajaran tersebut.

Begitu pun posisi seorang guru. Mereka ini langsung bersentuhan dalam proses pembelajaran bersama peserta didik. Keberadaannya selalu menjadi bahan penilaian keberhasilan dalam pembelajaran. Walau rasanya kurang adil pula apabila menitikberatkan sebuah penilaian dari capaian pembelajaran hanya kepada guru.

Stigma yang berkembang di masyarakat telanjur demikian. Lihat saja tatkala ada proses PJJ yang viral yang diakibatkan kelalaian guru. Meski ada yang tidak disengaja tetapi nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya di pukul rata begitu saja, guru sebagai pangkalnya.

Terlebih di zaman sekarang ini, guru harus lekas beranjak dari zona nyamannya. Katakanlah sebelumnya terbiasa mengajar dengan mengulang-ulang materi pembelajaran tiap semesternya dan tak ada metode pembelajaran yang baru. Maka sekarang ini harus beralih lantaran PJJ membutuhkan segala kompetensi guru untuk dituangkan agar menciptakan pembelajaran yang atraktif dan efektif.

Mulai terbiasa menggunakan perangkat yang lekat dengan teknologi. Belum lagi membiasakan membuat metode pembelajaran terbarukan tiap pertemuan sehingga PJJ tak lagi merasa hampa.

Begitu juga peserta didik. Sudah bukan saatnya bermalasan karena ada kesempatan yang sangat longgar ini sehingga melalaikan tanggungjawabnya. Padahal di depan sudah menanti sebuah tantangan yang begitu agung dan harus ditaklukan bagaimana pun jua.

Kalau tetap mempertahankan keadaan seperti itu. Dipastikan akan tergilas dengan sendirinya baik dalam arus perubahan itu sendiri ataupun dari persaingan global yang kian keras.

Di sela keriuhan itu perlu juga menyisipkan karakter. Dipahami salah satu indikator penilaian dalam AN adalah karakter. Terlepas dari ada atau tidaknya AN, karakter pun kedudukannya sangat besar dalam mengantarkan peserta didik ke laju mendatang.

Selain itu memperbaiki infrastruktur yang kini ada di satuan pendidikan adalah sebuah kewajiban. Tak sekadar memoles belaka. Melainkan harus memperbarui sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini.

Kalau sekarang ini kebutuhannya PJJ, maka selaiknya satuan pendidikan mempunyai sarana prasarana penunjang. Dari kamera, pelantang, studio memadai, hingga jaringan internet yang mampu dipakai menggelar PJJ bersamaan mata pelajaran lain dengan lancar.

Sekarang kembali pada AN, apakah nantinya mampu menjadi citra keseluruhan atas tujuan awal memberikan gambaran terhadap potret pendidikan yang ada disuatu daerah. Sementara kalau ditinjau jauh ke dalam, sesungguhnya dinamika pendidikan sangatlah beragam.

Andai saja hanya dipandang sebatas satu ukuran. Agaknya kurang afdal di saat periuk mengolah pendidikan sangat kalam-kabut.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan.

Lebih baru Lebih lama