Posisi guru semakin berat. Selain sebagai agent of defense guru juga dipaksa untuk menjadi “montir” kelakuan siswa kekinian. Tuntutan tinggi dari para wali siswa, sejatinya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima para guru itu.

Irfan Affandi, S.Kom, M.Pdi *)

Globalisasi memakan korban. Identitas bangsa dipaksa untuk menyerah atas nama universalitas. Budaya yang telah bersemayam dalam jiwa tiap-tiap anak manusia harus direlakan hilang, hanya tersisa dalam sajak-sajak kisah yang terucap dari generasi tua. Anak muda hanya menganggapnya sebagai pelengkap dari cerita sejarah manusia yang pernah ada.

Ya, arus besar perkembangan teknologi membawa dampak yang sangat besar bagi percepatan perkembangan suatu bangsa. Namun ia juga membawa dampat yang besar pula bagi degradasi moral penerus bangsa. Hasilnya, adab, tata krama dan sopan santun, hanya menjadi kata penghias dalam buku-buku adab, dan agama.

Tercantum pula dalam kurikulum pendidikan nasional, pada poin kompetensi inti pertama tentang spiritual. Namun implementasi dari itu, makin tahun makin hilang. Angka-angka yang dijadikan tolak ukur, tak mampu untuk menjawab problematika bangsa.

Benar rasanya, bila guru menjadi pilar pembendung arus itu. Pembacaan dan analisa tentang kepribadian siswa yang diakhiri dengan formula dan strategi tepat menjadi kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru kekinian. Sudah menjadi rahasia umum, tatkala murid dewasa ini, memiliki pola bicara sikap yang sungguh berbeda dibandingkan zaman para guru menjadi siswa. Ini menjadi tantang yang sangat berat.

Apalagi ditambah dengan sorotan kepada guru yang begitu tajam dari awak media, semakin mengecilkan nyali guru untuk menjadi agent of defense.

Dalam tinjauan psikologi, tentu seorang siswa yang melakukan tindakan tidak terpuji (tak pantas dan melanggar norma) memiliki pendekatan berbeda untuk dilakukan tindakan penyadaran. Dengan nasihat, dengan ancaman, atau mungkin harus dilakukan lebih dari itu. Tentu, berdasarkan karakter siswa dari pembacaan dan analisa guru yang dapat menimbang strategi paling tepat dalam penanganan.

Perkara kasus pembinaan dalam lembaga pendidikan formal misalnya, kalau perkara moral hanya diserahkan kepada pihak yang berwenang ( bimbingan konseling), dapat dipastikan tingkat keberhasilan akan jauh dari harapan. Namun bilamana dalam proses pembinaan itu, semua guru turun tangan, ikut berpartisipasi dan terlibat menjadi agent of defense dengan dikomandoi oleh punggawa pembimbing konseling, kontrol akan visi lembaga pendidikan, demi menciptakan generasi bangsa yang unggul dan bermartabat semakin mudah diciptakan.

Posisi guru semakin berat. Selain sebagai agent of defense guru juga dipaksa untuk menjadi “montir” kelakuan siswa kekinian. Tuntutan tinggi dari para wali siswa, sejatinya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima para guru itu. Tentu tak elok apabila membuat perbandingan kesejahteraan seorang guru dengan profesi lain, karena dengan program kesejahteraan apapun, guru tetaplah pahlawan tanpa tanda jasa.

Akibatnya, karena konsentrasi dan intensitas guru memikirkan dan berjuang untuk siswanya tidak seirama dengan logistik yang didapat, berakibat pada banyaknya guru yang menjadikan profesi ini sekedar sampingan. Hanya ikut “gerbong besar” daftar penerima tunjangan yang dijanjikan dari pemerintah. Tentu fungsionalitas guru menjadi berkurang.

Apalagi dengan banyaknya kasus guru yang diperkarakan orang tua siswa, diancam dipidanakan, dituntut dengan berbagai macam konsekuensi hukum semakin menambah beban penderitaan guru. Memang harus diakui, advokasi terharap perkara perselisihan antara guru dan siswa sangat lemah.

Akhirnya lahirlah guru-guru pragmatis yang berprinsip guru mek ngulang thok (guru hanya mengajar saja). Tak ada nilai yang terselip dalam pelajaran yang dibawakannya. Seakan proses pembelajaran itu, hanyalah transfer informasi dari buku kepada siswa. Bukankah lebih baik berguru kepada Mbah Google aja kalau begitu ??.

Patutnya, janji kesejahteraan itu dikawal oleh anggota dewan, yayasan, kepala sekolah dan guru itu sendiri agar guru benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk generasi bangsa. Perhatian terhadap guru juga harus lebih diperhatikan.

Dewasa ini, saat guru telah diberikan kesejahteraan yang lebih pantas, mereka lebih disibukkan dengan tugas administrasi yang tak kunjung usai. Hingga fokus fikiran kembali terforsir dalam penyelesaian adminstrasi pengajaran. Walaupun dinas terkait selalu melakukan pengembangan guna memudahkan guru dalam penyelesaian administrasi dan menyederhanakannya, agaknya kita perlu berdoa, agar uji coba kebijakan dunia pendidikan tidak menjadi kebiasaan pemerintah kita.

Sudah saatnya para guru bergerak. Melawan hegemoni yang memosisikan guru hanya sebagai peng-transfer pengetahuan. Sudah saatnya fungsi “pendidik” yang mulai pudar dikembalikan dengan formula yang berbeda. Bukan hanya melawan terhadap janji palsu pejabat terhadap tunjangan, tapi juga melawan terhadap arus besar yang mendisfungsikan guru sebagai pendidik.

*) Guru SMK Muhammadiyah Jogoroto.
Lebih baru Lebih lama