Desa Pesantren, Tembelang. Mendengar kata ‘pesantren’ secara langsung membuat seseorang membayangkan jika di desa itu terdapat banyak pesantren berdiri megah dengan ribuan santri.

TEMBELANG – Setiap pemberian nama desa pasti memiliki nilai historis tersendiri dari sebuah peristiwa atau momen tertentu yang terjadi di masa lampau. Hingga saat ini pemilihan nama bisa menjadi satu ikon atau gambaran mengenai keadaan serta latar belakang terbentuknya desa tersebut. Bahkan banyak dijumpai nama-nama unik yang menimbulkan berbagai persepsi di kalangan masyarakat. 
Begitu juga Desa Pesantren, Tembelang. Mendengar kata ‘pesantren’ secara langsung membuat seseorang membayangkan jika di desa itu terdapat banyak pesantren berdiri megah dengan ribuan santri. Hanya saja apabila sekarang datang ke daerah itu, keadaan akan berbanding terbalik. Tidak sesuai bayangan kebanyakan orang yang mendengar, dipastikan tidak ada satu pun pesantren di desa ini.

Kepala Desa Pesantren, Tembelang, Achmad Wahyudi menjelaskan, “Memang banyak pendatang yang menanyakan perihal nama desa ini. Sebab setiap pendatang dan para generasi muda taunya hanya perkembangan di beberapa tahun belakangan saja, tidak melalui sisi sejarahnya.”

Sebenarnya, tambah Achmad Wahyudi, tahun 1800-an tepatnya di Dusun Kedung Pari, Desa Pesantren memang terdapat sebuah pondok besar dengan jumlah santri yang sangat banyak. Di sana merupakan salah satu titik awal persebaran agama Islam di daerah yang dulunya memiliki dua golongan masyarakat yaitu abangan dan putihan. Disebut abangan sebab golongan ini lebih tidak menganal agama dibanding kelompok putihan.




Semasa Kerajaan Majapahit itu perbedaan begitu terasa jika ada seseorang datang atau mendiami lokasi golongan lain, dampaknya pasti akan dimusuhi dan dikucilkan. Berbekal niat menyebarkan agama Islam di Jombang, perlahan golongan abangan pun berkurang serta ikut memperdalam agama di pesantren tersebut. Lambat laun, bertambahnya santri akhirnya desa tersebut dikenal dengan nama Pesantren dengan kepala desa pertamanya adalah pengasuh pesantren itu sendiri yang dikenal sebagai Kiai Sugiono. 

Berjalannya waktu, Kiai Sugiono pun wafat. Sepeninggalannya tidak ada lagi keturunan yang mau meneruskan ikhtiarnya dalam mengasuh pondok. Akhirnya beberapa santri memilih pulang ke kampung halaman dan sebagian pindah ke Pondok Pesantren Tambakberas untuk menyambung pendalaman agamanya.

Hanya saja minimnya pengetahuan masyarakat mengenai sejarah Desa Pesantren membuat nama pesantren dan asal kiai yang menjadi cikal bakal berdirinya desa juga tidak diketahui. Bangunan pondok serta para sesepuh desa pun sudah tidak ada, sekarang hanya menyisakan makam Kiai Sugiono yang berada di samping pematang sawah milik warga Dusun Kedung Pari.

“Meski perkembangan Islam berjalan begitu cepat, saat ini golongan abangan tetap masih ada. Bedanya, mereka sudah bisa hidup berdampingan tanpa melihat latar golongan,” tangguh salah satu perangkat desa, Purwanto. fakhruddin
Lebih baru Lebih lama