Ilustrasi Peserta Didik Belajar dengan Menggunakan Komputer. (Ist)


Imam Ghozali Ar.*

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Sebab keniscayaan itu adalah hukum alam yang tak dapat dicegah dan dibendung oleh siapa pun, sebab hal ini termasuk sunatullah. Mengingkari keniscayaan akan menjadi penonton pasif dalam sebuah dinamika perubahan. Maka, adalah hal biasa bila kali awal sebuah pemikiran “out off the box” di kalangan lembaga, pasti ada riak-riak kecil tantangan. Apalagi jika manusia yang menjadi sasaran perubahan masih dalam kesadaran magis. Semua pasti lebih memilih pada kondisi “zona aman”.

Namun, dalam narasi sejarah mana pun, tak ada sebuah rumus bahwa peradaban baru bisa lahir dari sebuah aktivitas berdiam diri dan bersembunyi di “zona aman” dalam berkebudayaan.

Tak ubahnya pada konsep hijrah yang pernah dilakukan Rasulullah, yang mana sejatinya adalah perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Baik perubahan dalam dimensi sosial maupun dimensi spiritual.

Sebuah fenomena adanya pandemi suatu penyakit dalam masa yang panjang, sejatinya berhubungan secara tegak lurus dengan aktivitas manusia dalam berkebudayaan. Seandainya dunia tidak ada virus Covid-19 yang menghajar setiap manusia yang hidup di permukaan bumi ini, maka dapat dipastikan manusia dalam berperilaku kebudayaan sangat abai akan pentingnya kesehatan dan pentingnya literasi digital untuk dikuasai setiap manusia. Pandemi Covid-19 ternyata mampu menggeser tata nilai yang berlaku lama di permukaan bumi ini dengan melahirkan tata nilai baru.

Disisi lain dengan pesatnya kemajuan teknologi IT, telah pula mengubah tata nilai masyarakat beraktivitas dan bekerja. Kehadiran teknologi yang canggih nampaknya menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat untuk menggauli teknologi secara intens dengan disertai sikap yang kritis.

Harus bisa mempersiapkan peserta didik untuk memasuki abad ke-21 yang penuh dengan ketidakpastian perubahan dan syarat akan keberadaan teknologi digital. Kerangka inilah selanjutnya semua pihak wajib memiliki kompetensi-kompetensi abad 21 untuk bekal dalam persaingan industri.

Maka, saya jadi ingat pernyataannya Samuel A. Pangarep, Dirjen Aptika Kemkominfo, bahwa untuk menghadapi era disrupsi tersebut, masyarakat mesti mengakselerasi kerjasama dalam mewujudkan agenda transformasi digital Indonesia, terutama untuk tenaga pendidik dan anak didik di era digital.

Mengapa? Karana salah satu cara dalam mendukung terwujudnya agenda transformasi digital ini adalah dengan menciptakan masyarakat yang melek digital melalui institusi pendidikan.

Kemampuan literasi digital adalah hal yang paling mendasar dan krusial dalam menghadapi perkembangan teknologi saat ini. Kemkominfo telah melakukan survei status read literasi digital nasional yang mengacu pada kerangka literasi digital UNESCO. Hasil kajian atas survei tersebut menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia ada pada angka 3,407 dari skala 1 sampai 4. Kesimpulannya bahwa indeks literasi digital kita sedikit di atas predikat “sedang”, namun belum mencapai tingkat yang baik.

Baca Juga: City Branding Jombang yang Baru

Demi mencapai tingkat literasi yang baik pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Kemkominfo bersama Siberkreasi dan berbagai stakeholder terus berupaya mengadakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan literasi digital masyarakat Indonesia.

Menghadapi perkembangan teknologi yang sangat cepat, literasi digital merupakan kunci dan fondasi utama yang harus dimiliki. Oleh karena itu Kemkominfo bersama Siberkreasi berkomitmen akan terus melakukan upaya meningkatkan literasi digital masyarakat melalui berbagai macam inisiatif kegiatan.

Berbagai inisiatif kegiatan literasi digital diharapkan mampu mendorong percepatan masyarakat dalam proses digitalisasi di berbagai lini kehidupan.

Atas dasar narasi di atas maka mau tidak mau kita harus mempersiapkan SDM dengan keterampilan digital yang sesuai untuk menghadapi perubahan ini dalam kerangka membawa perubahan positif untuk Indonesia yang lebih baik dengan inovasi-inovasi berkualitas yang “out of the box” dengan mengembangkan talenta dan memaksimalkan potensi masyarakat digital Indonesia.

Sejalan dengan tesisnya Samuel di atas, saya selanjutnya jadi teringat pula narasi dari Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., yang senantiasa untuk mengajak dan mendorong agar terjadi akselerasi dalam pengimplementasian literasi digital pada masa pandemi ini.

Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah memberikan hikmah. Salah satunya adalah percepatan penggunaan teknologi digital, khususnya di dunia pendidikan dalam kerangka agar masyarakat terbiasa menggunakan fasilitas digital untuk mentransformasi data dan informasi yang perlu diakses.

Adanya pandemi, dunia pendidikan menjadi sektor yang sangat terdampak. Orangtua, siswa, dan guru merupakan segitiga emas yang harus beradaptasi dengan cepat dalam situasi yang "ekstra ordinary" ini, terutama dalam kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), baik luring maupun daring.

Menghadapi PJJ pada masa pandemi ini, guru dan orang tua perlu memiliki satu pemahaman terhadap literasi digital. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa kedekatan anak-anak dengan media sosial sejatinya menimbulkan kerentanan terhadap pengaruh negatif, seperti cyber bullying atau phising, penipuan dengan berkedok iming-iming di dunia digital, konten-konten sampah tak mendidik.

Menyikapi hal ini maka diperlukan kehadiran kita untuk mengedukasi anak-anak kita dalam memberlakukan perangkat-perangkat digital. Untuk itulah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta Kemkominfo telah berkolaborasi melalui Siberkreasi untuk mengedukasi bahwa anak- anak kita harus dikuatkan dalam pemahaman dan penggunaan kompetensi literasi digitalnya, khususnya anak-anak di satuan pendidikan yang memanfaatkan teknologi digital untuk sumber media pembelajaran.

Guna memenuhi aspek edukasi di era pandemi ini, Kemendikbud melalui Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) terus berupaya menyediakan konten edukatif tidak berbayar alias gratis untuk bisa menyediakan sumber pembelajaran secara daring pada saat pandemi. Selain itu, optimalisasi digitalisasi sekolah juga terus dikembangkan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak seperti TVRI, dan radio RRI.

Berbagai aplikasi yang ada di Play Store, seperti aplikasi soal kompetensi atau disebut dengan Aksi; aplikasi Sispena untuk akreditasi; aplikasi Siplah dalam rangka memberikan kemudahan transaksi penggunaan Dana BOS di setiap satuan pendidikan sekolah dasar; telah disediakan dan diperkenalkan untuk digunakan dalam manajemen operasional pendidikan di sekolah.

Ada hal lain yang juga perlu untuk diketahui bahwa adanya aplikasi dan portal “guru berbagi” merupakan ikhtiar agar guru-guru kita mengalami kemudahan dalam berbagi pengalaman dan saling meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat musti cerdas, cermat, serta bijak dalam memanfaatkan digital tools dalam kerangka pendampingan anak-anaknya dalam menggunakan perangkat sosial media. Kerjasama semua pihak, khususnya orangtua dan guru, sangat diharapkan dalam “menemani” anak-anak dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

Praktisi Literasi Digital, Prof. Eko Indrajit, pernah menyampaikan bahwa kita harus bisa mempersiapkan peserta didik untuk memasuki abad ke-21 yang penuh dengan ketidakpastian perubahan dan syarat akan keberadaan teknologi digital. Kerangka inilah selanjutnya semua pihak wajib memiliki kompetensi-kompetensi abad 21 untuk bekal dalam persaingan industri.

Kompetensi yang wajib diterapkan di abad 21 ini salah satunya bertalian dengan kepiawaian menggunakan dan menaklukkan media dan teknologi (baca: literasi digital). Maka tidaklah luput jika Unesco telah merilis program “UNESCO ICT Competency Framework for Teacher”. Program ini tidak hanya untuk guru, tetapi juga untuk dosen, orang tua, dan masyarakat.

Ada tiga konsep yang dikenalkan “UNESCO ICT Competency Framework for Teachers”. Ketiga konsep itu yaitu teknologi literasi, knowledge deepening, dan knowledge creation.

Tugas seorang guru yang terpenting saat ini adalah menanamkan peserta didik untuk memiliki literasi digital. Pertimbangannya adalah agar mereka bisa belajar secara mandiri dengan adanya keberadaan teknologi IT tersebut.

Jika peserta didik dapat belajar mandiri dengan cara mencari sumber-sumber belajar yang baik di internet atau belajar dari orang lain yang lebih piawai di internet, maka mereka bisa mendalami dan merekayasa kompetensi sesuai dengan bidangnya masing-masing secara mandiri karena memiliki literasi digital yang mumpuni. Harapannya adalah jika mereka bisa mendalami dan membijaksanai literasi digital dengan baik, maka mereka bisa menciptakan knowledge creation yang bisa berupa teori, metodologi, produk, layanan, barang, ide atau gagasan yang memenuhi kebutuhan masyarakat.

Nah, berpijak dari pemikiran di atas, selanjutnya sekolah Bethari berikhtiar memperkuat program penguasaan literasi digital untuk peserta didiknya. Adanya rencana fakta pelaksanaan program PTS berbasis IT ini sejatinya dalam kerangka penguatan budaya berliterasi digital untuk menopang program digitalisasi sekolah. Jadi intinya, sekolah tidak bermaksud "sok-sokan", "gaya-gayaan", "berithah ithuh", dan juga bukan untuk menyusahkan orangtua atau wali murid. Semuanya dilakukan secara terukur dan bijak dalam soal implementasinya. Kadang persoalan menjadi "mbundeli nyingseti" kerana anak-anak kita belumlah canggih dalam menangkap informasi. Maka, penguatan akan budaya berliterasi ini menjadi fokus dalam proses pendidikan di Bethari.

Dan sebagai akhir tulisan ini, saya ingin mengingatkan sekali lagi bahwa proyeksi pendidikan abad XXI ini mensyaratkan agar setiap institusi pendidikan harus mampu melahirkan lulusan yang memiliki kekuatan tiga hal, yaitu: 1. karakter (baca: karakter pelajar Pancasila), 2. kompetensi (yang mencakup empat hal, yakni: kompetensi kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif); 3. Budaya Literasi, baik literasi budaya, numerasi, kesehatan, keuangan, sains, digital, dsb. Terima kasih.

*) Guru SDN Jombatan III Jombang dan Pegiat Seni.

Lebih baru Lebih lama