Pelaksanaan MPLS di dalam kelas. (ist)


JOMBANG – Tak terasa tahun ajaran baru mulai berlangsung, setelah lebih kurang dua bulan menjalani proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kini peserta didik dapat bernafas lega karena telah mendengar pengumuman tempatnya melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya. Namun sebelum membuka lembaran baru dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat agenda yang tak boleh terlewatkan bagi peserta didik baru.

Tidak lain adalah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Ibarat kata “Tak Kenal Maka Tak Sayang” MPLS menjadi agenda esensial yang bertujuan mengenalkan lingkungan satuan pendidikan kepada peserta didik baru, begitu pula sebaliknya civitas satuan pendidikan pastinya harus memiliki gambaran terkait kondisi dan potensi yang dimiliki peserta didik barunya.

Apabila ditarik kebelakang, jauh sebelum istilah MPLS berkembang terdapat istilah Masa Orientasi Siswa (MOS) yang lebih dulu umum dikenal masyarakat Indonesia lantaran telah ada sejak zaman penjajahan. Sempat pula berganti menjadi Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB). Akhirnya pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D. melalui Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 ketentuan MOS yang identik dengan tindakan perundungan antara senior terhadap juniornya tersebut diperbarui menjadi MPLS.

Adapun pelaksanaan MPLS di Kota Santri sendiri selama dua tahun silam dikemas serba terbatas secara Dalam Jaringan lantaran Pandemi Covid-19. Kini setelah adanya Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang nomor 422 tahun 2022 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Pertemuan Tatap Muka dapat sepenuhnya dilangsungkan, hal ini tentu menjadi angin segar bagi satuan pendidikan sehingga dapat melaksanakan MPLS dengan maksimal.

Sementara dari sudut pandang kesiapan mental peserta didik baru dalam menjalani MPLS yang digelar selama tiga hari tersebut. Dijelaskan oleh Dosen Psikologi Universitas Darul Ulum (UNDAR) Kabupaten Jombang, Wardatul Mufidah, S.Psi., M.Psi., Psikolog. bahwa MPLS sejatinya bertujuan memberikan wawasan serta memperbarui kebiasaan-kebiasaan yang dahulu umum dilakukan di jenjang sebelumnya tetapi perlu disesuaikan di jenjangnya saat ini.

Wardatul Mufidah mengatakan, “Adanya perbedaan lingkungan secara fisik dan individu yang dihadapi membuat beragam emosi yang dirasakan peserta didik di awal menginjakan kaki di satuan pendidikan baru. Peserta didik umumnya merasakan kecemasan dan kurang percaya diri. Cemas dalam hal mencari teman, beradaptasi dengan lingkungan dan kurang percaya diri dalam menjalin komunikasi dengan civitas satuan pendidikan. Faktornya antara lain yaitu penampilan fisik, status ekonomi, dan kecakapan berinteraksi.”

Untuk mengatasinya, Wardatul Mufidah menjabarkan beberapa cara yang dapat ditempuh. Wali peserta didik perlu membangun semangat buah hatinya agar mampu menjelajah lingkungan yang baru, seperti memenuhi kebutuhan pokoknya dari atribut pembelajaran. Guru Bimbingan Konseling dapat menjadi salah satu mentor MPLS karena bisa membantu mendeteksi, menghimpun, mengantisipasi hingga menyelesaikan masalah yang mungkin timbul.

Wardatul Mufidah, S.Psi., M.Psi., Psikolog. (ist)

Sementara dari pihak satuan pendidikan harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat menyukseskan MPLS. Pertama, perlu meramu materi yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik baru. Kedua, tenaga kependidikan yang berperan sebagai mentor dapat berkolaborasi dengan motivator agar materi terserap dengan baik. Ketiga, memastikan kegiatan berlangsung sesuai protokol kesehatan dan aman dari tindak perundungan.

“Harapannya melalui rangkaian kegiatan MPLS mampu menggairahkan kembali semangat belajar di lingkungan yang baru, selain itu dapat memberikan kenangan pertama yang terbaik. Tak lupa penataan lingkungan satuan pendidikan juga perlu dipertimbangkan agar peserta didik baru merasa nyaman,” ujar alumnus Magister Profesi Psikologi Klinis, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya itu.

Kendati demikian, meramu kegiatan MPLS yang ideal juga menyenangkan tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian besar satuan pendidikan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Konsultan Pengembangan Program Satuan Pendidikan dan Pegiat Literasi Nasional, A. Ramdani, S.Pd.I. bahwa mengemas MPLS yang berorientasi menggugah semangat dan ketertarikan (Exited Orientation) peserta didik untuk mengetahui lebih dalam segala hal tentang satuan pendidikan barunya menjadi tantangan tersendiri.

A. Ramdani, S.Pd.I. (ist)

A. Ramdani yang juga berkiprah sebagai Instruktur Program Sekolah Penggerak Nasional itu menjabarkan, “Seluruh civitas akademika sebagai pihak penyelenggara tentu sudah memahami secara betul tujuan dan peraturan hingga larangan MPLS. Namun hal tersebut menjadikan sebagian satuan pendidikan hanya terpaku pada hal teknis sesuai standar, sehingga akan terus diulang setiap tahunnya tanpa adanya pembaruan yang menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang berubah sebagaimana tuntutan zaman.”

Pelaksanaan kegiatan MPLS yang formal perlu diimbangi dengan pengenalan kultur budaya satuan pendidikan yang baik atau yang ingin dibangun kedepannya, lanjut A. Ramdani. Tak kalah pentingnya juga melibatkan seluruh civitas satuan pendidikan dari kepala satuan pendidikan, guru, tenaga kependidikan, pihak keamanan hingga penjaga kantin sekalipun.

“Meski terkesan sepele, apabila kurang adanya kesadaran atau penyamaan visi dalam MPLS bisa mengakibatkan generalisasi persepsi hingga kemudian hari. Semisal cara berpakaian oknum tenaga pendidik yang kurang rapi atau tindakan merokok di lingkungan belajar akan menjadi citra satuan pendidikan dan sangat memungkinkan ditiru kemudian hari. Untuk itu seluruh civitas satuan pendidikan harus menjadi figur yang dapat dicontoh peserta didik baru.” Jabar pria yang akrab disapa Bung Ram Tersebut.

Seimbangkan Materi Logika dan Fisik

Melanjutkan pendapat A. Ramdani diatas, meski seluruh civitas satuan pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan MPLS, tetap dirasa perlu untuk menunjuk figur bertalenta yang terdiri dari susunan panitia penyelenggara untuk menjembatani komunikasi antara pihak satuan pendidikan dengan peserta didik baru. Seperti yang disampaikan Direktur Asriloka Wonosalam yang juga sebagai Trainer Bidang Pendidikan dan Kewirausahaan, Dr. Nuryadi, S.Sos., MM. bahwa nantinya panitia banyak berinteraksi dengan peserta didik secara langsung, sehingga harus mampu membawa suasana MPLS yang seru, membahagiakan namun dilain sisi juga menantang sehingga tak ada kebosanan yang membelenggu.

Nuryadi yang juga menjabat Direktur Polindo Internasional itu menegaskan, “Panitia harus menggunakan metode yang kreatif dan efektif berbeda dengan penyampaian materi pembelajaran secara formal di kelas pada umumnya. Melainkan dapat diseimbangkan antara pembelajaran yang dilakukan secara fisik dan logika berpikir kritis, seraya pembekalan di dalam maupun luar kelas.”

Dr. Nuryadi, S.Sos., MM. (ist)

Membicarakan antara aktivitas fisik dan logika berpikir kritis harus benar-benar dikonsep dengan matang dan tepat porsinya. Untuk itu, Nuryadi memberikan gambaran kedua konsep tersebut yang nantinya dapat diimplementasikan. Aktivitas fisik bertujuan agar peserta didik merasa sehat dan bugar sehingga siap untuk mengikuti arahan kegiatan selanjutnya.

Contohnya adalah kegiatan senam dan menari bersama, menjajal fasilitas olahraga yang dimiliki satuan pendidikan seperti bola voli, basket dan berjalan-jalan melintasi sekitar satuan pendidikan yang dapat dikemas dengan secara pembelajaran Pramuka. Dengan begitu peserta didik akan lebih bersemangat sembari memperoleh wawasan baru dan tak tanya mendapat rasa lelah saja.

Dilain sisi yaitu pembelajaran yang lekat dengan tes logika berpikir kritis. Hal ini dapat diimplementasikan dengan pelbagai permainan edukatif yang memantik rasa penasaran peserta didik baru. Seperti permainan untuk mengenali denah satuan pendidikan dengan cara mencari harta karun berupa bendera logo satuan pendidikan yang ditempatkan di pelbegai ruangan. Jadi panitia akan memberikan beberapa petunjuk (clue) yang menggambarkan ruangan tersebut, seperti warna cat ruangan, jumlah pintu dan jendela atau ciri-ciri petugas yang berjaga.

Selanjutnya, Nuryadi juga menyampaikan bahwa untuk mengenali nama dan tugas setiap civitas satuan pendidikan, peserta didik dapat diarahkan untuk menuju ruang tempat tenaga pendidik tersebut beraktivitas. Semisal petugas tata usaha yang pastinya ada di ruangan tata usaha, namun untuk membedakan antara petugas A dan petugas B, diberikan petunjuk bahwa petugas A memakai jilbab dan berkacamata, sehingga peserta didik dapat membedakan.

“Setelah kedua cara tersebut diterapkan, panitia tak lupa mengadakan tahap pembimbingan dari suatu refleksi atau pengalaman yang telah dilakukan, hal ini biasa disebut Debrief. Pada proses Debrief panitia dapat menilai atau memiliki laporan peserta didik mana yang berhasil mengikuti arahan dengan baik dan tepat dengan peserta didik yang dinilai kurang berhasil, semisal dalam hal waktu maupun hasil akhir temuan,” tandas Nuryadi.

Dari hasil tersebut panitia dapat memberikan hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Terpenting hadiah tersebut disampaikan secara adil berdasarkan nilai yang diketahui seluruh peserta didik seperti halnya mendapat stiker dan ungkapan selamat. Begitupula dengan hukuman yang diterima peserta didik haruslah membangun dan tak mempermalukannya, dapat dilakukan dengan maju untuk memimpin jargon dan tugas tertulis lainnya.

Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma

Lebih baru Lebih lama