Di Jombang kalau diperhatikan tidak luput dari perkembangan tersebut. Sejumlah gedung tua tampak pernah menjadi saksi dinamika perfilman di Kota Santri.

JOMBANG, MSP – Perkembangan industri perfilman pasca penjajahan kolonian di Indonesia sangat pesat. Walaupun waktu itu penampilannya masih hitam-putih dan temanya menyoal tentang semangat perjuangan bangsa, peminatnya cukup banyak. Kala itu bioskop menjadi sarana hiburan rakyat karena harga tiket masuknya tidaklah terlalu mahal. Di Jombang pun kalau diperhatikan tidak luput dari perkembangan tersebut. Sejumlah gedung tua tampak pernah menjadi saksi dinamika perfilman di Kota Santri. 
Salah satu bioskop yang pernah berjaya di tanah Kebo Kicak ini diantaranya bioskop Ria. Gedung Ria ini terletak di jalan Ahmad Yani tepatnya di sebelah barat Ringin Contong. Kini, bangunan itu beralih menjadi toko elektronik.

Budayawan asal Kabupaten Jombang, Nasrul Ilah mengatakan bahwa di masa keemasan film layar lebar, bioskop Ria merupakan salah satu tempat favorit untuk sarana hiburan masyarakat terutama pada malam Minggu. Tidak jarang para penggemar film di bioskop rela mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter hanya untuk menonton film.




“Selain Bioskop Rex yang berubah nama menjadi Ria, terdapat tempat lain yang juga eksis hingga akhir tahun 90-an. Bioskop itu bernama Basuki yang berada di Jalan KH Wahid Hasyim Jombang atau timur Kebon Rojo. Gedung Basuki ambruk pada tahun 1989 dan diganti dengan Cineplex 21,” ujar Nasrul Ilah.

Cineplex 21, lanjut Cak Nas sapaan akrabnya, tersedia tiga studio yang memutar film berbeda setiap harinya. Pada zaman itu, bioskop ini menjadi jujugan utama masyarakat Jombang. Namun seiring perkembangan seperti VCD yang berisi lakon film apapun dan semua bisa dinikmati di rumah masing-masing, Cineplex 21 pun akhirnya gulung tikar dan berubah menjadi swalayan.

“Masa redup bioskop memasuki puncaknya saat era tahun 2000, ketika beragam alat teknologi berupa gawai, televisi serta komputer mulai masuk. Belum lagi akses internet yang mudah dijangkau masyarakat,” jelas Cak Nas.

Di Kota Santri ini tercatat dulunya ada empat bioskop yang eksis, yakni bioskop Basuki dan Ria yag berdiri pada tahun 1960-an, kemudian Restu dan Plaza. Cak Nas juga menyebutkan terdapat satu bioskop di Kecamatan Mojoagung yang merupakan cabang Basuki.

“Terakhir bioskop yang beroperasi yaitu Plaza sekitar tahun 2010-an masih aktif. Sejak muncul gawai yang dapat menonton film apapun, bioskop ini pun makin terpuruk dan ditinggalkan pelanggannya,” tutur adik kandung Emha Ainun Nadjib itu.

Membuka lembaran sejarah eksistensi gedung bioskop di Jombang, Cak Nas juga mengingat bagaimana perubahan aset yang menjadi tempat berdirinya gedung Basuki. Bioskop Basuki berada di bekas Terminal Jombang yang sekarang menjadi swalayan Mitra. Pada awalnya lokasi bioskop tersebut asalnya merupakan aset Pemerintah Daerah (Pemda) untuk Terminal, tetapi terakhir menjadi milik swasta.

“Saya tidak tahu dengan rinci kenapa jatuh ke tangan swasta. Perubahan aset Pemda Jombang menjadi milik swasta terjadi ketika bioskop dimonopoli oleh salah satu pengusaha besar dengan nama bioskop Cineplex 21. Tidak terkecuali Ria yang juga perkembangan terakhir berubah menjadi milik swasta,” kata Cak Nas.

Dahulu, tambahnya, Ria dan SDN Sulung adalah aset Pemda sebelum pindah ke swasta. Almarhum Bupati Affandi meminta Dewan Kesenian Jombang untuk ikut berjuang dan berharap bekas bioskop itu nantinya bisa dijadikan gedung kesenian. Ternyata gagal dan sekarang menjadi toko perlengkapan listrik dan lampu.




Sementara itu menyoroti dunia perfilman kini, Nasrul Ilah mengatakan bahwa potensi masyarakat Jombang juga tergolong cukup baik. Terbukti dengan banyaknya karya-karya film pendek buatan peserta didik di beberapa sekolah dan para pelaku sinematografi. Tidak jarang diantaranya yang diikutkan lomba dan menjadi juara.

“Namun sangat disayangkan, karya-karya mereka tidak bisa dinikmati oleh sebagian orang di Jombang. Sebenarnya yang harus dilakukan ialah menggandeng bioskop untuk memutar film-film mereka,” tegas Nasrul Ilah.

Meski dengan durasi yang pendek, tambahnya, mereka dapat berkolaborasi dengan sesama pembuat film pendek dan menayangkan beberapa film pendek mereka. Mungkin butuh dari 8-10 film pendek dalam satu kali tayang.

“Tidak harus menayangkan film layar lebar. Tetapi film yang mengangkat daerah atau asal-usul suatu desa, cerita masyarakat lokal itu juga akan menjadi film yang menarik. Jika ingin bioskop di Jombang ke depan lebih cerah, maka harus diubah pola pikir masyarakat,” tutup Nasrul Ilah ketika ditemui di SMK Investama Jombang. aditya eko
Lebih baru Lebih lama