Khoirul Irham menjelaskan wilayah Dusun Doyong yang dahulunya berada di Utara tanggul Sungai Brantas. (Donny)


TEMBELANG – Metode syiar yang dilakukan oleh ulama terdahulu dalam menyebarkan ajaran Islam di suatu wilayah tertentu, menyimpan pelbagai kisah unik. Dari kisah inilah, kemudian berkembang menjadi tutur tinular yang memunculkan patokan awal mula penamaan suatutempat tersebut.

Seperti halnya di Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang. Dikisahkan oleh Kepala Dusun Pulogedang, Desa Pulogedang, Khoirul Irham, S.Pd.I. bahwa, pertama kali tanah kelahirannya dibabah serta dijadikan pemukiman tak lepas dari syiar Islam yang dilakukan oleh salah satu santri Syekh Kholil Bangkalan bernama Secha yang berasal dari Jepara.

Peleburan Dusun Doyong menjadi Dusun Pulogedang, sebatas persoalan administrasi. Seiring laju zaman, nama Dusun Doyong masih tetap terpatri di hati.

“Berdasarkan penuturan para pini sepuh, dalam menjalankan tugasnya, Buyut Secha dibekali biji salak dan wajib menjalankan beberapa persyaratan. Diantaranya, harus menyusuri tepian Utara Sungai Brantas dan mencari pohon dalam kondisi doyong (baca : miring). Tepat ketika disini, di Dusun Pulogedang inilah, Buyut Secha berhasil menuntaskan syarat kedua, walhasil dinamailah dengan Dusun Doyong,” tutur Khoirul Irham.

Baca Juga: QR Code Cagar Budaya Bentuk Informasi Digital Artefak

Lewat tradisi tutur itulah, masyarakat menyakini bahwa wilayah desanya memang bernama Dusun Doyong, sebelum berganti nama menjadi Dusun Pulogedang pada tahun 1980 yang berbarengan dengan relokasi warga tepian Sungai Brantas ke sisi Selatan sungai, imbuh Khoirul Irham. Pergantian nama dari Dusun Doyong ke Dusun Pulogedang yang menjadi cikal bakal nama Desa Pulogedang pun sampai saat ini belum diketahui persis seperti apa latar belakang historisnya.

Makam Buyut Secha. (Donny)

Pria yang juga merupakan keturunan kelima dari Buyut Secha ini menambahkan, “Hanya saja, untuk penyerapan nama Pulogedang sendiri diambil dari kata Pulo yang berarti kawasan tepian sungai, dan Gedang ialah buah pisang. Sehingga artinya tepian sungai yang rimbun akan buah pisang. Kemudian atas dasar perpindahan warga itulah, Dusun Doyong dilebur menjadi Dusun Pulogedang di tahun 1980-an.”

Sisa kayu dari pagar Musala yang dibangun oleh Buyut Secha. (Donny)

Kepala Urusan Bidang Perencanaan, Pemerintah Desa Pulogedang, Achmad Fatoni, membenarkan, nama Dusun Doyong yang saat ini familiar dengan nama Dusun Pulogedang, belum terhapus dari memori kolektif masyarakat Desa Pulogedang. Sebab, tanpa adanya syiar Islam oleh Buyut Secha, tentunya juga tak akan ada nama Desa Pulogedang yang sudah berkembang saat ini.

Wilayah Dusun Doyong yang ditunjukkan oleh Khoirul Irham pada peta Desa Pulogedang. (Donny)

“Peleburan Dusun Doyong menjadi Dusun Pulogedang, sebatas persoalan administrasi. Seiring laju zaman, nama Dusun Doyong masih tetap terpatri di hati. Hal ini tak lain sebagai bentuk penghormatan atas jasa Buyut Secha beserta murid-muridnya yang mengawali pembukaan wilayah di desa kami,” tandas Achmad Fatoni.

Reporter/Foto: Donny Darmawan
Lebih baru Lebih lama