Cover Kiai Gado-gado. (Ist)


M. Adlan Fahmi

Judul : Kiai Gado-gado; Kisah, Kiprah

Perjuangan dan Teladan

Penulis : Mukani

Penerbit : Nous Pustaka Utama

Tahun Terbit : Oktober 2022

Tebal : xviii + 196 Halaman

Ya, itulah judul sebuah buku, salah satu karya seorang santri dan akademisi yang telah lama bergelut dibidang kepenulisan, Mukani. Penulis yang hidup dan besar dilingkungan pesantren, dan telah malang melintang dalam berbagai organisasi keprofesian dan kemasyarakatan, kini aktif sebagai pengurus Literacy Center Pengurus Wilayah Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (PW LTN NU) Jawa Timur.

Buku “Kiai Gado-gado; Kisah, Kiprah Perjuangan, dan Teladan” setebal 196 halaman ini berisi tulisan tentang kisah 21 kiai yang masyhur pada zamannya dan daerahnya, mulai dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary hingga KH. Abd. Nashir Abd. Fattah, dan lain sebagainya. Sesuai judulnya, “gado-gado”, buku ini sangat bergizi, kaya dengan berbagai kandungan hikmah, inspirasi, dan keteladanan.

Sosok Pak Manan memang layak menjadi teladan buat kita semua. Kita harus berbuat baik dan memberikan manfaat pada sesama manusia, apapun kondisinya. Itu adalah sebuah perjuangan yang tidak ternilai harganya.

Terbit pada bulan Oktober 2022, buku ini menunjukkan bahwa setiap kiai memiliki keteladanan dan inspirasi yang tidak akan pernah habis untuk ditulis. Mengutip istilah yang digunakan Prof. Dr. Ngainun Na’im dalam kata pengantar buku ini, pada diri kiai sarat dengan teladan. Bisa jadi teladan dalam kesederhanaan, ibadah, social, mengaji, atau yang lainnya. Teladan yang lahir dari kualitas personal kiai inilah yang menjadi inspirasi yang penting untuk diteladani oleh masyarakat luas.

Salah satu kiai inspiratif yang dikisahkan dalam buku ini adalah KH. Sunaman Hidayat, pengasuh Pesantren Nurul Ishlah. Sosok ini tidak begitu asing bagi warga Nganjuk, Jawa Timur. Pembawaan yang kalem dan humoris, kiai ini akrab disapa Pak Manan. Pak Manan lahir dari keluarga petani biasa di desa Kalianyar kecamatan Ngronggot kabupaten Nganjuk. Beliau sejak kecil sudah dididik bekerja keras oleh kedua orang tuanya. Dari orang tua yang merupakan kiai kampung inilah beliau belajar dasar-dasar ilmu agama.

Baca Juga: Mengawali Belajar di Lembaran yang Baru

Setamat dari SDN Kalianyar, Pak Manan kecil melanjutkan belajarnya ke SMPN Ngronggot, Nganjuk dan nyantri di Pesantren Al Fattah Tanjunganom di bawah asuhan KH. Nahrawi. Kemudian beliau melanjutkan untuk menimba ilmu di MAN Purwoasri sekaligus nyantri di Pesantren Al Hikmah Purwoasri Kediri asuhan KH. Badrus Sholeh. Tidak berhenti disitu, tekad menimba ilmu beliau lanjutkan di Jurusan Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Kediri, sekarang IAIN Kediri, sekaligus nyantri di Pesantren Al Ishlah Bandar Kota Kediri.

Oleh rekan sejawatnya, beliau dikenal sebagai figure yang aktif, gigih, ulet, dan menonjol. Beliau pernah menjabat sebagai ketua senat mahasiswa selama 2 periode hingga menjadi wakil ketua cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kediri. Saat mulai terjun di masyarakat, beliau juga mengajar di Universitas Islam Kediri (UNISKA), Institut Agama Islam Tribakti (IAT) Lirboyo, Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA) Krempyang, Nganjuk, dan MA Pesantren Sabilul Muttaqin Cengkok, Ngronggot, Nganjuk. Tentu saja ini belum ditambah dengan kesibukan menghadiri undangan untuk menjadi penceramah di pengajian-pengajian.



Ditengah kesibukan yang luar biasa, pada tahun 2002 beliau mendirikan Pesantren gado-gado, yaitu Pesantren Nurul Ishlah Ngronggot, Nganjuk. Pesantren Nurul Ishlah Ngronggot, Nganjuk ini memang dikenal dengan pesantren gado-gado. Ini karena latar belakang santri yang sangat beraneka ragam. Mulai dari korban broken home, pecandu narkoba, mantan pelaku free sex, anak autis, cacat fisik, mantan pemabuk minuman keras, korban KDRT, hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Santri yang belajar di pesantren ini ada yang berasal dari Sumatera, Lampung, Kalimantan, Jawa Tengah, Kediri, dan Nganjuk. Ironisnya, mayoritas dari mereka adalah berstatus yatim.

Dikonfirmasi tentang hal ini, Pak Manan hanya tersenyum saja. “Biar Allah nanti yang akan membalas semuanya, pungkasnya. Upaya ini, katanya, hanya sebuah usaha untuk mencari bentuk dan membangun fondasi untuk melanjutkan perjuangan Wali Songo dulu. Itulah alasan Pak Manan mengaku senang ziarah ke makam Sunan Ampel, yang tidak lain adalah sebagai bukti keterlanjutan (munasabah) atas perjuangan yang sudah dilakukan.

Meski berat, itu semua dijalani Pak Manan dengan tulus. “Saya dan istri sudah berkomitmen untuk tidak membuat proposal untuk memenuhi kebutuhan mereka semua, meskipun dana untuk yatim berseliweran di luar sana,” imbuhnya. Salah satu kepala daerah, lanjutnya, pernah hendak menyumbang 100 juta rupiah untuk membangun pondoknya tersebut. “Saya tolak dengan halus, karena orang seperti saya tidak bisa membuat SPJ-nya,” katanya dengan tertawa.

Ya, sosok Pak Manan memang layak menjadi teladan buat kita semua. Kita harus berbuat baik dan memberikan manfaat pada sesama manusia, apapun kondisinya. Itu adalah sebuah perjuangan yang tidak ternilai harganya.

Semoga kita semua dapat meneladaninya. Aaamiiin.

*) Guru PAI SDN Sambirejo 1 Wonosalam

Lebih baru Lebih lama