Memiliki sepuluh pilar penyangga pendapa. (Rabithah)


NGORO – Sekilas pandang tak ada yang spesial ketika melintasi rumah yang berlokasi di Desa Genukwatu, Kecamatan Ngoro ini. Tampak berdiri kokoh bangunan lama yang mempunyai halaman luas. Namun demikian, ketika diperhatikan lebih seksama ternyata tersimpan baik perkakas kuno yang masih dirawat pemiliknya dengan sepenuh hati.

Setiap sudut ruangan pasti memiliki makna bagi sang pemilik, seperti tinggi pada pintu kamar utama yang dahulu dihuni Lurah Astrorejo yang hanya setinggi 160 sentimeter mengharuskan setiap orang dewasa yang melewatinya harus sedikit menunduk sebagai tanda menghormati.

Pemilik rumah, Sunarti dengan senang hati mengisahkan kepada Majalah Suara Pendidikan Lurah Astrorejo sang pendiri bangunan rumah ini yang telah ada sejak tahun 1919 tak lain adalah ayahandanya. Lurah Astrorejo sendiri ialah orang yang berjasa sebagai pemimpin pertama Desa Genukwatu.

Baca Juga: SDN Jarak I dan TK Tunas Mawar Jogoroto Semarak Gelar Karya P5 dan Perjusa

Sunarti mengisahkan, “Rumah tersebut memiliki gaya Joglo khas Pulau Jawa. Hal ini terlihat dari bangunan pendapa yang terbilang luas sebelum memasuki bagian dalam rumah atau biasa disebut bagian ndalem. Ruang pendapa difungsikan sebagai ruang pertemuan warga atau tamu yang jumlahnya berjibun. Bangunan pendapa menyimpan banyak ornamen hiasan berupa lukisan, lampu gantung, patung kepala kuda dan rusa, namun naas lantaran beberapa banyak yang sudah hilang diambil oknum yang tidak bertanggungjawab.”

Rumah Peninggalan Lurah Astrorejo tampak depan. (Rabithah)

Ketika mulai memasuki bagian ndalem juga terdapat ruang tamu yang dikhususkan untuk tamu penting atau sanak saudara. Bangunan rumah dengan luas sekitar 75 meter persegi ini memiliki setidaknya empat kamar tidur, dua dapur, satu ruang makan, tiga kamar mandi, gudang penyimpanan barang hingga kandang hewan peliharaan.

Jendela lawas yang menjulang setinggi hampir tiga meter. (Rabithah)

Cucu Lurah Astrorejo yang juga tinggal di rumah tersebut, Sri Sundari Purwaning Ari menyampaikan bahwa setiap sudut ruang masih menyisakan perabot antik laiknya almari, meja, dan kursi yang masih dipertahankan keasliannya. Namun bukan berarti tak tersentuh renovasi sama sekali, pada tahun 1977 mengganti lantai semen menjadi tekel serta memperbaiki atap teras yang semula kayunya telah lapuk. Selebihnya hanya sekadar perawatan saja seperti pengecatan yang awalnya berwarna cokelat tua kini sedikit bervariasi dengan warna krem dan putih serta menambal genting yang bocor.

Desain interior yang masih asli tak tersentuh renovasi. (Rabithah)

“Setiap sudut ruangan pasti memiliki makna bagi sang pemilik, seperti tinggi pada pintu kamar utama yang dahulu dihuni Lurah Astrorejo yang hanya setinggi 160 sentimeter mengharuskan setiap orang dewasa yang melewatinya harus sedikit menunduk sebagai tanda menghormati. Selain pintu masuk utama, terdapat pintu tambahan yang dapat menghubungkan antar kamar satu dengan kamar lainnya. Dinding setebal 30 sentimeter pada jendela ini juga sangking lebarnya sampai bisa difungsikan sebagai meja,” terang Sri Sundari Purwaning Ari.

Reporter/Foto: Rabithah Maha Sukma


Pintu masuk kamar utama yang hanya setinggi 160 sentimeter. (Rabithah)


Foto Lurah Astrorejo bersama sang istri. (Rabithah)

Lebih baru Lebih lama