Kenampakan rumah dari depan. (Donny)


NGORO – Setiap periode dalam lintasan waktu sejarah, pasti memiliki peninggalan yang berharga. Wujudnya pun beragam. Mulai dari benda, tradisi tutur, sampai yang paling jamak serta mudah kita temui hari ini ialah berupa bangunan. Baik gedung, rumah ibadah maupun hunian.

Selain memiliki dua pilar beton dan empat lainnya sebagai penyangga dengan model blandar tumpang sari laiknya rumah lampau di Jawa pada umumnya, keunikan serta kekayaan historis lainnya juga terdapat di perangkat meja kursi warisan Buyutnya.

Ihwal hunian, memang salah satu aspek yang membuatnya dapat bertahan, berdiri kokoh sampai hari ini karena adanya tradisi waris. Sehingga tak jarang, di pelbagai sudut Telatah Kebo Kicak ini, rumah dengan gaya arsitektur era Hindia-Belanda dan sepeninggalannya masih nampak berseri. Salah contohnya ialah kediaman Wahyudi yang beralamat di RT 01 RW 02, Nomor 83, Dusun Gajah, Desa Gajah, Kecamatan Ngoro.

Baca Juga: Akreditasi: Irisan Mutu Pendidikan

Saat ditemui Majalah Suara Pendidikan pada Senin pagi (28/11), Kakek dari sembilan orang cucu ini berkisah, “Rumah ini didirikan pada tahun 1932 dan merupakan warisan Buyut Nitirejo yang merupakan buyut saya. Dahulunya, Buyut Nitirejo ialah Kepala Desa Gajah pertama semasa Hindia-Belanda. Lalu sepeninggal beliau, rumah ini diwariskan ke kakek kemudian berlanjut ke ayah, dan terakhir saya yang ditugasi menghuni warisan ini usai menuntaskan perantauan di Kota Kembang, Bandung, pada tahun 1980.”


Dirunut berdasarkan tahun pendiriannya, rumah warisan milik Wahyudi ini memang lekat dengan arsitektur kolonial bercorak rampasan. Model rampasan ini tercirikan dari tipe atap limas yang terbagi menjadi empat bagian. Masing-masing atap ini sendiri memayungi bagian dalam rumah yang berbeda. Mulai teras depan yang ditandai dengan tambahan atap lancip menjulang setinggi ± 1,5 meter. Lalu melebar serta memanjang ke belakang, melingkupi ruang tengah, sampai dapur.

Foto keluarga dan wayang kulit semasa Hindia-Belanda peninggalan kakek buyut Wahyudi. (Donny)

“Dari keempat ruangan yang ada, ruang tengah menjadi simbol sejarah keluarga sampai hari ini. Sebab, selain digunakan untuk berkumpul anak cucu sewaktu hari raya, ruangan ini juga menjadi semacam museum keluarga yang memajang beberapa peninggalan buyut, kakek, pakde, dan ayah saya, seperti foto keluarga dan wayang kulit kuno,” imbuh Wahyudi.

Wahyudi saat berada di ruang tengah rumahnya. (Donny)

Senapas dengan memori masa lalu yang ada, ruang tengah rumah Wahyudi memang cukup unik. Selain memiliki dua pilar beton dan empat lainnya sebagai penyangga dengan model blandar tumpang sari laiknya rumah lampau di Jawa pada umumnya, keunikan serta kekayaan historis lainnya juga terdapat di perangkat meja kursi warisan Buyutnya. Terbilang unik pasalnya, jika permukaan meja ditarik ke samping, maka nampak papan catur yang berada di bawahnya.

Lukisan kuno peninggalan dari Pakde Wahyudi. (Donny)

“Menimbang banyaknya peninggalan sejarah keluarga yang berharga, ayah saya pernah berpesan bahwa dahulu buyut dan kakek sudah berujar bahwa siapapun pewaris rumah ini dari trah keluarga Nitirejo harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Pantang untuk dijual. Baik koleksi, lahan maupun rumah,” tegas Wahyudi.

Meja klasik yang menjadi salah satu warisan kakek buyut Wahyudi. (Donny)

Ini juga cukup beralasan mengingat rumah yang berdiri di lahan seluas 34 x 40 meter dan luas rumah 9 x 30 meter ini memang salah satu bangunan bersejarah yang ada di Desa Gajah. Apabila tak pandai merawat dan menjaganya maka anak cucu kedepan kehilangan jati dirinya sebagai keturunan Buyut Nitirejo, tandas Wahyudi.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama