Ilustrasi ibu sedang menggendong anaknya. (ist)


Fia Madinia*

Sudah sebulan Emakku tinggal di rumahku. Ada-ada saja memang yang Emak lakukan. Kadang membuatku geleng-geleng kepala. Sebelum tinggal di rumahku Emak tinggal di rumah Mas Roni kakakku. Emak sepertinya tidak cocok dengan istri Mas Roni. Sehingga Emak minta pindah ke rumahku. Sebenarnya aku dan suamiku tidak masalah jika Emak tinggal bersama kami. Anak-anak juga senang neneknya tinggal bersamanya.

Pagi ini seperti biasa, aku sibuk menyiapkan anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. Meskipun semalam aku tidak bisa tidur karena batuk. Ketika aku sibuk memasak tiba-tiba Emak mendatangi ke dapur sambil berjalan pelan-pelan.

“Emak duduk saja biar Dini yang masak,” kataku menyuruh Emak agar duduk saja.

“Kamu carikan Emak cangkul Din,” perintah emak membuatku tidak mengerti.

“Buat apa Mak? Nanti saja Dini masih menyiapkan anak-anak sekolah,” jawabku

“Kamu carikan cangkul dulu, itu nanti saja kamu jangan kerja,” tukas emakku dengan nada tinggi.

Aku tidak menjawab perkataannya daripada Emak makin mengomel seperti biasanya. Aku tetap menyiapkan sarapan anak-anak. Selesai sarapan suamiku mengantar anak-anak ke sekolahnya dan langsung ngantor. Aku segera ganti baju hari ini ada presentasi di kantorku. Setelah aku ganti baju aku mengajak Emak untuk sarapan pagi.

“Ayo Mak kita sarapan,” ajakku

“Sudah dibilang kamu jangan kerja, kamu cari cangkul,” bentak Emak.

“Ayo kita sarapan dulu,” aku berusaha membujuk Emak.

Emak akhirnya mau aku ajak sarapan. Mbak Sum juga sudah datang, orang yang biasanya aku minta untuk menemani emak saat aku kerja. Aku mencium tangan emak dan pamit berangkat kerja.

“Mana cangkulnya? Kamu cari cangkul saja, gak usah kerja,” Emak mulai menyuruhku mencari cangkul yang entah untuk apa aku tidak mengerti.

“Nanti dicarikan Mbak Sum Mak, Dini berangkat dulu,” jawabku

“Sudah dibilang gak usah kerja, dasar anak gak patuh sama orang tua,” maki Emak.

Kata-kata emak membuatku naik darah. Selama ini aku sudah berusaha merawat Emak dengan baik. Tapi emak masih saja selalu membentakku.

“Cukup Mak, Dini capek ngurusin Emak,” suaraku meninggi

Aku meninggalkan Emakku yang diam setelah aku bentak. Segera aku melaju dengan motor bebekku. Tanpa sadar air mata ini tumpah. Ada rasa yang menyesak dalam dada. Menyesal rasanya bibir ini sudah membentak Emak. Orang yang telah berjuang demi aku dan Mas Roni bisa sekolah. Kembali teringat waktu aku kuliah dulu. Emak sampai menjadi buruh tani untuk membiayai kuliahku. ‘Oh Emak, maafkan anakmu ini’ batinku. Perasaan emak pasti terluka.

Aku memutar balik motorku kembali pulang. Aku tidak peduli dengan presentasi hari ini. Pekerjaan bisa kapan saja tapi hati Emak tak tergantikan.

“Kok balik pulang bu?” tanya Mbak Sum saat aku masuk rumah.

“Emak mana mbak?” aku balik bertanya pada Mbak Sum.

“Ada di belakang rumah bu,” jawab Mbak Sum.

Aku bergegas ke belakang rumah. Kudapati emak sedang mengumpulkan jahe merah. Aku peluk emak dari belakang sambil terisak.

“Maafin Dini Mak, Dini sudah bentak Emak,” kataku sambil menangis.

“Gak ada yang perlu dimaafin Nduk, ini Emak sudah dapat jahe merah, nanti emak buatkan wedang jahe. Tadi malam Emak dengar kamu batuk terus,” kata emak

Ternyata Emak melarangku kerja karena semalam emak mendengar aku batuk. Benar kata Emak setelah minum wedang jahe batukku berkurang. Aku bersyukur masih mempunyai Emak yang perhatian. Aku berjanji akan merawat Emak dengan baik.

*) Guru SDN Kedungpapar Sumobito

Lebih baru Lebih lama