Infografis tradisi Ramadan tinggal kenangan. (Dok.MSP)


Kedatangan Bulan Ramadan selalu disambut dengan genggap gempita. Tak terkeculi dengan pelbagai tradisi yang sudah lumrah dan lekat di masyarakat. Namun dewasa ini seiring dengan modernisasi yang terjadi hampir disegala sendi kehidupan, membuat banyak tradisi yang mulai dibuat sesederhana mungkin bahkan dalam perjalanannya kini mulai ditinggalkan.

Ancak Megengan
Sebagai penanda persiapan memasuki Bulan Ramadan, Tradisi Megengan ini diserap dari kata Megeng yang berarti menahan. Dalam arti, untuk umat Islam diwajibkan menahan segala hawa nafsu menjelang dan selama Bulan Ramadan. Meski Tradisi Megengan masih banyak dilaksanakan di pelbagai daerah, termasuk di Telatah Kebo Kicak ini namun pada dewasa ini terdapat perubahan yang mendasar.

Perubahan tersebut ditandai dengan semakin ditanggalkannya Ancak sebagai wadah makanan dan jajanan yang terbuat dari pelepah pisang dan dirajut dengan batang bambu berukuran kecil lalu dilapisi daun pisang. Kini Tradisi Megengan banyak menggunakan nampan plastik sebagai tempat saji makanan dan aneka kudapan tradisional.

Tik-Tuk’an
Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, Ramadan tak terasa semarak tanpa kehadiran para penggugah waktu sahur. Jika saat ini kelompok penggugah sahur yang di dominasi oleh kawula muda, lebih memilih pengeras suara elektrik sebagai medium penyeru waktu bersantap sahur, maka berbeda halnya pada kondisi berpuluh tahun silam.

Para penggugah sahur dahulu, umumnya memakai alat kentongan bambu. Dari irama yang dihasilkan, disebutlah nama Tik-Tuk’an untuk menamai tradisi unik ini. Dijelaskan oleh Budayawan Jombang, Nasrul Illahi, bahwa Tik-Tuk’an berkembang di era 1960 hingga 1990-an, dimana saat itu peralatan pengeras suara belum berkembang masif seperti saat ini.

Tiduran
Sebelum berkembangnya teknologi pengeras suara seperti saat ini, dahulu pada medio 1970 sampai 1990-an di Kota Santri terdapat Tradisi Tiduran yang menjadi penanda berakhirnya Bulan Ramadan dan memasuki Hari Raya Idul Fitri. Dalam Tradisi Tiduran, bedug di masjid dan musala dipukul secara rampak.

Ditabuh sejak selesai Salat Ashar hingga tiba malam takbir. Akan tetapi seiring bergulirnya waktu dan arus modernisasi, tradisi Tiduran semakin surut dan tak terdengar lagi suaranya.

Sumber: Diolah dari Pelbagai Sumber

Olah Data: Batlitbang Majalah Suara Pendidikan

Lebih baru Lebih lama