Salah satu tempat makan yang seolah wajib di hampiri kala pulang kampung ke Kota Santri adalah sate kampret. Sate berbahan dasar daging sapi ini memiliki cita rasa yang unik di lidah. Nama kampret ternyata mengambil dari suku kata kedua dari Jumain Kampret, sang pemilik.

JOMBANG – Lebaran merupakan momentum yang selalu di tunggu oleh para perantauan untuk bisa kembali pulang ke kampung halaman. Bertemu sanak saudara, teman, hingga mencicipi makanan khas daerah yang tidak ditemukan di perantauannya.

Salah satu tempat makan yang seolah wajib di hampiri kala pulang kampung ke Kota Santri adalah sate kampret. Sate berbahan dasar daging sapi ini memiliki cita rasa yang unik di lidah. Nama kampret ternyata mengambil dari suku kata kedua dari Jumain Kampret, sang pemilik.

Meski bukanya hanya tiap tengah malam dan berada di dalam pasar tradisonal masih menjadi buruan utama. Tidak sulit menemukan di mana warung sate kampret berada. Walaupun tertutup oleh lapak pedagang, cukup melihat ramainya kendaraan parkir maka dibaliknya pasti lokasinya. Ketika Majalah Suara Pendidikan datang deretan mobil berplat luar kota berjajar rapi mengular disepanjang bahu jalan. Demikian di sekitar warung, pembeli sudah banyak yang rela mengantri sambil melihat sate di bakar.

Baca Juga : TK Tulus Ikhlas Jombang Mengasah Motorik Halus Anak Didik

Menariknya mereka tak sampai berebut meminta pelayanan lebih dahulu. Sebab, penaja sudah hafal siapa yang datang lebih dulu. Buka mulai pukul 21.30 WIB sampai pukul 03.00 WIB, usaha kuliner yang sudah dirintis 26 tahun lalu ini tidak pernah sepi pembeli.

Pedas Membakar Selera Makan

Daging sapi yang digunakan cukup lunak. Tidak memerlukan usaha keras untuk mengunyah sate kampret. Ditambah dengan pembakaran yang pas, sehingga tak sampai gosong atau terasa pahit.



Tiap pembeli yang menyantap sate kampret ini dijamin akan gobyos atau bermandikan keringat. Sensasi pedas bumbu sate cuku membuat lidah terasa terbakar. Namun demikian walaupun pedasnya membuat laiknya bermandikan keringat, malah semakin berselera untuk menyantapnya.

Monica, salah satu pengunjung dari Surabaya mengakui jika pedasnya sate kampret itu nagihi (Jawa: Ketagihan). Serasa ingin makan lagi walau sudah terasa pedas dilidah hingga membuat mata berkaca, serta keringat yang bercucuran tiada henti, meski sudah meminum seseruput minuman dingin. Kombinasi pedas, asin, manis dari resapan bumbu yang di bakar hingga dua kali ini sangat tepat. Sehingga saat disajikan, tidak ada tambahan bumbu yang lumer di piring saji. Bumbu sudah menempel kuat pada potongan daging yang ditusuk oleh batang bambu. Maka tidak perlu repot untuk mengamankan tetesan bumbu sate ketika memakannya. Ukuran satenya pun juga sangat bersahabat bagi pelancong kuliner malam yang dilanda lapar, lebih kurang tiga sentimeter dipotong dadu.

Satu porsi sate kampret per 10 tusuk, dijual dengan harga 40 ribu rupiah. Harganya pun akan disesuaikan lagi jika pembeli meminta sate sapi di bawah 10 tusuk. Misal dipadukan dengan nasi pecel, lodeh, kare ayam atau nasi urap.

Malam semakin larut, hiruk pikuk pengunjung semakin ramai. Jika bersantap di warung, tentu tidak bisa berlama-lama. Pasalnya terlihat pengunjung lain yang ingin duduk sangat banyak.

Saking membludaknya pengunjung sate Kampret setiap malam, warung ini membutuhkan pasokan daging sapi minimal 16 kilogram (kg) pada hari biasa. Pada akhir pekan atau waktu Ramadan, menyiapkan daging lebih banyak lagi, hingga 2 kg.

Bagaimana ingin segera ingin kesana? chicilia risca
Lebih baru Lebih lama