Kover buku berjudul Membaca Takdir yang Tenggelam. (ist)


Judul Buku : Membaca Takdir yang Tenggelam.

Penulis : Fahrudin Nasrulloh

Penyunting : Dadang Ari Murtono

Penerbit : CV Pelangi Sastra

Tahun Terbit : 2019

ISBN : 978-623-7283-05-8

Halaman : xiv + 206

Ukuran : 13x20

JOMBANG – Setiap peristiwa pastinya memiliki latar cerita yang membayangi sehingga menarik untuk diungkap ataupun dikenang masa sekarang hingga hari mendatang. Misal penggalan peristiwa bertajuk sastra yang terukir pada sehimpun esai tulisan Fahrudin Nasrulloh ini.

Pembaca diawalai suguhan wajah kover buku bernuansa lukisan cat air, bentuk, hingga pemilihan warna sungguh membuncahkan pertanyaan di kepala terkait makna dibaliknya. Namun, secara gamblang buku setebal 206 halaman ini menyuguhkan empat bagian. Meliputi dunia batin sang penyair, dunia buku di balik makam, perang sastra di kandang buaya, dan on rendezvous. Sehingga dari empat bagian itu mampu menghimpun esai sebanyak 32 buah.

Ketika buku bisa menjadi wadah bagi ingatan demi melampaui waktu dan ketak-abadi-an manusia, maka setiap gagasan bagi pengarang merupakan suluk untuk memaknai apa yang fana dan mencari rahasia yang baka.

Membaca buku ini ibarat mengendarai mesin waktu yang mengajak untuk berkeliling ke masa lalu. Lembar demi lembar terbaca, makin dapat mencermati peristiwa sastra khususnya di Telatah Kebo Kicak hingga Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanpa disadari juga bermuara pada kian dekatnya pembaca dengan sosok penulis yang lahir pada tahun 1976 dan wafat tahun 2013 ini, dan pernah menjadi Editor Bahasa pertama untuk Majalah Suara Pendidikan.

Baca Juga: 

Menggunakan bahasa yang memiliki kecenderungan digandrungi para penikmat sastra. Seperti ungkapan pada kata pengantar yang ditulis oleh Binhad Nurrohmat bahwa buku ini memiliki gaya tulisan bak Michel de Montaigne yaitu anekdot dan perenungan pribadi yang hadir melalui bauran antara keluasan wawasan serta kenakalan memandang, oplosan antara kedalaman hingga permainan. Sehingga, bagi masyarakat umum akan sedikit membutuhkan waktu agar setiap rangkaian kata tercerna sesuai maknanya.

Uniknya setiap esainya memiliki gambaran waktu, lokasi, suasana hati hingga getir manis perasaan penulispun seakan dapat terbaca. Sampai pada suatu esai yang terbilang diluar pola pikir penulis pada umumnya yaitu Dunia Buku di Balik Makam. Sekilas dari judulnya saja sudah menggetarkan jiwa.

Kecerdasan penulis juga tergambar ketika mampu menyandingkan antara dialog Njombangan hingga kutipan berbahasa asing, semisal Prancis dan Inggris. Tak ketinggalan ungkapan kegelisahannya menyaksikan keironisan junk book (baca: buku sampah) dan junk writer (baca: penulis sampah) terkesan tak menyalahkan juga tak mengindahkan kaidah berbahasa Indonesia yang baik seraya benar. Sungguh sebuah karya yang tak boleh dilewatkan untuk dibaca.

Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma/Istimewa

Lebih baru Lebih lama