Membudayakan literasi adalah jalan sunyi dan panjang. Tapi sejatinya banyak tempat dan sejawat dapat dipadukan menciptakan wadah bertukar gagasan dan informasi untuk memantik para muda mau melirik budaya yang mulai tergerus ini. Salah satu contohnya dengan menggelar ruang diskusi dan sekaligus membedah pelbagai buku atau karya seni melalui perbincangan di warung kopi. O ya? Simak liputan berikut yang telah dimuat dalam versi cetak edisi 135 ini.
MOJOAGUNG- Sebut saja Mohammad Mansur namanya, pria ini masih muda dengan banyak ide di kepalanya. Terutama pergulatan wawasan dan resensi seputar dunia teater dan sastra. Memendam masa kecil saat di desa, yang menganggap tabu membaca buku diantara rutinitas ke sawah, ia menyimpan cita bahwa kelak akan membuat wadah untuk ruang baca dan diskusi bagi khalayak.
Tiba saatnya mimpi Mohammad Mansur menemukan jalan, ketika mondok di pesantren Al Fallah, Desa Gambiran, Kecamatan Mojoagung, Jombang, dan ia bertemu karib sekamar bernama Sumali, (37), asal Nganjuk. Kedua santri ini lalu sepakat merintis usaha cafe yang diberi nama Mojag, sebuah warung kopi yang juga disuguhi ratusan buku bacaan. Mereka berbagi tugas, Mohammad Mansur, (34), menahkodai kegiatan literasi sedangkan Sumali menjaga gawang manajemen. Klop!
Mojag Cafe pertama didirikan bernuansa jadul di belakang Mapolsek Mojoagung pada tahun 2017, kemudian kini berkembang di tiga tempat lain. Khusus di Mojag Cafee yang ada di jalan arah Mojowarno, terpenuhilah keinginan Mohammad Mansur membuka jejaring literasi dengan banyak pegiat di lokal Jombang hingga nasional. Puluhan kali diskusi rutin membedah buku atau karya bermutu digelar dengan berbagai label seperti Maido Hasanah, Mojag Bercakap, Ngabuburead Sastra, dan sebagainya.
Narasumber yang dihadirkan juga beragam, sebut saja nama Sosiawan Budi Sulistyo atau biasa dikenal Sosiawan Leak, seorang aktor, penyair, penulis, asal Surakarta. Juga terbaru hadir adalah Mahfud Ikhwan yang produktif menulis novel, esai, cerita pendek, dan tulisan nonfiksi. Kemudian ada juga penulis dan penyair yang familiar di kota santri seperti Binhad Nurohmat, Andi 'Kepik' Setyo Wibowo, MS Nugroho, Moch Faisol, dan masih banyak lagi menjadi tamu perbincangan di Mojag Cafe.
Kehadiran pegiat literasi di luar Jombang menjadi tolok ukur respon positif mereka dengan ketekunan Mansur merawat ruang diskusinya.
“Narasumber yang hadir sangat serius mengulik isu-isu dalam diskusi di Mojag. Mereka membedah buku kuno hingga isu kekinian semisalnya soal Mental Health,” kata pria yang kini menempuh S2 bidang manajemen ini.
“Pegiat literasi yang hadir merasa cocok dengan kami karena kemasan diskusi ala warung kopi tidak terbatasi hal- hal formal. Siapapun bisa bertukar pendapat dengan leluasa,” lanjut pria asal Lamongan ini.
Meski demikian keberadaan diskusi literasi di Mojag bukan tanpa tantangan. Diawal memulai beberapa pihak menganggap aneh bahkan miring karena warung kopi ini justru sering ada rapat bukan malah hiburan musik atau sejenisnya.
“Tapi sejalan waktu, masyarakat terutama mahasiswa Jombang senang karena ketika pulang kampung masih menemukan vibes seperti di kampus mereka. Ada kopi dan diskusi,” aku Mansur tertawa.
Mohammad Mansur memang sengaja tampil apa adanya dalam hal dekorasi cafenya. Sederhana dan samasekali tidak terkesan mewah atau modern. Tapi dalam hal membersamai pegiat literasi ia all out. Di ruang tengah cafe ada lemari yang menyimpan ratusan buku. Juga di ruang depan, beberapa buku menghiasi meja atau pojok dinding menemani aroma kopi yang tersaji.
“Kami terbuka soal baca buku disini. Meski tidak sedikit buku yang hilang. Mungkin si pembaca tahu kalau buku itu berharga dan langka,” Mohammad Mansur terkekeh bercerita.
Tentang menu andalan Mojag, Mohammad Mansur sengaja menyuguhkan minuman non sachet dan justru mempromosikan rose blend kopi Wonosalam. Selain mendorong potensi lokal dirinya mengajak semua segmen agar mau mendekat kepada dunia literasi.
“Lewat warung kopi, kami tidak ingin ada kesan eksklusif atau hanya kalangan tertentu yang dapat ikut dalam basis literasi,” jelas Mohammad Mansur yang dulu sempat berjualan buku atau menggelar baca buku gratis di Kebonrojo.
Dalam beberapa diskusi di Mojag juga diisi dengan penampilan kesenian, misalnya musik, poster, atau puisi.
“Tema diskusi kami bermacam- macam, bisa sejarah, seni, sastra dan lainnya. Sembari kita kolaborasikan penampilan seni. Sehingga disini menjadi ruang berekspresi bagi kawan muda dan terpenting bermanfaat,” pungkas Mohammad Mansur, (29/03).
Jalan sunyi Mohammad Mansur bukan remeh, ia dan timnya telah diuji waktu menyemai geliat literasi di Kota Santri. Salut!