Wayang Topeng Jatiduwur merupakan kesenian wayang, yang berada di Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben. Warisan ini merupakan seni pertunjukan tradisional satu-satunya yang menampilkan kesenian wayang topeng yang ada di Kabupaten Jombang.

KESAMBEN, MSP – Mewarisi dan melestarikan kebudayaan para leluhur adalah tanggungjawab serta kewajiban generasi muda bangsa. Seperti yang berkembang dan lestari di Kabupaten Jombang, melalui sapaan kembali pagelaran pentas Wayang Topeng Jatiduwur.

Wayang Topeng Jatiduwur merupakan kesenian wayang, yang berada di Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben. Warisan ini merupakan seni pertunjukan tradisional satu-satunya yang menampilkan kesenian wayang topeng yang ada di Kabupaten Jombang. Berbentuk teater total dengan perpaduan antara unsur tari, drama, sastra, musik, dan rupa yang telah lama hidup di Desa Jatiduwur. Berdialog verbal dan dituturkan oleh seorang dalang, semua penari memakai topeng beserta perlengkapannya sesuai dengan karakter tokoh yang dibawakan.

Terdapat cerita yang diungkapkan melalui dialog, tarian dan nyanyian, serta ada unsur lawakan yang dibawakan oleh para tokoh punakawan. Diiringi dengan alunan musik gamelan Jawa berlaras Slendro dan tempat pertunjukannya yang biasanya berada di halaman rumah atau panggung.

Menurut Ketua Sanggar Purwo Budoyo, Sulastri Widianti mengatakan, “Topeng Jatiduwur bermula pada akhir abad ke-19, dan pembuat topengnya bernama Mbah Purwo.”

Sulastri Widianti adalah keturunan ketujuh pewaris sekaligus pemilik wayang topeng Jatiduwur. Berdasarkan cerita dari ibu kandung Sulastri Widianti, Hj. Sumarni pernah sengaja akan mengubur wayang topeng. Hal ini dilatar belakangi karena tidak adanya penerus dan peminat untuk melanjutkan kesenian wayang topeng Jatiduwur.

Perempuan berhijab ini menambahkan, bahwa wayang topeng pada mulanya digunakan masyarakat setempat sebagai upacara ritual, ruwatan, atau ketika seseorang mempunyai nadzar yang harus dipenuhi. Wayang topeng sendiri dulunya dikeramatkan oleh warga Desa Jatiduwur sehingga hanya kalangan tertentu yang boleh nanggap.

Topeng Jatiduwur berjumlah 33 buah dan masih terawat dengan baik di rumah Hj. Sumarni yang diyakini sebagai keturunan keenam pewaris Topeng Jatiduwur. Hj. Sumarni lahir di Jombang pada tanggal 1 Juli 1940. Bersama anaknya Sulastri Widianti, masih setia menjaga dan merawat. Pada waktu-waktu tertentu, utamanya 1 Suro, seluruh topeng diruwat dan diupacarai sesuai dengan tradisi yang pernah dilakukan.

Alur cerita yang digunakan pada perayaan 1 Suro di tahun 2017 adalah Patah Kuda Narawangsa, dalam Babad Panji, tokoh Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji merupakan simbol dari rasa cinta kasih, pengabdian, ataupun kepahlawanan. Keduanya adalah dwitunggal yang dimaknai sebagai matahari dan bulan, saling terkait dan saling memberi kekuatan, baik dalam norma-norma sosial ataupun di dalam perbedaan zaman.

Wayang topeng Jatiduwur kini sudah mulai dilupakan eksistensinya oleh beberapa kalangan masyarakat Jombang. Ikon Desa Jatiduwur ini dapat dikatakan sudah tidak berdaya lagi eksistensinya. Arus modernisasi zaman menjadi faktor utama kesenian pertunjukan ini menjadi turun.

“Siapa yang tidak merasa bangga, saat ini budidaya serta pengenalan terhadap generasi muda tengah gencar, terbukti sudah mulai diterapkan dalam pembelajaran di SD yang berada di Kecamatan Kudu untuk masuk di kurikulum pelajaran seni budaya,” tambah Sulastri Widianti.

Ada pula Supriyo, seorang guru di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Kudu, yang berkeinginan melestarikan melalui regenerasi pada peserta didiknya. Ia berkeinginan agar masuk dalam kurikulum pelajaran SD tempatnya mengajar. chicilia risca
Lebih baru Lebih lama