Melalui metode HOTS ini diharapkan pembelajaran di desain secara kolaboratif yang sangat berguna untuk melatih kerjasama, kemampuan berkomunikasi antar peserta didik dan guru, beragumentasi, serta pengendalian emosional di setiap harinya.

JOMBANG – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nasional melakukan gebrakan dalam Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2017/2018, bukan perkara nilai kelulusan yang selalu menjadi momok bagi peserta didik. Melainkan soal yang diujikan dirasa jauh dari kisi-kisi yang sudah disampaikan sebelumnya. Jelas kondisi itu membuat banyak dari peserta UN harus memeras otak lebih keras lantaran tipekal soal memerlukan kejelian dalam memahaminya. Sehingga jangankan memberi jawaban dengan yakin, perkara memahami saja sudah memakan waktu cukup banyak.

Ternyata kondisi yang sempat menjadi viral di sosial media karena tipe soal adalah model Higher Order Thinking Skills (HOTS) seperti klarifikasi Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) RI, Muhadjir Effendy di sejumlah media nasional. Secara garis besar teknik ini membutuhkan kemampuan nalar peserta didik di atas cara berpikir biasanya. Maksudnya peserta didik harus memahami terlebih dahulu soal yang kecenderungan menggunakan pola diskriptif.

Celakanya banyak diantara peserta didik tidak dibiasakan berpikir secara HOTS. Alhasil terlihat pada hasil UN yang jeblok jika dibandingkan dengan penyelenggaraan sebelumnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri dari sisi lainnya yakni kualitas peserta didik agaknya meningkat.

“Diberlakukannya soal jenis HOTS sebenarnya sangat bermanfaat mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai pemikir kritis dalam memecahkan sebuah masalah dengan baik. Bukan hanya bergantung pada hal tertentu yang bersifat hafalan atau mengulang suatu kejadian dari masa lampau,” jelas salah satu pengamat pendidikan Kabupaten Jombang, Drs. M. Thamrin Bey, M.Si.

Soal jenis HOTS ini, tambah laki-laki yang juga berprofesi sebagai dosen salah satu sekolah tinggi swasta di Jombang, sudah pernah diterapkan sebelum mata kuliah matematika terlahir. Dulunya Aljabar, Aritmatika, dan pelajaran eksakta masih berdiri sendiri, saat itulah soal serupa pernah diberlakukan. Akibat perkembangan zaman, akhirnya bermunculan cara-cara baru yang lebih memudahkan peserta didik dalam menemukan jawaban.

Tergantikannya soal bernalar tinggi di kala itu, salah satunya disebabkan oleh panjang soal yang dianggap membuang waktu dan rendahnya minat baca masyarakat. Sehingga peserta didik merasa soal berbelit-belit dan berganti dengan metode lain dengan segala kemudahan yang ditawarkan. Dari setiap kemudahan yang didapat, akhirnya semakin termanjakan serta tidak mau berpikir secara kritis dalam mengerjakan soal maupun sebuah masalah.

Hanya saja di tahun pertama diberlakukannya kembali soal jenis HOTS di Kabupaten Jombang masih sangat kurang dipersiapkan dengan baik. Tidak semua guru memiliki kesiapan yang mumpuni dalam mengajarkan serta menyebarkan teknik ini. Guru masih memerlukan pelatihan khusus mengenai penerapan soal jenis HOTS agar bisa membimbing peserta didik dengan variasi kemasan baru di setiap pembelajaran.

Perlu diperhatikan juga penyelenggara pelatihan harus bisa memilih pemateri yang mampu memberikan penjelasan dengan berbagai metode secara langsung. Supaya proses pelatihan bisa menarik perhatian guru, tidak monoton laiknya penuturan materi klasikal pada umumnya. Terlebih, metode selama pelatihan berlangsung bisa menjadi inspirasi bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran.

Sebab keberhasilan metode HOTS tentunya tidak bergantung pada soalnya ujiannya saja, tetapi juga harus diimbangi dengan pembelajaran di setiap harinya juga. Akan terasa ganjil apabila pembelajaran hanya berjalan biasa saja, tetapi ketika ujian peserta didik dihadapkan dengan soal HOTS ini.

Melalui metode HOTS ini diharapkan pembelajaran di desain secara kolaboratif yang sangat berguna untuk melatih kerjasama, kemampuan berkomunikasi antar peserta didik dan guru, beragumentasi, serta pengendalian emosional di setiap harinya. Seperti pengaplikasian model pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran dengan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving), dan menemukan (discovery/inquiry).




Sehingga di samping belajar materi pelajaran, peserta didik juga memperoleh pendidikan karekter dan literasi yang saat ini diamanatkan Kemendikbud RI agar kedua hal tersebut harus diintegrasikan dalam sebuah kegiatan pembelajaran. 

Apabila guru sebagai pembimbing di sekolah sudah mampu menguasai dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menerapkan metode HOTS di setiap pembelajaran sejak mengawali pembelajaran di tahun pelajaran baru. Panjangnya persiapan waktu mempelajari jenis soal terbaru tersebut otomatis mental peserta didik akan semakin terasah. Sehingga peserta didik tidak lagi merasa kesulitan menghadapi hal serupa di kesempatan apapun.

Laki-laki yang pernah menjadi anggota Dewan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang ini menambahkan, “Selain faktor penentu dari guru, menurunnya daya pikir peserta didik di era milenial ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Sebagian besar dari mereka terbiasa dibentuk dengan pola belajar menghafal yang sudah menjadi turunan sejak beberapa tahun terakhir. Hal itu semakin memungkinkan terjadinya lupa jika tidak sering diasah, tidak seperti analisis masalah pada jenis soal HOTS.”

Faktor tersebut saat ini menjadi kendala terbesar bagi para guru, tidak hanya di Jombang saja tetapi juga di seluruh Indonesia. Di mana guru harus memutar pikiran untuk mengasah kembali daya pikir peserta didik agar bisa berubah dan beranjak menjadi generasi yang berguna bagi bangsa dan negara.

Seluruh stakeholder pendidikan harus duduk bersama dan saling menyadari akan segala perubahan perkembangan zaman. Sebab pendidikan dasar sejatinya adalah poros utama dalam mencetak kader-kader muda penentu kemajuan negara. Begitu juga orang tua, harus senantiasa mendampingi buah hatinya dalam berlatih soal-soal yang memerlukan nalar tingkat tinggi ini.


Kemampuan Anak Berbeda

Untuk menggunakan penilaian keterampilan berpikir HOTS dalam pembelajaran maka seyogyanya dalam sebuah proses pembelajaran pun harus dilakukan dengan Higher Order Thinking (HOT). Hal ini memberikan dampak terhadap peserta didik terbiasa dalam sebuah pola berpikir yang HOT, sehingga bila cara mengukur keberhasilan belajarnya menggunakan HOTS peserta didik tidak celaka dalam kondisi yang tidak terduga namun sudah dipersiapkan untuk menghadapi situasi psikologis yang terkondisikan (siap, samapta, nyaman dalam kondisinya).

Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bimbingan Konseling (BK) SMP Negeri Se Kabupaten Jombang, Drs. Fatkur Roji mengatakan berpikir tingkat tinggi adalah dimungkinkan ketika seseorang mengambil informasi baru atau yang tersimpan dalam memori. Setelah itu saling dihubungkan atau menata kembali serta memperluas informasi ini supaya mencapai tujuan atau menemukan jawaban yang mungkin dalam situasi membingungkan.

“Berpikir atau bernalar tingkat tinggi disini adalah berpikir ekstra. Memang setiap manusia selalu menggunakan nalar, tetapi metode HOTS ini berbeda. Berdasarkan Anderson, L. & Krathwohl, D. A. (2001). Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational, metode HOTS seperti halnya proses belajar kognitif yang menghubungkan dengan taksonomi Bloom. Pada tingkat lebih rendah yaitu mengingat, memahami, menerapkan/mengaplikasi. Sedangkan pada tingkat lebih tinggi yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi,” terang Fatkur Roji.

Keterampilan berpikir didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring). Didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan.

Metode ini tidak menguji ingatan, tambah laki-laki yang gemar mengenakan kopiah. Sehingga terkadang perlu menyediakan informasi yang diperlukan menjawab pertanyaan, kemudian peserta didik menggunakan guna menemukan jawabannya.

Namun dikatakan Fatkur Roji yang juga merupakan guru di SMP Negeri 2 Jombang itu, didalam metode baru tentu tidak akan lepas dari permasalahan, mulai dari permasalahan kesulitan belajar dan sebagainya. Pada hakikatnya ditinjau dari aspek kemampuan dan kecerdasan, peserta didik dapat dikelompokkan dalam tiga starata, yaitu peserta didik dengan kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, rata-rata, dan diatas rata-rata.

“Untuk itu bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata kemungkinan akan sulit untuk menerima metode HOTS ini. Terlebih bagi mereka yang kurang untuk berkomunikasi atau berpikir kritis tentu akan kesusahan,” ujarnya.

Sebuah kelas yang heterogen dengan kemampuan peserta didik yang berbeda-beda tentunya dibutuhkan pelayanan dari guru yang mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta didiknya. Oleh karena itu diperlukan beberapa layanan khusus dari seorang guru dalam sebuah pembelajaran.

Sampai saat ini masih banyak sekolah yang tidak memperhatikan hal tersebut dan menganggap kebutuhan semua peserta didik sama. Akibatnya mereka yang berkemampuan belajar lambat akan selalu tertinggal dengan teman lainnya, sedangkan peserta didik yang berkemampuan belajar cepat, karena memiliki kecepatan belajar diatas kecepatan belajar rata-rata lainnya maka akan cenderung merasa jenuh, sehingga berprestasi dibawah potensinya (under achiever).

“Guru tidak dapat memaksa peserta didik yang berkemampuan belajar lambat untuk terus menyesuaikan dengan temannya yang berkemampuan belajar cepat, begitu pula dengan yang mampu belajar cepat juga tidak perlu selalu menunggu peserta didik yang berkemampuan belajar lambat,” kata Fatkur Roji.

Peserta didik yang cepat belajar biasanya membutuhkan kesempatan untuk memperkaya kemampuan dan mendorong untuk menggunakan secara maksimal semua potensi yang dimilikinya. Sedangkan peserta didik dengan kemampuan belajar lambat biasanya dalam pembelajaran sebagian besar waktunya digunakan untuk melatih kecakapan yang belum dikuasai. Disilah peran guru sebagai pembimbing mereka dan guru harus tahu metode seperti apa yang harus mereka pergunakan. aditya eko / fakhruddin
Lebih baru Lebih lama