CERPEN - Bak hujan di siang bolong mengguyur tanah kering yang telah bertahun-tahun dilanda kemarau. Hati Bu Nafi terasa sejuk mendengar kata“maaf” yang selama dua puluh tujuh tahun menikah belum pernah terdengar dari mulut suaminya.
Ya. Sore itu menjelang datangnya
bulan suci yang dinanti-nantikan umat Islam seluruh dunia, ada sebuah kado
indah untuk sebuah keluarga kecil di sudut rumah sederhana di Desa Sumberrejo
ini.
Adalah Pak Kadir dan Bu Nafi yang telah dua puluh tujuh tahun menikah dan dikaruniai dua putri yang keduanya sudah dewasa. Namun, di masa silam ada cerita yang janggal pada beberapa penggal cerita hidup dalam biduk rumah tangganya.
Masa Lalu
Siang itu, Pak Kadir kembali menyelinap pergi menemui seseorang menuju sebuah tempat yang telah disepakati. Istri dan anak pertamanya sebenarnya sudah mengetahui gerak geriknya yang mencurigakan selama dua mingguan ini.
Telepon yang diterima dengan
berbisik-bisik di gudang belakang rumah yang berbatasan langsung dengan kamar
putri pertamanya menjadi tempat favorit Pak Kadir tiap habis salat Subuh.
Sehari, dua hari, seminggu gelagatnya belum tertangkap mencurigakan bagi anak
istrinya.
Ilustrasi Keluarga Saat Idul Fitri.
(Google)
Namun minggu kedua istrinya mulai mendengarkan ada pembicaraan telepon suaminya melalui tembok kamar putrinya. Telepon yang tidak biasa. Karena setiap kali habis bicara di telepon, Pak Kadir pasti segera tancap gas motornya, lalu pergi. Dan sore harinya, Pak Kadir baru pulang.
“Iya
iya nanti bapak kesana jam 8. Tunggu ya”, lirih suara Pak Kadir menjawab suara di seberang sana.
Klik,
terdengar suara telepon ditutup mengahiri pembicaraan.
Bu Nafi buru-buru kembali ke
dapur berpura-pura sibuk memasak. Hatinya bergemuruh hebat. Dia tahu siapa yang
akan ditemui suaminya nanti. Orang yang selama ini banyak memberi petaka pada
keluarganya. Orang yang selama ini banyak memberi pengaruh buruk pada suaminya.
Orang yang membuat masyarakat dan keluarga besarnya memicingkan mata curiga
pada dia dan keluarga kecilnya.
Ya, dialah Ali. Anak semata wayang Pak Kadir dari mendiang istri pertamanya. Anak laki-laki yang entah bagaimana dulu dia dididik oleh kedua orang tuanya sehingga menjadi pribadi yang sangat liar. Apakah karena ayahnya dulu sibuk merawat ibunya yang sakit keras sehingga dia tidak ada seseorang untuk bertanya, berteduh, dan bersandar di kala dia sedang tidak baik-baik saja ?.
Apakah karena dia tidak pernah
merasakan kasih sayang dan nasihat seorang ibu yang sejak dia lahir hanya
berbaring di kasur lusuh mereka sehingga berbincang hangat dengan orang tuapun
tidak pernah dia rasakan ?.
Hidupnya berjalan tanpa arah
dan tujuan. Dia dibesarkan oleh lingkungan yang kejam. Kata-kata kotor dengan
mudah meluncur dari bibir kecilnya, sikap kasar sudah biasa diperlihatkan hasil
dari temuannya di lingkungan tempat tinggalnya. Semua keinginan diraihnya
dengan cara yang menurutnya sah-sah saja dilakukan dengan alasan keadaan.
Mencopet di pasar, mencuri
di jalan, bahkan membegal orang di tempat-tempat sepi sudah biasa dilakukan
oleh anak ini. Sudah lama ayahnya tidak pernah bertemu anaknya ini karena
setelah ibunya meninggal ayahnya kembali ke kampung halamannya dan menikah
dengan Bu Nafi. Sedangkan nasib Ali saat ini masih mendekam di penjara akibat
perbuatan-perbuatan jahatnya di kota.
Ali telah tumbuh dewasa dan
menikah. Dia mencoba menghubungi bapaknya lagi ketika untuk kesekian kalinya
dia keluar dari penjara.
“Dasar
bapak bodoh, gampang sekali dikadali. Hahaha,” gumam Ali ketika hari itu dia berhasil membawa kabur sepeda butut
bapaknya.
Ini bukan pertama kali
terjadi. Pak Kadir yang memang sepanjang hidupnya menyesali kegagalan dalam
mendidik anaknya akan selalu luluh ketika anaknya datang dan meminta apapun ke
bapaknya. Seorang bapak yang memendam rindu kepada anaknya. Seorang bapak yang
kasih sayangnya sepanjang masa. Seorang bapak yang merasa berhutang asuhan
kepada anaknya merasa harus menuruti semua permintaan anaknya.
Ali yang tumbuh menjadi
seorang yang sudah tidak terkontrol hanya membalas kasih sayang orang tuanya
sepanjang galah. Setiap kali kehabisan uang, Ali akan meminta bapaknya untuk
bertemu di suatu tempat, meminjam sepedanya dan kemudian kabur tanpa memikirkan
bagaimana nasib bapaknya nanti.
Sudah lima sepeda pancal dan
dua sepeda motor hasil kerja keras bapaknya ludes dibawa Ali. Setiap kali hal
itu terjadi, pertengkaran hebat akan terjadi antara Pak Kadir dan Bu Nafi. Bu
Nafi tidak pernah berhasil menasihati suaminya agar berhenti menemui anaknya
yang sudah sering keluar masuk bui. Rasa malu, sedih, marah, dan kesal
bercampur di hati Bu Nafi. Bahkan Pak Kadir pernah mengambil perhiasan putri
mereka untuk diberikan kepada Ali.
Bagaimana kisah selengkapnya ?
Tunggu kelanjutannya di edisi Cetak 145 Bulan Depan.
Penulis : Guru Bahasa Inggris Kelas XI MAN 5 Jombang, Dr. Kiswati, M.Pd.
*) Cerpen telah disunting untuk penyesuaian ejaan, bahasa, dan sistematika penulisan sesuai standar Redaksi Majalah Suara Pendidikan