JOMBANG - Akhir tahun 2024 lalu keresahan melanda sebagian masyarakat Telatah Kebo Kicak yang tempat tinggalnya berada di aliran sungai sungai besar, seperti Sungai Brantas maupun Sungai Gunting yang membentang dari kawasan utara sampai timur. Pasalnya, hujan yang turun di pertengahan awal bulan Desember, mengguyur tanpa henti dengan intensitas tinggi.


Tak pelak, banjir pun datang. Kedatangan banjir kali ini meluas dengan cepat, serta menggenangi beberapa desa di lima kecamatan. Mulai dari Tembelang, Jogoroto, Peterongan, Kesamben, hingga Jombang. Penyebab dari banjir ini tak lain, karena volume air sungai yang meluap. Seperti yang terjadi di Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, ketinggian rendaman mencapai 90 cm. Penyebab utamanya ialah, luapan Sungai Avour Watudakon Kesamben dan Rejoagung 2 yang tak terbendung.


Lantas apakah hanya ini penyebabnya ?


Menurut catatan redaksi Majalah Suara Pendidikan pada liputan (2/2021) yang berjudul Membaca Gejala Alam Membuka Peta Wilayah Rawan Bencana, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mengungkap, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab utama banjir di Kabupaten Jombang. Termasuk beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sudah kritis. Diantaranya Kali Gunting (Mojoagung, Sumobito), Pilang Hilir (Gudo-Perak), Brantas, serta Sungai Marmoyo (Kabuh).


Yuk Baca : Pelestarian Lingkungan Tak Cukup Diselesaikan Oleh Satu Pihak


Selain itu, berdasarkan kajian yang dilakukan Walhi Jawa Timur, 50% tutupan dan lajur erosi tanah di wilayah DAS tersebut sudah menghilang. Sementara itu, berkurangnya wilayah tangkapan air atau catchment area akibat alih fungsi lahan yang massif, seperti di Wonosalam juga menjadi salah satu penyebabnya. Pun, Walhi Jawa Timur mencatat sejak 2019, wilayah tangkapan air di Wonosalam berkurang sebanyak 2,36 hektar.


Dari rentetan Banjir tahunan yang selalu terjadi, tentu sudah seyogianya bagi pemerintah daerah untuk bisa menanggulangi bencana tahunan ini lewat kerja lintas sektor. Demi terwujudnya sebuah kota yang ramah terhadap ekologi dan memiliki progam lingkungan hidup berkelanjutan.


Dalam hal ini, 11 tahun yang lalu, Kementerian Pekerjaan Umum telah meluncurkan buku panduan komunitas Kota Hijau Saatnya Beraksi ! yang memuat 8 aspek pembangunan Kota Hijau. Diantaranya Green Planning and Design, Green Open Space, Green Building, Green Waste, Green Transportation, Green Water, Green Energy, dan terakhir adalah Green Community. Adapun maksud dan tujuan Kota Hijau di sini, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Penataan Ruang, M. Basuki Hadimuljono saat itu ialah, Kota Hijau merupakan upaya pembangunan ruang kota yang mengusung aspek keberlanjutan lingkungan bagi masyarakatnya. Oleh karenanya, 8 aspek di dalamnya menjadi tumpuan utama untuk mewujudkan Kota Hijau.


Yuk Baca : Ormas Keagamaan Menambang ? Siapa Yang Diuntungkan ?


Kendati demikian, mengupayakan keberlangsungan ekologi memang tak semudah membalik telapak tangan. Rumusan dan rancangan kebijakan juga perlu dikuatkan dengan upaya penyadaran lewat pendidikan. Terkait hal ini, Paulo Freire seorang Filsuf pendidikan asal Brazil telah menyerukan, bagian terpenting dari pendidikan ialah penyadaran yang berlandaskan realitas sosial.


Apakah krisis iklim yang mengganggu keseimbangan ekologi termasuk bagian dari realitas kehidupan kita sehari-hari ?.


Kegiatan Sekolah Alam Sobyor.
(Walhi Jatim)

Dr. Mudhofir Abdullah dalam tesisnya yang telah dibukukan dengan judul Al-Quran Konservasi Lingkungan : Argumentasi Konservasi Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah, menegaskan, krisis lingkungan adalah sesuatu yang nyata. Kesadaran tentang krisis iklim ini pun muncul pasca gencarnya Revolusi Industri di Benua Biru Eropa. Hal ini pun diringi dengan kajian-kajian tentang krisis iklim dan konservasi ekologi mulai marak di periode 1970-an. Hingga akhirnya, Konferensi Global tentang krisis iklim untuk pertama kalinya dihelat di Stockholm, Swedia.


Peran Pendidikan Dalam Kelestarian Ekologi


Guna menyambung pendidikan penyadaran ala Paulo Freire dengan argumen Mudhofir Abdullah mengenai krisis iklim yang menggejala secara nyata, Redaksi Majalah Suara Pendidikan turut menghubungi aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Amiruddin, melalui sambungan WhatsApp pada (2/12). Dipaparkannya, krisis lingkungan dalam lingkup global, nasional maupun regional memang berada di titik kritis.


Yuk Baca : Mendekatkan Literasi Lewat Secangkir Kopi


“Data Badan Pusat Statistik  di tahun 2018 menyebutkan, indeks perilaku masyarakat kita terhadap lingkungan masih rendah diangka 0.72%. Bukti konkretnya, dalam riset Ecoton di sepanjang aliran Sungai Brantas, jenis ikan yang ada sejak tahun 1980-an, semula dari 70 jenis  di kemudian sekarang tersisa 30 jenis. Kalau ditarik dari rentang waktunya, jelas penurunan ini menunjukkan kalau ekosistem sungai di Brantas mengalami masalah yang besar. Penyebabnya tentu buangan sampah, limbah, dan zat mikroplastik yang telah mencemari aliran Sungai Brantas,” terang Amiruddin.


Disinggung ihwal peran pendidikan dalam pelestarian ekologi, pria yang akrab disapa gondrong ini membenarkan, pendidikan mempunyai hubungan yang sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Utamanya dalam bentuk implementasi pengetahuan dalam pengelolaan lingkungan maupun sumber daya alam yang berkelanjutan.


Amiruddin.
(ist)

“Bicara pendidikan lingkungan ini seharusnya sudah dikenalkan secara sistematis sejak usia dini. Karena jika sampai tidak, atau hanya sebatas dikenalkan permukannya saja. Sebab, minimnya pengetahuan serta pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan, dapat mengancam kelestarian lingkungan. Karena dampaknya bisa menghasilkan kebijakan yang kurang tepat dalam mengelola sumber daya alam,” imbuh Amiruddin.


Ditanyai lebih lanjut bagaimana tantangan dan bentuk penerapan pendidikan lingkungan di sekolah, Amiruddin turut menyinggung masih belum adanya upaya kurikulum yang memuat isu lingkungan dan menjadi bagian dari masalah serta solusi di satu kawasan.


Yuk Baca : Apakah Masih Relevan Belajar Menggunakan Buku Cetak ?


“Contohnya Wonosalam. Potensi keanekaragaman hayatinya seharusnya bisa dimuat dalam kurikulum berbasis kearifan lokal. Ini juga bisa diterapkan secara monolitik maupun terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran yang ada dalam bentuk modul pembelajaran. Tetapi, perlu diingat juga, muatannya bukan hanya sejarah terkait kawasan ekologi. Tetapijuga tantangan pelestariannya juga perlu di ketahui oleh masyarakat melalui pendidikan. Hal ini cukup penting dan perlu, agar seluruh lapisan masyarakat tergerak untuk memberikan kesadaran dan aksi bersama melestarikan bentang alam dan ekologi di sekitarnya,” ujar Amiruddin.


Konsep pendidikan ekologi yang ditawarkan oleh Amiruddin pun tak sebatas wacana. Sebab di Ecoton sendiri, bentuk kampanye dan edukasi mengenai pentingnya pelestarian ekologi sudah diterapkan.


Amiruddin melanjutkan, “Ecoton memiliki kegiatan bagi sekolah dan masyarakat yang berbasis pengetahuan atau "citizen science". Bentuknya dengan memberikan pendidikan lingkungan khususnya sungai bagi sekolah sekolah yang berada di beberapa aliran sungai seperti di Brantas, Sambas dan Kapuas Kalimantan Barat, kemudian Bulukumba Sulawesi Selatan dan beberapa lainnya. Di sini pun, kami tidak hanya memberikan teori tetapi juga mengajak untuk monitoring ataupun penelitian terhadap kesehatan ekologi sungai dan sekitarnya. Nah terkait penelitian ini, sekolah lain bisa mengadopsi praktiknya dengan cara pemberian tugas yang mengangkat isu lokal maupun aksi yang bisa di lakukan di wilayah sekitar sekolah bersama masyarakat. Sehingga sekolah bisa menjadi bagian dari permasalahan lingkungan yang ada di sekitar sekolah,”


Yuk Baca : Menumbuhkan Rasa Empati Siswa-Siswi Lewat Realita Sosial


Sementara itu, Direktur Walhi Jatim, Wahyu Eka Setyawan, S.Psi. saat dihubungi via sambungan WhatsApp pada (9/12/2024), menjabarkan, mengkaitkan isu lingkungan di pendidikan Indonesia saat ini memang banyak tantangannya. Salah satunya ialahseputar ketertarikan komunitas pendidik maupun siswa-siswi itu sendiri.


“Sepanjang tahun, komunitas pendidikan yang tertarik dengan isu pendidikan lingkungan masih minim. Di lain soal, wajah pendidikan Indonesia masih belum melihat urgensi dari persoalan krisis lingkungan hari ini. Sehingga bentuk pendidikan lingkungan masih belum menjadi prioritas. Adapun ketertarikannya hanya sebatas di even atau seremoni saja,” ungkap Wahyu Eka Setyawan.


Kegiatan Walhi Jatim dan Sekolah
Alam Sobyor.
(Walhi Jatim)

Kendati demikian, Wahyu Eka Setyawan yang juga penggemar musik Punk ini mengungkapkan, jika Kementerian Pendidikan serius memasukkan isu lingkungan ke dalam dunia pendidikan, rujukannya bisa studi ke Negeri Samurai Jepang. 


“Pertama, integrasi pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum nasional sangat penting. Pendidikan ini harus dimulai dari tingkat taman kanak-kanak dan berlanjut hingga sekolah menengah, memberikan siswa pemahaman yang kuat tentang isu-isu lingkungan dan keterampilan yang diperlukan untuk menanganinya. Kedua, Kedua, pendidikan lingkungan tidak boleh terbatas pada ruang kelas, harus meluas ke keluarga dan komunitas lokal untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada lingkungan. Akhirnya, Indonesia harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, seperti halnya Undang-Undang Lingkungan Dasar Jepang dan Undang-Undang untuk Meningkatkan Motivasi Konservasi Lingkungan,” beber Wahyu Eka Setyawan.


Wahyu Eka Setyawan.
(ist)

Ditanyai lebih lanjut perihal upaya Walhi Jatim dalam mengkampanyekan pendidikan lingkungan, Wahyu Eka Setyawan menceritakan, bahwa saat ini pihaknya pun telah rutin membuat kegiatan bersama komunitas pegiat lingkungan. Termasuk Sekolah Alam Sobyor di Kota Batu.


Yuk Baca : Maafkan Aku Bu'ne !


Wahyu Eka Setyawan memungkasi, “Kami bersama teman-teman Sekolah Alam Sobyor telah membuat sekolah alam selama satu semester dengan peserta anak usia 5-8 tahun. Kegiatannya tematik, seputar mata air, hutan, sungai, sampah dan soal iklim. Kedua, kami mencoba kerjasama dengan sekolah, meski masih minim, tetapi kita mencoba terbuka kolaborasi dengan mendorong kelas lingkungan serta kegiatan seputar lingkungan, seperti pilah sampahmu, dan tanam pohon. Tujuannya jelas, agar metode-metode ini lebih menarik dan mendapat perhatian di komunitas pendidikan.” ❏ donny darmawan

Lebih baru Lebih lama