Khoirul Anwar saat ditemui di Padepokan Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati. (Donny)


PETERONGAN – Sebagai manifestasi olah rasa, karsa, dan cipta, lahirnya sebuah seni pertunjukkan tradisional selalu dapat memberikan falsafah kehidupan. Hal ini tercermin dalam saban pementasan, lelaku, hingga ritual yang mengiringinya. Semuanya ini, jika ditarik benang merahnya, akan sampai pada kesimpulan bahwa sejatinya dibalik aneka rupa seni pertunjukkan tradisional, selalu memuat nilai-nilai luhur.

Keluhuran nilai inilah yang turut menggugah kesadaran sosok Khoirul Anwar sewaktu mendirikan kesenian Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati pada tahun 2016. Bagi Wak Polo, panggilan akrabnya di Dusun Bongkot, Desa Bongkot, Kecamatan Peterongan, di masa awal pendirian Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati masyarakat belum sepenuhnya menerima dengan tangan terbuka. Sebab saat itu dikhawatirkan, Bantengan akan bertentangan dengan kaidah norma yang berlaku di masyarakat.

“Didasari rasa suka kesenian Jaranan dan Bantengan sedari kecil, serta lamat-lamat belajar dari pelakunya secara langsung, tekad untuk membentuk kelompok kesenian Bantengan semakin bulat. Karena pada medio sekitar enam tahun silam, banyak diantara remaja Desa Bongkot terjerumus kenakalan remaja dan tersandera kasus hukum. Walhasil mau tidak mau, untuk mengikisnya salah satunya ialah melalui wadah Bantengan,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Kepala Dusun Bongkot, Desa Bongkot, Kecamatan Peterongan ini.

Seniman Bantengan harus matang mental dan fisik. Jika masih di usia pelajar atas maupun menengah, saya rasa belum mumpuni untuk mementaskan pakem Seni Bantengan.

Ditanyai lebih lanjut perihal Bantengan yang dipilih, bapak dari dua orang putri memaparkan bahwa, sebenarnya Bantengan sejak dahulu sudah menubuh di masyarakat Desa Bongkot. Akan tetapi karena satu dan lain hal tak terdengarnya kembali gaungnya, lantas sedikit banyak memudar dari ingatan masyarakat.

“Itulah juga sebabnya, ketika sebelum berdirinya Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati, minat seni remaja disini justru terwadahi di luar desa. Akhirnya, perlahan-lahan ketika saya menyisihkan sebagian tabungan untuk membeli perlengkapan gamelan dan kostum Bantengan komplit, saya mulai merekrut remaja disini untuk menjadi anggota,” ujar Khoirul Anwar.

Baca Juga: Hak Profesi Guru PAUD Non-Formal Harus Diakui

Bagi Khoirul Anwar, untuk membuktikan ide dan gagasannya tidak berbenturan dengan norma di masyarakat, ia sengaja tidak merekrut anggota di usia pelajar. Membatasi jadwal pementasan, sampai membuat peraturan tegas agar seluruh anggota tidak kembali pada masa lalu kenakalannya. Apabila terdapat anggota yang melanggar, maka konsekuensinya akan dicabut nama serta identitas keanggotaannya sebagai keluarga besar Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati.

Khoirul Anwar menegaskan, “Dari segi usia, seniman Bantengan harus matang mental dan fisik. Jika masih di usia pelajar atas maupun menengah, saya rasa belum mumpuni untuk mementaskan pakem Seni Bantengan. Kemudian jadwal pementasan memang sengaja saya batasi agar fisik serta perilaku anggota masih terkontrol. Jikalau jadwal padat, pada akhirnya sering membuat para anggota terlena dan lupa dengan tujuan awal menghibur masyarakat. Sehingga, kesemuanya saya tekankan bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya berdirinya Bantengan Ki Ageng Kemuning Jati dilandasi memotivasi perubahan remaja Desa Bongkot untuk senantiasa menebarkan kebaikan di masyarakat.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama