Mujiat saat menunjukan replika tempayan batu yang sengaja dibuat untuk melestarikan sejarah desa. (Rabithah) |
NGORO – Menjelajahi asal usul nama sebuah tempat, tidak akan dapat melepaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mengikutinya. Baik itu sebuah kenyataan atau hanya sekadar persitiwa tutur yang berkembang di tengah masyarakat.
Salah satunya adalah Desa Genukwatu di Kecamatan Ngoro. Sekilas bagi kita yang berlatar belakang penutur Bahasa Jawa tidak akan mengalami kesulitan ketika mengartikan sebagai sebuah akronim yakni Genuk dan Waktu. Genuk artinya dalam Bahasa Indonesia adalah tempayan, sedangkan Watu ialah batu.
Hal ini pun dibenarkan oleh Sekretaris Desa Genukwatu, Mujiat bahwa namanya tak dapat dipisahkan dari penemuan sebuah Genuk besar dengan penutupnya di depan rumah Ki Buyut Tomo. Ki Buyut Tomo merupakan orang pertama membuka lahan sebagai pemukiman lantaran sebelumnya berupa hutan belantara.
Kali kedua hilang lagi dan tak kembali hingga sekarang. Sebelumnya masyarakat ingin memindahkannya di ruangan yang dibuatkan khusus di area masjid desa. Belum sempat dipindah, Genuk tersebut menghilang.
“Dari cerita yang saya peroleh, dahulu terdapat letusan Gunung Kelud di Kediri untuk pertama kalinya tahun 1901. Semburat dengan itu, pelbagai muntahan Gunung Kelud bertaburan keluar, salah satunya adalah Genuk yang jatuh tepat di rumah Ki Buyut Tomo,” beber Mujiat.
Baca Juga: Mendedah Pemerataan Mulok Keagamaan
Mujiat menegaskan, semenjak itulah nama Desa Genukwatu tercetus. Selanjutnya hingga kini pun masih digunakan oleh desa yang sebagai besar masyarkatnya bekerja sebagai petani dan pedagang tersebut.
Hilang dan Dibuatkan Tiruannya
Genuk yang selama berada di rumah Ki Buyut Tomo dijadikan penampungan air, sempat hilang secara tiba-tiba. Kiranya ketika akan membongkar rumah kuno Ki Buyut Tomo pada 2021 silam. Anehnya tak selang lama, ditemukan di area persawahan dekatan pohon beringin.
Mujiat pun menceritakan, “Kali kedua hilang lagi dan tak kembali hingga sekarang. Sebelumnya masyarakat ingin memindahkannya di ruangan yang dibuatkan khusus di area masjid desa. Belum sempat dipindah, Genuk tersebut menghilang.
Mujiat saat menunjukan replika tempayan batu yang sengaja dibuat untuk melestarikan sejarah desa. (Rabithah) |
Masyarakat jelas menyangkan hilangnya Genuk itu, ungkap Mujiat. Namun mereka menyadari awalnya datang tak terduga, demikian ketika pergi jadi tanda tanya besar hingga sekarang.
Kepala Seksi Pelayanan, Desa Genukwatu, Albert Ageng menimpali meskipun begitu di tahun 2007 di masa kepemimpinan kepala desa, Sudirman. Dibuatkan tiruan Genuk tersebut persis lengkap dengan penutupnya. Kemudian ditaruh di beranda balai desa di bawah pohon beringin.
Wujud asli tempayan batu. (ist) |
“Diharapkan dapat sedikit mengobati kekecewaan masyarakat. Hal itu karena bentuknya yang sama persis dan bisa dijadikan ikon desa sekaligus diceritakan ke generasi akan datang tentang sejarah tanah kelahirannya ini,” tutup Albert Ageng.
Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma