JOMBANG – Sebuah ungkapan lampau menyatakan bahwa, mata pena lebih tajam daripada pedang.
Namun, jika ditambahkan sesuai dengan jiwa zaman saat ini, mata lensa kamera juga turut
mempertajaman adanya ide, gagasan, serta pemikiran. Seperti halnya kerja para sineas dalam
menghasilkan karya dokumenter.


Melalui bidikan lensanya, karya yang dihasilkan memang bertujuan untuk membongkar realitas
sosial yang tak banyak terekam oleh publik. Sabtu (18/11/2023) malam, bertempat di Hutan Kota (Huko) Kafe Jombang, kolektif dari pegiat sinema Telatah Kebo Kicak yang tergabung dalam kelompok kolektif Madjoe Mapan Films, menggelar diskusi dan bedah tiga dokumenter bertema lingkungan, dan mengambil tajuk Water Keeps Me Alive.

Penjelasan Ide Pembuatan Film (ist)

Pada sesi pertama layar memutarkan dokumenter berjudul Pohgati karya Bariiq L yang merekam
perjuangan kelompok adat dalam menjaga sumber mata air di Tulungagung. Dalam dokumenter yang
berdurasi tidak sampai 45 menit ini, perjuangan kelompok Pohgati memang didasari atas keterikatan
ekologis dan sosiologis yang terbentuk secara turun temurun dari para leluhurnya terhadap keberadaan
hutan dan sumber mata air Pohgati.

Oleh karenanya, mayoritas masyarakat adat Pohgati yang berprofesi sebagai petani dan peladang
di hutan, ketika merespon pembangunan kawasan hulu tak terbendung, hingga menyebabkan surutnya
mata air untuk bercocok tanam, ritus adat dan konservasi selalu digalakkan. Selain untuk menjaga
identitas mereka dengan alam, keduanya juga difungsikan sebagai sarana pemelihara sumber mata air
lewat tradisi.

Kemudian di sesi kedua, dokumenter berjudul Nguripi, yang dibesut oleh sutradara muda, Ahilla
Kamala mengungkap bagaimana latar sejarah perubahan lingkungan di Dusun Mendiro, Desa
Pangklungan, Kecamatan Wonosalam. Dari konflik, hingga perambahan hutan tak bertanggung jawab
sampai disertai kriminalisasi warga. Akan tetapi, perlahan berkat kegigihan peran Kelompok Kepuh,
perjuangan telah berbuah manis. Konsistensi yang gigih dalam memperjuangkan hak konservasi sekaligus akses mata air, telah dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Mulai hulu sampai hilir Pegunungan Anjasmara.

Sesi Pendiskusian (ist)

Terakhir, dalam dokumenter Hujan Air, Izzudin sang sutradara mengkisahkan bagaimana
pengelolaaan air hujan di komunitas Sholawat Air Hujan Mojoagung. Lewat pengelolaan air hujan inilah, Izzudin berpesan bahwa hubungan manusia dengan air sebagai salah satu kunci keberlangsungan
kelestarian lingkungan menjadi hal substansial yang terbantahkan.

Saya yang didapuk sebagai moderator Rasan Rasan Film #3 langsung menyaring pernyataan dari
ketiga sutradara muda tersebut. Motivasi terbesar dalam pengkaryaan mereka memang dipengaruhi oleh
kegelisahan secara personal dalam merespon gejala krisis iklim yang semakin nyata.


Salah satu peserta diskusi memaparkan pendapatnya.
(ist)








Dibenarkan oleh Amiruddin dari Peneliti Ecoton yang hadir sebagai narasumber, bahwa untuk saat
ini, kondisi di banyak daerah, kawasan mata air dari hulu ke hilir telah mengalami perubahan signifikan. Faktornya tak lain akibat kelemahan pengawasan kebijakan kawasan konvervasi lingkungan yang banyak diabaikan dan hanya memprioritaskan skala investasi kapitalisme.

“Akibatnya, dari wilayah hutan sebagai resapan mata air dan hulu-hilir sungai, untuk saat ini telah
banyak hilang dan tercemar pelbagai limbah industri. Maka, penting untuk dimaknai bahwa perekaman
dokumenter adalah suatu upaya alternatif untuk memberikan kritik, gambaran nyata, serta membangun
wacana dan ikatan emosional terhadap isu sosial lingkungan yang kontekstual hari ini dan di masa
mendatang,” tegas Amiruddin. ■ donny darmawan
Lebih baru Lebih lama