MEGALUH – Berbicara tentang Dusun Paras, Desa Turipinggir, Kecamatan Megaluh pasti sebagian masyarakat teringat akan sebuah tempat bersejarah yang sempat ramai menjadi lokasi wisata, yakni Bendungan Turipinggir.
Bendungan bersejarah dengan pemandangan indah berupa hamparan rumput luas, Sungai Brantas, dan bangunan kuno ini, memang menjadi daya tarik di Dusun Paras. Sehingga cukup menarik apabila membahas lebih jauh perihal Dusun Paras yang berbatasan langsung dengan Sungai Brantas dan Kabupaten Nganjuk ini. Khususnya, dari segi kelestarian budayanya.
Baca Juga : Cerita Sukses Pentas Drama ABK
Memang, di Dusun Paras ini, pembaca dapat menemukan budaya dan tradisi yang masih terjaga. Mulai dari Nyadran (Sedekah/Bersih Desa), Wiwitan (Berkah Panen) dan Kirab
Jodang. Ketiganya, rutin dihelat sebagai wujud syukur masyarakat terhadap hasil panen yang
didapat sepanjang tahun. Sekaligus, sebagi simbol doa kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui tradisi, agar seluruh warga Dusun Paras selalu selamat dan terhindar dari segala marabahaya.
Bendungan Turipinggir. (Rabithah) |
Kepala Dusun Paras, Desa Turipinggir, Kecamatan Megaluh, Johan Dwi Santoso menyampaikan, adanya ketiga tradisi yang masih ada, tidak lepas dari Mbah Brindil. Mbah Brindil sendiri merupakan leluhur yang dipercaya sebagai pembabah wilayah Dusun Paras. Hingga kini, makam Mbah Brindil juga masih berdiri kokoh lengkap dengan bangunan punden yang juga tak jauh dari Bendungan Turipinggir.
"Di makam Mbah Brindil inilah Sedekah Bumi dilaksanakan. Selain Mbah Brindil, sosok leluhur yang juga diyakini masyarakat sebagai pendahulu Dusun Paras, ialah Mbah Sandi. Beliau inilah, sesepuh yang mewariskan tradisi Nyadran yang jatuh setap Jumat Pahing. Biasanya pada kegiatan Nyadran ini masyarakat juga melakukan kerja bakti, bersih desa, sampai membersihkan makam umum Dusun Paras. Selain itu, sebagai wujud uri uri budaya, saat rangkaian Nyadran juga digelar pementasan Wayang Kulit pada siang hari dan dilanjutkan kembali pada malam harinya,” ujar Johan Dwi Santoso.
Nyadran di Makam Mbah Sandi dan Mbah Brindil. (Rabithah) |
Disamping itu pula, Masyarakat Dusun Paras juga masih memiliki rasa kecintaan dan hormat pada nenek moyang Mbah Brindil dan Mbah Sandi yang dianggap berjasa membuka wilayah di Dusun Paras, imbuh Johan Dwi Santoso.
Masyarakat Berkumpul Ketika Nyadran. (Rabithah) |
Salah satunya, juga diwujudkan ketika pemberian sesajen saat Nyadran dari pagi hingga siang hari. Masyarakat Dusun Paras menyiapkan sesajen diatas wadah yang biasa disebut dengan “tempeh” dan diletakkan secara melingkar. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab. Karena dimaknai oleh masyarakat bahwa, dengan meletakkan kudapan, jajanan di tempeh dengan cara melingkar, maka ini menjadi simbol permohonan agar nantinya kehidupan perekonomian masyarakat Dusun Paras dapat berjalan dengan baik dan diberkahi Tuhan Yang Maha Esa. ■ rabitha maha