Ilustrasi anak belajar bersama orangtuanya. (Ist) |
Lailatuz Zakiyah. S.Psi.*
Anak hebat terlahir dari ibu yang tangguh dan mulia, pendidikan utama pada orang tua yang menyertai dan memahami perkembangan anaknya pada usia dini. Saat ini anak di bawah usia lima tahun (Balita) pada masa Golden Age di Indonesia dibiarkan mengalami keterlantaran cinta dan makna para ibu-ibu modern yang membawa Balita mereka pada pusat perbelanjaan, mal atau tempat layanan umum yang tidak memberikan nilai edukasi, pemikiran para ibu dengan memberikan tas, baju bahkan asesori mewah dianggap telah memenuhi kebutuhannya tanpa disadari hal tersebut mengabaikan kebutuhan personal Balita.
Kebutuhan personalnya adalah mereka sangat peka pada setiap rangsangan pengecapan, suara, penciuman dan sentuhan. Jika seorang ibu menyentuh Balitanya dengan lembut, tenang dan penuh kasih, yang terjadi pada Balita tersebut adalah ia menjadi tenang dan bahagia, tidak rewel. Ia dapat mengenali wajah ibunya dengan baik kondisi tersebut bisa menghantarkan anak saat beranjak usia prasekolah, menjadi pribadi yang mandiri dan bisa memahami orang lain dengan baik.
Sentuhan pada Balita sangatlah berpengaruh pada perkembangan afeksinya saat dewasa, sayang para ibu modern disibukan dengan gedget sehinga mengurangi waktu mengamati perkembangan buah hatinya mereka lupa para Balita membutuhkan perhatian waktu bermain, kenyamanan, kebahagiaan dan tantangan. Membantu dan mestimulasi serabut sambungan sel otak anak serta membangun kepercayaan anak terhadap ibu adalah sunatullah.
Resiliensi Anak di Hadirkan dari Ketangguhan Seorang Ibu
Ketangguhan ibunda Albert Einstein, penemu bola lampu suatu kisah inspiratif yang menjadi gambaran pada pemahaman tentang kebutuhan anak. Suatu hari ibunda Albert Einstein mendapatkan surat dari sekolah, dikatakan bahwa anaknya tidak dapat melanjutkan di sekolah tersebut karena keterbatasan kemampuan. Bersamaan rasa yang berat, ibunda Albert Einstein menyampaikan kepada anaknya tetapi menginformasikan kenyataan yang sebaliknya. Penuh ketenangan hati ibu sampaikan kepada putranya, “Anakku ibu mendapatkan surat dari sekolah, kamu anak pandai sehingga kamu tidak dapat diterima disekolah tersebut.”
Menurut penelitian pengalaman yang menyenangkan dalam kehidupan anak akan menguat dan membutuhkan perilaku positif, suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan serta gembira, akan berpengaruh terhadap otak pusat berpikir manusia dan otak berpikir tidak berfungsi jika emosi dalam keadaan negatif.
Penuh kasih sayang ibunya mengajarkan baca tulis, berhitung di rumah, sampai pada suatu malam ketika Albert Einstein hendak belajar mengulang bacaanya dan rumahnya gelap. Dia berpikir dapat membuat sesuatu yang dapat memberikan penerangan dalam gelap dan melakukan eksperimen membuat alat yang dapat menerangi saat belajar. Setiap eksperimen dicatat dan berkali-kali, kegagalan demi kegagalan dalam eksperimen bahkan beratus kali dilakukan dan dicatat. Ibunya selalu memotivasinya agar selalu teguh, “Kamu akan berhasil nak, coba lagi!”
Albert Einstein bukanlah anak yang genius melainkan anak yang punya cara belajar berbeda dan ibunya memahami akan kebutuhan anaknya sehinga dengan motivasi serta kesabaran dalam mendampinginya. Albert Einstein mencoba eksperimennya dan fokus akhirnya berhasil terciptalah bola lampu yang dapat menerangi gelap sampai saat ini. Faktanya Albert Einstein bukan anak yang genius yang butuh waktu berulang kali melakukan eksperimen. Keberadaan ibu tangguh yang menghantarkannya menjadi penemu dan peneliti hebat.
Baca Juga: TK Islam Ar-Ruqoyah Ngoro Jadikan Asmaul Husna Mengasyikan
Tugas satuan pendidikan tidak hanya memberikan pendidikan pada anak dalam kegiatan belajar mengajar. Melainkan juga pendidikan terhadap orang tua untuk memahami ilmu, cinta, dan bahasa yang tepat untuk menghantarkan pentingnya tumbuh dan perkembangan otak. Pertumbuhan akhlak dan jiwa anak-anak Balita, sangat bergantung pada asupan informasi dan modeling orang dewasa disekelilingnya, maka pada usia Balitalah sangat membutuhkan peran aktif orang tua terutama ibunya.
Dilarang melakukan “Tiga M”
Apakah “Tiga M “ itu, yang pertama adalah Marah, orang dewasa sebagai model dan inspirasi perilaku anak yang paling mudah adalah Marah. Sikap ini sering tidak disadari dan dilakukan orang dewasa, anak-anak akan meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Orang tua bersuara keras, anak akan berteriak, orang tua mencubit anak akan memukul. Harus menyampaikan dengan bahasa dan cara yang tepat karena anak sedang belajar membuat pola penyelesaian masalah, bedakan marah dan tegas. Kedua Memerintah. Mari kita cermati memerintah dengan memberikan tugas sangatlah berbeda dalam melatih kemandirian. Perbedaan tersebut ada pada bahasa dan cara yang tepat ketika memberikan tugas diawali dengan kata, “Tolong ambilkan!” atau “Tolong buang sampah ditempatnya!” Anak akan menerima dengan baik dan memberikan kebermaknaan dalam bersikap positif.
Ketiga melarang demikian juga dengan pemahaman sikap melarang. Tidak diperkenankan mengawali dengan kata “Tidak boleh!” Sebaiknya bisa dengan kalimat yang tepat spesifik pada sikap atau perilaku yang tidak boleh dilakukan. Misalkan saja menjelaskan bahwa perilaku tersebut yang membahayakan, tidak sesuai etika, moral atau aturan agama.
Diperlukan pemahaman bersama pada pendidik dan orang tua bahwa pendidikan adalah proses bukan hasil. Diawali dengan penataan sikap pendidik yang memandang hidup dan kehidupan ini. Bagaimana pendidikan berbahasa serta bersikap yang baik, berkata jujur dengan segala konsekuensinya, bersikap tenang setiap situasi agar tetap terkontrol hati dan pikiran.
Orang tua cenderung menyamaratakan strategi mendidik untuk semua anak, padahal setiap anak adalah “spesial”. Saat menjadi ibu dan ayah, orang tua menganggap dirinya sudah pandai mendidik anak tanpa harus belajar dan mengkaji dan meneliti. Anak yang bertanya macam-macam diangap bermasalah. Padahal sejatinya adalah tantangan sekaligus kesempatan bagi orang tua dan guru.
Tidak ada anak nakal dan bodoh yang ada hanyalah anak yang belum tahu, dan bagaimana bersikap. Berbahasa dan pendampingan yang tepat seorang ibu akan menyempurnakan tahap perkembangannya seperti diriwayatkan Bukhari Muslim dalam hadis:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya, Seorang ‘Amir (penguasa) adalah pemimpin, seorang suamipun pemimpin atas keluargannya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, setiap kalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya,” - Ibnu Umar RA.
Menurut penelitian pengalaman yang menyenangkan dalam kehidupan anak akan menguat dan membutuhkan perilaku positif, suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan serta gembira, akan berpengaruh terhadap otak pusat berpikir manusia dan otak berpikir tidak berfungsi jika emosi dalam keadaan negatif. Memosisikan anak sebagai subjek dan bukan sebagai objek seluruh kecerdasan dibangun dan anak akan tumbuh menjadi pribadi penemu, percaya diri dan bahagia.
Tugas guru PAUD yang sebenarnya adalah menyeimbangkan tahapan perkembangan anak sesuai kematangannya. Sering kita jumpai pada pendidikan anak usia dini diarahkan untuk mampu Membaca, Menulis, dan Berhitung (Calistung) sehingga tercipta situasi dengan pola bermain dengan Batasan Calistung. Pembatasan akan tuntutan kemampuan Calistung yang diarahkan pada pendidikan adalah hasil terkadang mengabaikan tahapan perkembangannya.
Secara fitrah ketika anak melalui tahapan perkembangannya maka mereka akan sampai pada kematangan perkembangan. Tinggal orang tua dan guru menstimulasi tahapan perkembangan dengan tepat, maka yang sebenarnya pendidikan adalah proses. Penting memahami setiap prosesnya adalah setiap anak punya cara belajar yang unik.
Ketangguhan sikap dan perilaku dalam situasi apapun akan menghantarkan keberhasilan masa depannya. Anak membutuhkan peran aktif ibunya tugas sekolah menstimulasi perkembangan sesuai tahapan perkembangannya
*) Kepala TK Al-Iman Jombang