Menurut Kepala Seksi Pengambangan Lembaga Penyedia Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak DPPKBPPPA Kabupaten Jombang, Indriyati Mahmulah, S.Sos. “Berdasarkan laporan yang semakin meningkat, bukan berarti semakin banyak yang melanggar atau melakukan kasus. Tetapi semakin peka dan merasa penting untuk melindungi korban dan menindak pelaku.

Berkaca dari perilaku kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan orang dewasa kepada peserta didik maupun antar peserta didiknya sendiri, pembentukan Sekolah Ramah Anak (SRA) penting untuk dimulai guna menjamin lingkungan pendidikan yang aman. Kekerasan di instansi pendidikan ini tidak hanya terjadi di tingkat sekolah menengah dan atas, tetapi juga di tingkat sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak.

Menghadapi berbagai permasalahan serta kasus ketidakadilan yang kerap terjadi, pihak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Jombang menindaknya dengan serangkaian pendekatan layaknya sosialisasi dan juga menyediakan layanan konsultasi. Cara tersebut mengungkap informasi dari masyarakat terkait penyimpangan atau perilaku tidak menyenangkan terhadap perempuan dan anak.

Berdasarkan data rekap kasus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) tercatat tahun 2018 terdapat 23 jenis kasus dengan total 164 kasus. Kasus tersebut terdata dua klasfikasi 185 korban dengan 29 pelaku. Masing-masing dari korban dan pelaku ialah anak laki-laki, perempuan dan dewasa.

Menurut Kepala Seksi Pengambangan Lembaga Penyedia Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak DPPKBPPPA Kabupaten Jombang, Indriyati Mahmulah, S.Sos. “Berdasarkan laporan yang semakin meningkat, bukan berarti semakin banyak yang melanggar atau melakukan kasus. Tetapi semakin peka dan merasa penting untuk melindungi korban dan menindak pelaku. Penanganannya pun dengan bertemu si pelaku dan korban sebagai pihak yang netral dan penengah serta pemberi solusi.”

Dia menambahkan dari data jenis kasus yang mendominasi ialah KDRT sebanyak 50 kasus. Predikat tertinggi kedua dari kasus persetubuhan dan kekerasan terhadap anak yang berjumlah 19. Seperti kasus di lingkungan keluarga serta sekolah, diantaranya persetubuhan, kekerasan terhadap anak, Persekusi (perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh seseorang terhadap orang lain khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik), dan incest (persetubuhan yang dilakukan keluarga dan lingkungan terdekatnya).

Karenanya program SRA dicanangkan untuk menangani tingkat kekerasan di sekolah. Sekolah yang ramah untuk anak, akan membuat proses kegiatan pembelajaaran jauh lebih menyenangkan. Dengan demikian, suasana belajar pun lebih kondusif, yang pada akhirnya membuat peserta didik dan guru bisa tersenyum bahagia.

Namun dalam kenyataannya sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia nampaknya masih jauh dari keberpihakan terhadap kebutuhan anak. Meski penerapan SRA telah dicantumkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2014, sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjunjung hak dan kesetaraan anak, namun implementasinya hanya berkisar pada perlindungan terhadap kekerasan dan pemenuhan kenyamanan anak. Namun masih belum mengarah terhadap pendidikan serta apa yang seharusnya dibutuhkan peserta didik masa sekarang.




Psikolog, Supirman Kuswinarno, S.Psi Psikologi mengatakan bahwa SRA memang dibutuhkan guna menunjang kepedulian pihak pemerintah dan sekolah terhadap peserta didiknya, agar para orang tua tidak ragu jika akan menyekolahkan buah hatinya. Karena dalam dunia pendidikan anak, hak anak seperti bahagia, senang harus didapatkannya sebab akan memengaruhi masa depan peserta didik tersebut. 

“Mendapatkan predikat SRA itu tidak mudah. Tidak hanya memenuhi persyaratan-persyaratannya saja, namun benar-benar dikupas tuntas mulai dari peserta didik, orang tua, guru dan sekolahnya. Hal tersebut harus dilakukan agar predikat SRA tidak diberikan secara cuma-cuma,” jelas Supirman Kuswinarno.

Pasalnya, laki-laki yang berdomisili di Kabupaten Kediri ini mengungkapkan bahwa penerapan SRA di Kabupaten Jombang masih belum optimal. Dirinya masih menemui kasus-kasus kekerasan dan perundungan (bullying) yang terjadi di sekolah yang sudah ditetapkan sebagai SRA.

“Dengan kata lain, SRA masih belum dapat dimaksimalkan. Regulasinya perlu dibenahi agar SRA dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tata tertib dan aturan lama di sekolah sebenarnya juga harus dikaji dan disesuaikan. Jika tidak maka program tersebut dapat dikatakan pincang,” tegasnya.

Sementara itu dari kasus yang ditangani Supirman Kuswinarno, sampai saat ini masih belum ada perubahan yang signifikansi atau perbedaan dari sekolah yang mendapat predikat SRA maupun yang belum. Maka sejauh ini sebatas formalitas atas nama SRA namun realisasi terasa sukar diterapkan kepada objek.




Menyoroti penerapan SRA di Kabupaten Jombang, Pengamat Pendidikan Jombang, Drs. M. Thamrin Bhey, M.Si tidak setuju akan program ini. Pasalnya program SRA ini bertolak belakang dengan pemahaman bahwa sekolah memang seharusnya ramah anak. Munculnya Permen SRA sendiri seolah-olah sekolah saat ini memang tidak ramah terhadap anak. Bahayanya akan menimbulkan perspektif bagi masyarakat bahwa lembaga pendidikan tidak baik untuk buah hatinya. 

“Terbentunya program SRA ini karena beberapa kasus yang muncul di sebagian sekolah tentang kekerasan sehingga berimbas ke seluruh negeri. Padahal dengan kasus seperti itu dapat ditangani oleh pihak kepolisian tanpa harus membuat peraturan SRA. Kesannya hanya menghambur-hamburkan uang saja. Disisi lain juga akan menambah nilai jual sekolah yang mendapatkan program tersebut dibandingkan sekolah yang belum ditetapkan sebagai SRA. Maka itu akan melenceng dari arti ramah anak itu sendiri,” ujar Thamrin Bhey.

Selain itu, dari permasalahan kekerasan dan bullying yang memicu munculnya SRA, sebenarnya yang harus dipermasalahkan adalah moral dari semua warga sekolah dan kurikulum pendidikannya. Berbagai aplikasi program SRA di sekolah-sekolah masih terfokus pada meniadakan kekerasan dalam penegakan aturan dan selama poses belajar, serta melindungi anak yang selama ini semakin marak terjadi. SRA dirasa telah mampu mengurangi tingkat kekerasan dan perundungan pada anak. Namun, sayangnya, diskriminasi dalam bidang akademik justru belum terjamah.

“Sekolah masih dengan bangga bermerek unggul, memiliki kelas inti, dan membedakan anak berdasarkan kemampuan akademik meski tidak dapat dipungkiri bahwa pelajaran matematika, sains, dan bahasa merupakan modal kecakapan hidup bagi setiap anak, tidak perlu hingga level yang sangat tinggi. Pintar ialah multi-perception karena ukurannya tidak akan sama pada setiap anak,” kata Thamrin Bhey.

Di negara ini pintar hanya diteruntukkan kepada mereka yang nilai Ujian Nasionalnya bagus. Seharusnya tidak perlu lagi memberikan angka-angka pada pekerjaan dan pencapaian yang telah diusahakan, tapi berikan penghargaan atas kerja keras mereka. Jangan lagi membatasi cara berpikir dengan menemukan jawaban tunggal atas pertanyaan yang diajukan, namun biarkan mereka berpikir kritis yang nantinya akan menjadi benteng diri mereka saat berinteraksi di dunia nyata.

Selain itu menurutnya, anak zaman sekarang terlalu cengeng serta moral yang kurang. Pasalnya jika dibandingkan dengan sistem pendidikan dahulu, pendisiplinan anak dapat dilakukan dengan beberapa hal. Sebagai contoh jika peserta didik salah maka akan ada hukuman. Bahkan orang tua akan mendukung hukuman tersebut jika memang anak mereka melakukan kesalahan. Namun jika dilakukan di era saat ini akan berubah menjadi kasus kekerasan. Padahal itu sebenarnya proses pendisiplinan dan mendidik anak. Sebenarnya yang perlu ditekankan adalah pembenahan moral dari semua warga sekolah, bukan SRAnya. chicilia risca/aditya eko
Lebih baru Lebih lama