Rikan saat mengalunkan tembang Reog lewat selompret. (Donny)


PLOSO – Sayup-sayup alunan gamelan mengalun lirih ketika Majalah Suara Pendidikan berkunjung di kediaman Rikan yang beralamat di Dusun Canggu, Desa Jatibanjar, Kecamatan Ploso. Di rumah sederhana nun jauh dari hingar bingar kota inilah Rikan tak hanya menghidupi anak beserta istrinya. Akan tetapi juga turut menghidupi seni adiluhung nusantara berupa Reog.

Syahdan di tahun 1963 para sesepuh Dusun Canggu mendirikan Reog Sila Putra. Ketika itu pementasan masih sering dilakukan dengan cara mengamen antar desa dan arak-arakan ketika sedekah desa dengan jumlah anggota sebanyak 18 orang. Seiring berjalannya waktu, Reog Sila Putra terus berkembang hingga tak ayal membuat Rikan tertarik dan memutuskan untuk menjadi anggota pada medio 1980.

Rikan berkisah, “Awal saya bergabung dengan Reog Sila Putra saat masih remaja dan didapuk sebagai panjak (baca: pemain gamelan). Ilmu menabuh gamelan Reog saya pelajari dengan memperhatikan secara seksama bagaimana para sesepuh mengatur irama penari secara rampak, lewat kendang, gong, kenong, kempul, dan selompret.”

Menurut Rikan yang terpenting ialah pakem pementasan tetap terjaga. Semisal suguh pambuko dan pelbagai sesaji tersedia. Sebab ini menjadi hal yang wajib dalam pementasan Reog.

Pria asli kelahiran Dusun Canggu tahun 1967 ini juga menceritakan, keteguhan para pini sepuh dan anggota muda dalam mengibarka bendera Reog Sila Putra membuahkan hasil manis. Beberapa pentas di luar kota seperti Lamongan, Surabaya bahkan sampai Ibukota Jakarta menjadi kenangan yang membanggakan bagi Rikan dan rekan sejawatnya.

Baca Juga: Belajar Sains dan Matematika Melalui Memasak

“Dulu ketika pentas sedapat mungkin menyisakan sebagian hasil tanggapan untuk kas grup. Sebab perkakas Reog harganya cukup menguas kantong. Sampai hari ini pun demikian, sebagai pelaku seni harus pandai-pandai mengatur kebutuhan sanggar, agar tak sampai besar pasak daripada tiang. Terakhir kami mematok tarif lima juta rupiah untuk sekali pentas, baik hajatan khitan, pernikahan, itupun masih ngepres dengan biaya perawatan dadak merak dan kebutuhan lainnya,” ujarnya tertawa.

Salah satu Kepala Simo Barong tertua yang dimiliki oleh Sanggar Singo Ludoyo, sejak tahun 1963. (Donny)

Kini Reog Sila Putra sudah berganti nama dengan Reog Singo Ludoyo. Pergantian ini sesuai dengan usulan para pini sepuh setempat. Sebagai generasi keempat dari Reog Sila Putra, Rikan tidak mempermasalahkannya. Sejak delapan tahun berganti nama, anggota Reog Singo Ludoyo justru bertambah sebanyak 25 orang dengan bermacam-macam usia.

Menurut Rikan yang terpenting ialah pakem pementasan tetap terjaga. Semisal suguh pambuko dan pelbagai sesaji tersedia. Sebab ini menjadi hal yang wajib dalam pementasan Reog.

Rikan saat berada di sanggar Reog Singo Ludoyo yang beralamat di Dusun Canggu, Desa Jatibanjar, Kecamatan Ploso. (Donny)

“Secara pakem untuk suguh pambuko dan sesaji tidak ada perbedaan baik dari Reog Ponorogo maupun Reog di Jombang ini. Akan tetapi saat ini Reog Singo Ludoyo menambahkan variasi dengan segmen jaran kepang. Hal ini kami maksudkan agar nama Singo Ludoyo tidak lekas terhapus dari ingatan anak cucu. Maka sedikit varian tarian diperlukan supaya masyarakat tetap tertarik dan senantiasa menantikan ragam atraksi dari para punggawa Reog Singo Ludoyo,” pungkas Rikan.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama