Suasana saat pemantik diskusi memaparkan gagasannya. (Donny)

JOMBANG – Di saat makin berkembangnya ragam keislaman di bangsa ini, diskusi tentang Membaca Kembali Islam Tradisonal yang digelar di Warung Boenga Ketjil pada Selasa (17/5) dengan menghadirkan narasumber Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasioanl (BRIN), Dr. Amin Mudzakkir serta Pengajar/Penulis Buku dari Jombang, Mukani, M.Pd.I dipandu oleh modertor dari Aswaja Nahdlatul Ulama (NU) Centre PWNU Jawa Timur, Yusuf Suharto seakan membuka kembali paradigma berpikir kita dalam menelaah keislaman yang tak hanya dari satu sisi saja. Melainkan banyak perspektif hingga perjalanan sejarahnya memunculkan istilah Islam Tradisional tersebut.

Islam Tradisonal dari kajian ilmu sosial yang berkembang pesat di Benua Eropa maupun Amerika saat itu. Hal ini dilatari akan kecenderungan para pemikir di negara maju di dua benua tersebut kerap meletakkan peradapan Islam yang berkembang di ndonesia sebagai objek penelitian tertinggal.  

Amin Mudzakkir mengawalinya dengan membeberkan awal kemunculan Islam Tradisional sebagai akibat arus modernisasi pasca Perang Dunia II tepatnya pada medio 1950-an. Tentunya tidak dapat dielakan bila ada kaitannya dengan Amerika Sentris sebagai cikal bakal lahirnya sebagai negara adidaya kala itu.

“Pada tahun 1980-an semakin gencar pembahasan soal Islam Tradisional, hal itu tidak bisa dilepaskan semakin kayanya literartur yang membahasnya. Ditambah gerakan kelompok Islam di dunia yang semakin banyak termasuk di Indonesia sendiri. Sementara jikalau ditinjau dari historiografisnya di Indonesia sendiri Islam Tradisional tidak dapat dilepaskan dari tradisi belajar di pondok pesantren yang mengutamakan basis pengajarannya menggunakan bahasa tutur,” jelas Amin Mudzakkir.

 Flyer Diskusi. (ist)

Lelaki berkacamata ini menambahkan seperti ketika membaca Kitab Kuning merupakan salah satu ciri kekhasan pembelajaran tutur yang sangat kental di pondok pesantren itu. Tradisi inilah kemudian yang melekat menjadi identitas tersendiri dalam Islam Tradisional yang berlangsung di negeri ini.


Sementra Mukani mencoba melihat Islam Tradisonal dari kajian ilmu sosial yang berkembang pesat di Benua Eropa maupun Amerika saat itu. Hal ini dilatari akan kecenderungan para pemikir di negara maju di dua benua tersebut kerap meletakkan peradapan Islam yang berkembang di ndonesia sebagai objek penelitian tertinggal. Sehingga menjadi kecenderungan bahwa Islam Tradisonal itu hanya lebih pada pola penyampaiannya saja atau lebih dikenal dengan istilah Oksidentalisme.

Oleh karena itulah Mukani menegaskan, “Bila selama ini masih banyak melihat kajian Islam Tradisional hanyalah sebatas melalui terori maupun kajian dari pemikiran negara maju saja. Padahal kalau mau menelisik jauh lebih kedalam kekayaan budaya serta sejarah keislaman di Indonesia sendiri cukuplah banyak dan lebih luas. Untuk itu jangan hanya berpegang pada konsepsi Islam Tradisional itu semata, melainkan jauh lebih penting adalah Al-quran dan Hadist sebagai pijakan utamanya. Dibarengi dengan pengembangan tradisi intelektual guna memproduksi gagasan maupun karya Islam Tradisional itu sendiri.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama