Film Dua Garis Biru menjadi sempat menjadi pembicaraan publik lantaran menggkat tema tabu yang lazimnya tak seharusnya dibicarakan secara terbuka. Utamanya mengenai kehamilan di luar nikah saat usia remaja. Meski bukan menjadi rahasia lagi bila gaya berpacaran kaula muda kini sudah mengarah pada aktivitas sex-bebas. Tapi seharusnya tidak untuk dibicarakan bahkan dijadikan tema sebuah film.
 
JOMBANG – Melejitkan pemikiran tidak semata-mata melalui sebuah metoder pembelajaran pembelajaran konvensional seperti di dalam ruang kelas. Melainkan dapat dipantik melalui sebuah tontonan yang menghibur. Laiknya dalam sebuah film. Penonton peserta didik diajak untuk menangkap makna dan mengambil sari pemikiran yang secara eksplisit telah ditunjukkan. Muaranya timbul sebuah simpulan sederhana dalam dirinya tentang film tersebut bahkan dari fragmen-fragmen pristiwa yang dibangun.

Hal itu yang disadari oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB-PPPA) Kabupaten Jombang bahwa dalam memberikan gambaran terkaitan masalah remaja tidak sekedar dalam ruang sosialisasi. Mencoba menghadirkan alternatif lain yakni menggunakan media film. Harapannya dengan begitu peserta didik akan menyentuh hatu yang terdalam dan menggugah kesadarannya terhadap bentuk kenakalan temaja yang bakal menjadi boomerang dalam menyongsong masa depannya.

Film Dua Garis Biru menjadi sempat menjadi pembicaraan publik lantaran menggkat tema tabu yang lazimnya tak seharusnya dibicarakan secara terbuka. Utamanya mengenai kehamilan di luar nikah saat usia remaja. Meski bukan menjadi rahasia lagi bila gaya berpacaran kaula muda kini sudah mengarah pada aktivitas sex-bebas. Tapi seharusnya tidak untuk dibicarakan bahkan dijadikan tema sebuah film.


Baca Juga : Saling Silang Tausiyah Penyegaran Suasana Belajar

Terlebih Dua Garis Biru merupakan simiotika dari tastpack atau alat uji kehamilan yang menandakan bila positif hamil maka muncul tanda dua garis biru. Konflik yang timbul akibat hamil sebelum terjadi pernikahan lebih ditonjolkan. Akibatnya penonton disuguhkan beragam permasalahan yang akan timbul bila hak itu terjadi. Walaupun tergolong tabu namun dalam realitanya setiap harinya ada satu hingga tiga kasus terkait kehamilan remaja di luar nikah entah akibat perkosaan atau hal lain yang dilaporkan pada pihak berwajib data dari DPPKB-PPPA Kabupaten Jombang.

“Bahkan berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa tigapuluh persen kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Indonesia terjadi di Jawa Timur. Untuk itu permasalahan yang dijabbarkan dalam film memang benar adanya dan sudah harus menjadi perhatian kita bersama,” ungkap Koordinator Sebaya Youth Center Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Timur, Humam Maulana Khakim.

Kepala DPPKB-PPPA Kabupaten Jombang, NRD Nur Kamalia, SKM., M.Si pun mengamini hal senada. Namun perlu untuk dipahami juga bahwa kondisi yang terjadi di masyarakat dapat jauh lebih parah dibanding dengan yang digambarkan dalam film.

“Kehamilan yang tidak diinginkan serta pernikahan dini sesungguhnya menjadi ambang kekerasan selanjutnya. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada pasangan pernikahan dini bukan hanya bisa dikategorikan menjadi kekerasan fisik saja tetapi juga menyangkut pada kekerasan mental dan psikis,” jelas Nur Kamalia dalam uraian singkat usai acara Movie Screening & Discussion Film Dua Garis Biru yang digelar oleh Sebaya The Youth Center Kabupaten Jombang, Rabu (7/8).

DPPKB-PPPA Kabupaten Jombang sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bertanggungjawab terhadap pengendalian penduduk sekaligus perlindungan terhadap perempuan dan anak, telah menyiapkan beragam program. Sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi beserta dengan bahaya-bahaya yang berhubungan dengannya dilakukan oleh remaja-remaja yang tergabung diantaranya dalam Pusat Indormasi dan Konseling Remaja (PIK-R) yang ada di tiap-tiap sekolah sebagai bagian dari program Generasi Berencana (GenRe).

Disamping mengoptimalkan peran PIK-R di sekolah, peran Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) yang ada di masing-masing kecamatan lebih dimaksimalkan lagi. Ketua Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) Kabupaten Jombang, Eva Iriani menjelaskan bahwa peran PLKB selain memberikan pendampingan penggunaan alat kontrasepsi pada Pasangan Suami-Istri Usia Subur (PUS) juga bertugas untuk memberikan konseling pada remaja. Melalui Pusat Konseling Remaja dan Bina Remaja, para PLKB memberikan inormasi, pengarahan serta pemahaman mengenai kesehatan reproduksi.

Disamping itu, para PLKB juga diharapkan turut bisa menjembatani orang tua dan anak jika diantara keduanya tidak terjadi komunikasi yang baik. Bagi anak-anak yang memiliki orang tua yang masih menganggap diskusi mengenai reproduksi adalah hal tabu, mereka bisa mendiskusikannya bersama dengan petugas PLKB. Begitu pun dengan orang tua yang merasa kesulitan berbicara dengan anaknya.

Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

Sama seperti yang digambarkan dalam film berdurasi 103 menit tersebut bahwa satu kekhilafan yang dilakukan oleh remaja berdampak dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya pada kehidupan pribadinya tetapi juga akan berdampak pada orang tua juga keluarga.

Agar dapat diminimalisir bahkan dihindari maka sangat diharapkan baik dari orang tua atau remaja bisa secara terbuka untuk saling menjalin komunikasi yang baik. Jalinan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, maka timbul pemahaman tentang kondisi yang dirasakan anak. Akhirnya menemukan sebuah jalan keluar yang baik dan bijaksana terhadap permasalahannya sesuai dengan kondisinya dan keluarga.

Memasuki usia remaja, seorang anak kerap mengalami permasalahan. Hal itu wajar saja terjadi karena masa transisi dari anak-anak ke remaja. Sehingga perubahan yang terjadi kadang tidak beriringan dengan pemikiran, biasanya kerap labil atau gampang terbawa arus. Belum lagi orantua kurang membiasakan diri untuk mendengar terlebih dahulu, melainkan kerap bereaksi sehingga semakin membuat anak takut menyampaikan keadaan yang sedang dialaminya. Demikian dengan orangtua yang sibuk dengan aktivitas pekerjaannya, membuat intensitas komunikasi terbatas.

“Oleh karena itu orangtua harus meluangkan waktunya untuk anak. Selain meluangkan waktu, baik orangtua ataupun anak juga harus terbuka satu sama lain. Tidak menghakimi terlebih dulu. Sekarang sedang dipersiapkan Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur mengenai rentang jam enam sore hingga jam sembilan malam anak-anak harus berada di rumah bersama dengan keluarga untuk belajar, makan malam, hingga berdiskusi bersama,” ujar Nur Kamalia.

Petugas Unit Kesehatan Sekolah (UKS) MAN 1 Jombang, Dini Meifani menyampaikan pengalamannya menjadi seorang ibu ketika dihadapkan pada harapan mampu menjalin komunikasi dengan putrinya. Perempuan berhijab itu mengatakan bahwa sang putri tidak terlalu terbuka jika berbicara dengan dirinya, sehingga agar dia bisa memahami yang sedang dialami dan dirasakan oleh sang putri maka harus bekerjasama dengan suami untuk mengungkapkannya.

“Jika kita sendiri tidak bisa melakukan pendekatan dan membuat anak nyaman bercerita, kita harus bekerjasama misalnya dengan suami, kakek, nenek, atau keluarga dekat yang lain untuk mendekati dan mengajak anak berbicara,” ungkap Dini Meifani.

Disisi lain, sebagai seorang anak seharusnya tidak perlu malu atau takut jika ingin berbicara pada orang tua. Dua peserta didik asal MAN 1 Jombang, Sindy Fatikasari dan Muhammad Nur Waliyul Ahdi sepakat bahwa seorang anak seharusnya berbicara saja dengan terus terang dan terbuka pada orangtua tentang yang sedang dialami.

“Karena meski ditutup-tutupi seperti apapun orang tua pasti akan tahu juga. Jadi lebih baik berbicara secara terus terang saja,” ungkap Muhammad Nur Waliyul Ahdi.

Ditambahkan oleh Sindy Fatikasari, “Sedangkan untuk hal-hal yang mungkin sedikit memalukan untuk dibahas, dibicarakan dan didiskusikan secara pelan-pelan. Intinya tetap harus bilang atau cerita pada orang tua.” fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama