Dosen Psikologi Universitas Darul Ulum Jombang, Wardhatul Mufidah, M. Psi mengatakan bahwa usia remaja merupakan usia paling rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini dilatarbelakangi oleh pola pikir perencanaan pada remaja yang masih berkembang atau belum matang sepenuhnya, sehingga usia ini belum mumpuni untuk berpandangan lebih jauh.

JOMBANG - Sejak 27 tahun silam, Peringatan Hari Kesehatan Jiwa telah rutin dilaksanakan setiap 10 Oktober oleh berbagai kalangan pemeduli kesehatan Jiwa. Peringatan ini dipelopori oleh World Federation For Mental Health (WFMH) dengan tujuan utama mempromotorkan serta mendidik kepada masyarakat perihal isu-isu kesehatan mental dan jiwa.

Bunuh diri merupakan persoalan keseha­­­­­­­­tan mental yang penting. Tercatatat oleh WHO bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia adalah 2,2 % kematian per 100.000 penduduk. WHO juga mencatat bahwasanya setiap 1 orang yang bunuh diri terdapat 20 orang yang melakukan percobaan bunuh diri. Pada saat ini WHO menyebutkan bahwa bunuh diri merupakan fenomena global yang membuatnya menjadi alasan kedua terbesar atas kasus kematian untuk usia remaja hingga muda, yaitu 15-29 tahun.

Sejalan dengan itu, dosen Psikologi Universitas Darul Ulum Jombang, Wardhatul Mufidah, M. Psi mengatakan bahwa usia remaja merupakan usia paling rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini dilatarbelakangi oleh pola pikir perencanaan pada remaja yang masih berkembang atau belum matang sepenuhnya, sehingga usia ini belum mumpuni untuk berpandangan lebih jauh.

“Usia remaja merupakan usia paling rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini dikarenakan remaja merupakan kelompok usia yang masih memiliki pola pikir perencanaan dan dalam proses perkembang atau belum matang sepenuhnya. Sehingga kelompok usia ini belum mumpuni untuk berpandangan lebih jauh.” paparnya (12/10).

Baca Juga :
Pupuk Penguasaan Manajerial, Kewirausahaan, dan Supervisi


Wanita yang juga menjadi volunteer di Balai Desa Pulorejo, Ngoro itu menambahkan bahwa setiap orang yang memutuskan untuk megakhiri hidup tentu telah melalui proses pemikiran yang panjang.

“Orang dikatakan mau atau memutuskan pasti melalui proses yang sangat panjang. Jika orang sudah mengusahakan untuk melakukan pengalihan atas masalahnya, pasti orang tersebut sudah mengalami suatu depresi atau keputusasaan yang sangat dalam. Kemudian kita dapat mengidentifikasi, jika pelaku sudah pada titik depresi, sudah dapat dipastikan keinginan untuk menghilangkan nyawa atau lari dari kenyataan merupakan suatu hal yang tentu sering singgah pada bayangan sang pelaku,” tambah Wardhatul Mufidah ketika ditemui di Balai Desa Pulorejo.

Dosen yang kerap disapa dengan panggilan Fida tersebut juga memaparkan beberapa faktor yang kerap melatarbelakangi menurunnya kesehatan mental pada usia remaja yaitu, antara lain: Orang tua yang kurang memahami perkembangan anak dan selalu menuntut anak untuk melakukan apa yang dinginkan. Sehingga secara tidak sadar anak merasa terbebani untuk melakukan lebih dari yang secukupnya (sesuai kemampuaan dan perkembangan anak terebut). Selain itu, orang tua tidak memberikan ajaran problem solving kepada anak, dengan contoh sederhana, bagaimana cara menghadapi sebuah kegagalan. Akibatnya anak yang belum terbiasa menghadapi kegagalan akan merasa bahwa dirinya sangat buruk dan kebingung dalam menyelesaikan permasalahan. Namun sayangnya pada banyak kasus serupa, alih-alih memberi dorongan agar anak dapat bangkit kembali, orang tua justru menyalahkan sang anak, bahwa dirinya telah gagal dan tidak dapat melakukan sesuai dengan yang diharapkan.

Faktor selanjutnya yang menjadi latar belakang adalah lingkungan yang tidak mendukung. Fenomena ini kerap terjadi lantaran masyarakat sering dengan cepat memutuskan untuk men-judge sebuah kesalahan seseorang tanpa melihat dampak selanjutnya. Memandang sebelah mata bahwa kegagalan merupakan sebuah aib. Masyarakat cenderung menilai pada satu posisi dan cepat menghakimi.

Faktor-faktor tersebut yang kemudian meluluhkan semangat anak, hingga mengalami keputusasaan. Sebagai penguat kebutuhan rohani, pendidikan keagamaan kerap menjadi pilihan untuk pembentukan mental. Namun dalam skala yang tidak sederhana lagi, jika sang anak sudah mencapai titik depresi, apapun yang dia ketahui: norma, agama, atau lainnya sudah tidak akan menjadi sebuah pertimbangan lagi.

Solusi yang dapat membantu jika seorang remaja telah mencapai titik depresi adalah kerjasama. Orang tua, lingkungan, bahkan pemerintah melalui sistemnya harus menjadi penggerak. Untuk lingkup kecil dan utama yaitu keluarga, perlu adanya bimbingan kepada setiap orang tua dengan pengadaan penyuluhan perihal pentingnya memperhatikan kesehatan mental. Hal ini bisa disambungkaitkan dengan lingkungan, contoh sederhana perlu adanya penyuluhan dan pendampingan pada setiap desa.

Wardhatul Mufidah juga mengungkapkan bahwa di kota-kota besar seperti Surabaya telah merintis program edukasi kesehatan mental yang dapat ditemukan pada setiap puskesmas di desa. Sedang kabupaten kecil seperti Jombang ini, belum tampak terlalu dijadikan sebuah hal yang penting untuk dikembangkan.

“Adanya program edukasi kesehatan mental membuat masyarakat bisa konsultasi akan kebutuhan psikisnya,” pungkas Wardhatul Mufidah.


Bertepatan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia mengambil tema Working Together to Prevent Suiciade (Bekerja Bersama-sama Mencegah Bunuh Diri), Ketua Umum Pengurus Pusat HIMPSI, Dr. Seger Handoyo dalam sambutan tertulisnya mengajak semua warga Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam program WHO, yaitu “A day for 40 second action”. Program ini bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bunuh diri sebagai persoalan global kesehatan mental masyarakat, juga sebagai pengetahuan tentang apa yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri; mengurangi stigma buruk pada orang yang mencoba bunuh diri; serta menunjukkan pada orang yang sedang mengalami persoalan atau situasi yang berat bahwa mereka tidak sendiri.

Selain itu, bukti dukungan yang dilakukan oleh HIMPSI merupakan berjalannya kerjasama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Ditjen Paud dan Dikmas, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam program “Sosialisasi Dukungan Psikologi Awal (DPA) di SMA dan SMK.” Pria yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tersebut berharap dengan adanya program ini setiap siswa dapat mempunyai keterampilan sederhana untuk membantu diri sendiri dan temannya ketika menghadapi permasalahan atau situasi sulit.

“Dengan program ini diharapkan setiap siswa mempunyai ketrampilan sederhana untuk membantu diri sendiri dan temannyaketika menghadapi permasalahan atau situasi sulit. Kegiatan ini akan serentak dilaksanakan di hampir semua propinsi (satu atau dua SMA/SMK setiap propinsi) oleh HIMPSI wilayah setempat.” jelas Seger Handoyo.

Selain itu, Aktivis Jombang yang banyak bergerak pada bidang sosial dan dunia remaja, Muhammad Fuad memberi wejangan kepada kawula muda untuk aware (sadar, red) akan pentingnya kesehatan mental, sehingga remaja dilain sehat fisik, juga dapat seimbang dengan kesehatan psikisnya.

“Anak muda itu harus aware, harus mencintai dirinya sendiri agar menjadi remaja yang sehat fisik maupun psikis. Harus peka dan siap berbagi cerita kepada orang terdekat. Cari orang terdekat bisa teman atau sahabat, orang tua atau keluarga yang dapat diandalkan” pungkas aktivis berusia 37 tahun tersebut. alfaridza
Lebih baru Lebih lama