“Seharusnya diterapkannya sistem zonasi, harus diikuti pemerataan guru profesional juga. Tujuannya guru-guru tersebut bisa membuat inovasi baru guna mengangkat nama sekolah tersebut agar bisa bersaing dalam segi pelayanan maupun mutu pendidikan,” tutup M. Thamrin Bhey.

JOMBANG, MSP – Sesuai Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang proses pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 jenjang sekolah dasar dan menengah mengharuskanlembaga untuk menggunakan mekanisme sistem zonasi. Dimana sekolah wajib menyerap 90% dari total daya tampung sekolah bagi peserta didik baru yang bertempat tinggal di daerah sekitar sekolah ataupun masih tergabung dalam satu zona. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan sanksi kepadakepala daerah bila belum memberlakukan mekanisme zonasi.

Berbagai komentar pun bermunculan dari segala lapisan masyarakat. Semua bergantung pada tanggapan masing-masing individu dalam menyikapi satu kebijakan baru. Memang semua kebijakan baru secara tidak langsung akan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat.

“Diberlakukannya sistem zonasi ini pasti ada sisi positif dan negatifnya,” ujar salah satu anggota Dewan Pendidikan, Drs. Achmad Fathoni, M.Si.

Selaku anggota Dewan Pendidikan pasti sudah terikat dengan pemerintah, apa yang sudah diketok pemerintah maka menjadi satu tugas bagi para pelaku pendidikan untuk menyukseskan putusan tersebut. Tetapi belum mampunya negara dalam mencukupi pelayanan pendidikan secara maksimal, dengan diberlakukannya sistem zonasi ini akan menyisakan banyak persoalan.

Tereduksinya sekolah favorit, membuat persaingan sekolah dalam menciptakan lingkungan unggul dalam memberikan pelayanan terhadap peserta didik akan berkurang. Akibatnya pelayanan ataupun dukungan bagi peserta didik akan berjalan kurang optimal.

Achmad Fathoni menambahkan, “Memang kelebihan dari sistem zonasi bisa meratakan peserta didik pandai di banyak sekolah, tidak harus di perkotaan saja. Artinya sekolah “pinggiran” juga bisa mendapatkan banyak peserta didik berprestasi, asal dalam satu lingkup zona tersebut generasi yang masuk dalam kategori anak pintar berjumlah cukup banyak. Bahkan jangka panjangnya semua sekolah akan berlebel favorit secara merata.”

Kepala SDN Ploso, Ustadz Natsic, M.Pd. mengungkapkan, “Zonasi sangat menguntungkan bagi kami, karena lulusan di sini hanya lebih kurang 3 peserta didik yang melanjutkan ke sekolah di Kecamatan Jombang. Hal itu menunjukkan peserta didik dari SDN Ploso lebih berminat melanjutkan sekolah di SMP lingkup Kecamatan Ploso.”

Ustadz Natsic berpendapat bahwa jika tidak diberlakukan sistem zonasi, maka peserta didik yang unggul di bidang akademik akan tertumpuk di satu lembaga favorit. Sehingga perkembangan pendidikan di Kabupaten Jombang tidak mampu merata. Namun,bagi peserta didik yang unggul dalam bidang akademik akan merasa rugi karena kurang bisa berkembang. Bagaimanapun sekolah itu standarnya sama tetapi antara Kecamatan Ploso dengan Kecamatan Jombang jelas berbeda dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitasnya.

Adapun pemerataan peserta didik dalam kategori pintar bisa merata, tetapi akan diikuti dengan kelompok sebaliknya juga. Apabila kedua kategori peserta didik disatukan pada ruang pembelajaran dan metode sama, maka salah satu akan merasa kesusahan dalam menerima pelajaran. Hal itu disebabkan karena perbedaan daya tampung masing-masing peserta didik.

Pernyataan senada disampaikan oleh mantan wakil Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang, Drs. M. Thamrin Bhey, M.Si. “Memberikan ilmu pengetahuan tidak semudah menuangkan air ke dalam gelas yang hanya tinggal menumpahkan air secara langsung. Guru harus kaya akan metode baru sesuai perkembangan zaman untuk mendukung potensi masing-masing peserta didik.”

Tetapi bagi SD serta orang tua yang berkeinginan untuk menyekolahkan sang buah hati di lingkungan favorit cukup tinggi, maka hal ini yang cukup merugikan bagi calon peserta didik. Karena peserta didik yang pintar secara akademik, dibawa ke sekolah favorit akan sama nilainya dengan peserta didik dengan nilai standar. Jika berkaca dari sisi diskriminasi wilayah domisili tempat tinggal, hal ini sangat terbatasi.

Menengok pada riwayat sekolah “pinggiran” sendiri sudah berbeda karakter bila dibandingkan sekolah favorit ataupun unggulan. Di sekolah favorit, peserta didik dengan tingkat kepandaian cukup tinggi bisa terdukung oleh fasilitas serta pelayanan secara optimal. Bila peserta didik tersebut harus bersekolah di sekolah yang tidak mampu mencukupi kebutuhan belajarnya secara optimal, maka bukan tidak mungkin terjadi stagnasi pada perkembangan pendidikan seorang peserta didik.

Guru SDN Ploso, Suntianah, S.Pd. menyatakan, “Saya tahun 2002 mengalami sistem zonasi ini ketika pendaftaran masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA), hasil ujian saya bagus tetapi domisili di Kecamatan Plandaan. Saat itu saya ingin sekali bersekolah di sekolah favorit di Kecamatan Jombang, namun terkendala hasil akhir penjumlahan dari zonasi tersebut.”

Ibu dua anak ini menambahakan bahwa ada teman satu sekolahnya rela pindah domisili mengikuti saudara di Kecamatan Jombang, dari upaya itu terbukti jumlah nilai akhir berubah sangat jauh berbeda. Secara akademik nilai ujiannya standar, karena ditambah nominal dari zonasi maka peringkatnya semakin melejit dan tidak sesuai dengan kemampuan akademik peserta didik tersebut.

Apabila pemerataan sudah terlaksana, selanjutnya sekolah harus bisa mengakomodir kedua kategori peserta didik tersebut. Baik pelayanan maupun fasilitas peserta didik pada kategori pintar maupun sebaliknya harus didukung sesuai kebutuhan masing-masing. Jangan sampai peserta didik dengan tingkat kepandaian cukup tinggi disatukan bersama dengan mayoritas kategori rendah, karena salah satu pihak pasti kualahan dan bahkan bisa tidak berkembang sedikitpun.

“Seharusnya diterapkannya sistem zonasi, harus diikuti pemerataan guru profesional juga. Tujuannya guru-guru tersebut bisa membuat inovasi baru guna mengangkat nama sekolah tersebut agar bisa bersaing dalam segi pelayanan maupun mutu pendidikan. Sehingga potensi-potensi akademik ataupun non akademik akan terfasilitasi dengan baik dan benar sesuai kemampuan masing-masing peserta didik,” tutup M. Thamrin Bhey. fakhruddin, chicilia risca
Lebih baru Lebih lama