Salah satu bagan resiko tentang pernikahan dini yang ada di Pengadilan Agama Jombang. (Donny)


JOMBANG – Usia remaja merupakan masa keemasan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap fase pendewasaan. Oleh karenanya, banyak variabel yang berperan penting dalam menentukan tahapan proses kedua jenjang tersebut. Mulai dari sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Bilamana ketiga variabel tersebut tidak mampu terkoneksi secara laik, maka efek yang ditimbulkan pun berdampak serius pada keberlangsungan serta kepastian masa depan para remaja selaku generasi bangsa. Salah satu imbas yang tengah menggejala dan telah merupa sebagai fenomena gunung es ialah pernikahan dini.

Guru dan kepala sekolah harus mampu menciptakan ruang bagi peserta didik untuk memutuskan segala model peraturan sampai model belajar yang sesuai.

Seturut penelurusan data yang berhasil dihimpun oleh Majalah Suara Pendidikan dari Pengadilan Agama Jombang, angka pernikahan dini di tahun 2022 sejak periode bulan Januari-Desember tercatat ada 394 pernikahan. Sedangkan pada tahun 2023 mulai periode bulan Januari-April telah terdapat 81 pernikahan.

Humas Pengadilan Agama Jombang, Dr. Ulil Uswah saat ditemui di ruang kerjanya pada (5/4) menjabarkan, angka tersebut sebelumnya memang telah diproses terlebih dari Kantor Urusan Agama (KUA). KUA tidak serta merta langsung menikahkan pasangan apabila pihak mempelai belum cukup umur. Akan tetapi harus melalui tahapan Dispensasi Kawin yang menghadirkan kedua wali atau orangtua dengan membawa salinan persyaratan berkas yang harus dipenuhi. Mulai surat nikah orangtua salah satu calon pemohon, KTP, surat keterangan belum memenuhi umur dari kepala KUA, akta lahir serta ijazah terakhir mempelai.

Baca Juga: KOSP Medorong Peningkatan Kualitas Satuan Pendidikan

“Sehingga dari pelbagai pertimbangan, memang penetapan syarat ini ditetapkan sebagai pengesahan syarat apabila kedua calon pasangan, dengan persetujuan kedua belah pihak keluarga sudah berkehendak melangsungkan pernikahan. Namun secara hukum positif, pengajuan ini dapat dicabut dengan mempertimbangkan aspek fisik maupun non-fisik calon mempelai. Tujuannya juga menekan resiko perceraian, maupun kematian ibu dan anak sewaktu melahirkan. Hal ini pun telah sebangun dengan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, yang diperbarui menjadi UU Nomor 16 Tahun 2009. Jika mengacu pada UU lama, ditetapkan usia laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun untuk memenuhi persyaratan pernikahan. Akan tetapi sesuai pembaruan yang ada, untuk saat ini sudah disetarakan bahwa mempelai harus berusia minimal 19 tahun,” beber Ulil Uswah.

Sementara itu, Pembina Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) Jombang, Dra. Susiana, M.Si. menyoroti bahwa pernikahan dini salah satu faktornya tak terlepas dari pergaulan remaja yang mengalami Loss Learning. Oleh karenanya, salah satu solusi yang dapat diimplementasikan secara riil di tingkat satuan pendidikan, ialah mulai membangun budaya positif yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik.



Susiana menegaskan, “Garis besarnya yakni budaya positif melalui serangkaian pencegahan tindak-tanduk kenakalan remaja dengan metode bottom up. Artinya, guru dan kepala sekolah harus mampu menciptakan ruang bagi peserta didik untuk memutuskan segala model peraturan sampai model belajar yang sesuai. Demikian nantinya, ketika iklim belajar dan menemukan ilmu serta pengetahuan telah berorientasi pada peserta didik, hasilnya akan senyampang dengan penumbuhan karakter. Baik karakter peserta didik maupun satuan pendidikannya.”

Menambah sudut pandang lain mengenai penyebab serta dampak pernikahan dini, Majalah Suara Pendidikan bertemu dengan Direktur Woman Crisis Center, Ana Abdillah, S.H.I. pada (5/4). Sepengalamannya, rasio angka pernikahan dini dengan kasus kekerasan terhadap perempuan selalu berkaitan. Sebagai contoh rentang periode 2020-2022 telah terdapat 122 kasus kemudian untuk tahun 2022 saja terdapat peningkatan sebanyak 46 kasus.

Lebih rinci Ana Abdillah menjelaskan, “Berkaca pada beberapa kasus tersebut, memang salah satu faktornya ialah masih membudayanya pernikahan sebagai win win solution dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Seharusnya prioritas penanganan mesti dilakukan dengan cara memulihkan traumatik korban dengan pencegahan keberualangan kejadian yang menimpanya. Hal ini pun juga bersumber pada kurangnya informasi dan pengetahuan akan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan. Menimbang urgensi dari faktor dan penyebabnya, informasi dan pengetahuan harus akan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual mesti digaungkan, sebagaimana yang telah termaktub dalam Buku Saku Mekanimse Rujukan Layanan HKSR Berbasis Gender bagi SMP/MTs/PKLK Kabupaten Jombang 2022. Tak hanya di sektor pendidikan, melainkan seluruh stakeholders terkait harus mengambil peran aktif pencegahan kasus kekerasan/pelecehan seksual dan penekanan angka pernikahan dini.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama