Sisa dinding pembatas waduk sejak era Hindia-Belanda. (ist)


JOMBANG – Seturut catatan historiografis Indonesia, Perang Jawa yang berkobar pada rentang 1825-1830 silam menjadi sejarah perang terpanjang di Hindia Belanda saat itu. Selama lima tahun perang berlangsung, pasukan perang pribumi yang berasal dari kaum tani dan santri di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro sukses membuat surut kondisi ekonomi, persenjataan, serta taktik perang tentara kolonial Hindia-Belanda.

Dulunya waduk yang saat ini sudah menjadi lapangan sepakbola tersebut, sengaja dibangun oleh Hindia-Belanda dengan tujuan menyokong irigasi bagi pertanian di Dusun Parimono.

Akan tetapi di akhir Perang Jawa berkecamuk Pangeran Diponegoro dijebak dalam skema perjanjian perdamaian, lalu ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi Selatan. Setelahnya beberapa pasukan Pangeran Diponegoro menyebar ke pelbagai penjuru Nusantara demi meneruskan tonggak perjuangan. Berlanjut semangat pembebasan diteruskan oleh banyak pasukan Pangeran Diponegoro. Namun tidak lagi dengan konfrontasi angkat senjata. Melainkan secara kultural, dengan mensyiarkan Islam ke beberapa daerah. Di bawah komando beberapa pasukan itulah, perjuangan syiar Islam diteruskan oleh beberapa pimpinan pasukan.

Baca Juga: Mengapa Memotong Bawang Bikin Mata Pedih?

Di Telatah Kebo Kicak sendiri, jejak perjuangan pimpinan pasukan tersebut masih membekas dalam tradisi tuturnya. Salah satunya di Dusun Parimono, Desa Plandi, Kecamatan Jombang.

Pimpinan pasukan Pangeran Diponegoro kala itu bernama Mbah Ahmad Jadu, merupakan sosok penting dibalik pembuka peradaban Islam Dusun Parimono kala itu. Salah satu cucu keturunan ketiga dari Mbah Ahmad Jadu, Bahrudin menjelaskan, berdasarkan cerita tutur yang digali dari kakek maupun buyutnya terdahulu, penamaan Parimono memang disarikan berdasarkan temuan beberapa titik belukar yang dihidupi tanaman padi secara berkelompok.



“Oleh karenanya, ketika Mbah Ahmad Jadu tiba di wilayah Parimono untuk berdakwah, dusun kecil ini sudah berpenghuni. Senyampang itu pula, penamaan Parimono juga telah ada sebelum Mbah Ahmad Jadu tiba disini. Kendati masih samar siapa yang pertama kali menamakan dengan nama Parimono, namun secara harfiah arti dalam Bahasa Jawa sesuai dengan potensi wilayahnya yakni Pari Ono atau ada padi dimana-mana,” tutur Bahrudin.


Beberapa anak sedang berteduh di salah satu aliran irigasi yang berada di sudut Lapangan Desa Plandi. (ist)

Bukti kemashyuran Dusun Parimono yang kaya akan Padi tersebut bukan isapan jempol semata. Beberapa jejak berupa sisa bangunan era Hindia-Belanda, masih terpacak. Termasuk cuilan dinding waduk, yang berada di sebuah lapangan sepakbola di salah satu sudut Dusun Parimono.

Kepala Dusun Parimono, Abdul Muiz Rahman mengungkapkan, dulunya waduk yang saat ini sudah menjadi lapangan sepakbola tersebut, sengaja dibangun oleh Hindia-Belanda dengan tujuan menyokong irigasi bagi pertanian di Dusun Parimono. Meskipun sudah beralih fungsi, sektor pertanian di Dusun Parimono masih bertahan.

Drama Pementasan dengan Lakon Babad Desa Plandi dan Dusun Parimono, saat pembukaan Pasar Kuliner Desa Plandi. (26/2). (ist)

Abdul Muiz Rahman menambahkan, “Memiliki luas ± 8.000 m², untuk saat ini Dusun Parimono menyisakan 30% warganya yang bermata pencaharian sebagai petani. Persentase ini juga telah berubah seiring laju zaman dan pembangunan yang kian pesat. Sehingga tak dapat dimungkiri angka petani saat ini tidak sebanyak dahulu kala. Kendati demikian dari tradisi tutur ihwal awal mulanya Dusun Parimono ini, diharapkan dapat menjadi warisan kepada tiap generasi untuk mencintai tanah kelahirannya.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan/Istimewa

Lebih baru Lebih lama