Di Kabupaten Jombang APBDes diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 1 Tahun 2018. Namun dalam kenyataanya Perbup ini menuai persolan dikalangan kepala dan perangkat desa.

JOMBANG, MSP – Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) adalah peraturan desa yang memuat sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran desa dalam kurun waktu satu tahun. APBDes terdiri dari pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan yang dirancang dan dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menetapkan APBDes setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Di Kabupaten Jombang APBDes diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 1 Tahun 2018. Namun dalam kenyataanya Perbup ini menuai persolan dikalangan kepala dan perangkat desa. Seperti yang dikatakan Kepala Desa Banjarsari, Kecamatan Bandarkedungmulyo H. Basyaruddin bahwa dalam Perbup tersebut terdapat pasal yang dinilai merugikan pihak pemerintahan desa. Pasal yang dimaksud, berisi klausul tentang pengelolaan tanah bengkok yang wajib dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

“Kami mempersoalkan klausul dalam Perbup Jombang Nomor 1, pada item pendapatan desa. Pada item pendapatan desa poin 2, tertera bahwa hasil pengelolaan aset desa, termasuk diantaranya, pengelolaan tanah kas desa (bengkok) dimasukkan dalam item pendapatan dalam APBDes,” ujarnya.

Dinilai peraturan tersebut merugikan, ribuan kepala desa dan perangkat desa Se Kabupaten Jombang berunjuk rasa di Pendopo Kabupaten Jombang, Kamis (22/3). Para pengunjuk rasa datang dan memasuki balai desa dengan membawa sejumlah poster dan spanduk protes, yang menyuarakan penolakan mereka terhadap Perbup No 18 Tahun 2018 tersebut.

Koordinator aksi, Agus Syaifullah mangatakan, “Hasil bengkok yang wajib dimasukkan dalam APBDes akan mengubah budaya yang melekat dari asal usul bengkok itu sendiri. Tanah bengkok sifatnya melekat dan itu sudah terjadi secara turun-temurun. Kalau dana yang merupakan hasil dari bengkok dimasukkan ke dalam APBDes, itu sama halnya dengan menghapus sejarah para leluhur desa.

Agus Syaifullah menambahkan bahwa dirinya bersama kepala dan perangkat desa lainnya hanya ingin mempertahankan hak yaitu masalah bengkok. Selain itu, imbas dari keluarnya Perbub itu juga akan berakibat kesejahteraan para perangkat desa terutama didaerah terpencil semakin kecil nilainya.

“Teman-teman perangkat desa di lokasi terpencil jarang sekali diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten. Kalau Perbup ini diberlakukan, hasil bengkok dimasukkan ke APBDes, nasib mereka akan semakin memprihatinkan. Nantinya mereka hanya bisa makan dan tanpa bisa sekolahkan anak-anak mereka. Karena, selama ini sandang pangan mereka hanya dari bengkok,” paparnya saat ditemui di Pendopo Kabupaten Jombang.

Salah satu perangkat Desa, Kecamatan Tembelang menambahkan, “Padahal kerja kami tidak mengenal waktu. Boleh dikatakan 24 jam. Harus diketahui semua program kerja nasional itu yang menjalankan Desa.”

Sementara itu, Penjabat sementara (Pjs) Bupati Jombang, Setiajit, S.H., M.M kepada pengunjukrasa berjanji akan menyampaikan aspirasi perangkat desa Se Jombang itu, kepada pemerintah pusat. Ia akan berkirim surat pada presiden, agar meninjau kembali peraturan pemerintah yang menyangkut tanah bengkok perangkat desa tersebut. Pihaknya juga sudah memberi jalan keluar dengan diterbitkannya peraturan bupati soal tanah bengkok perangkat.

“Perbup itu, untuk memberi kewenangan penuh pada kepala desa. Kemudian hasil bengkok itu berapa persen dimasukkan ke dalam APBDes dan ditarik kembali menjadi tunjangan perangkat desa,” pungkasnya.

Para pengunjuk rasa bertekad jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan bersama-sama berangkat ke kementerian terkait di Jakarta. aditya eko
Lebih baru Lebih lama