Rumah yang didirikan pada tahun 1901 ini, kini dihuni oleh generasi ketiga dari Aris Pertama atau setingkat Camat di Desa Mojowangi, Kyai Pahing Carolus Wiryoguno. Berdasarkan silsilah keluarga, Raden Wirjo Santoso yang kala itu juga berperan dan mewarisi kedudukan untuk menjadi pemimpin penerus setelah ayahnya.

MOJOWARNO – Kekuatan arsitektur bangunan khas negeri Kincir Angin ini sudah bukan hal yang baru. Baik dibangun saat zaman pendudukan di Indonesia beradab lalu hingga kini jejaknya masih terlihat. Selain masih tampak kokoh, rata-rata masih difungsikan sebagai tempat tinggal.

Seperti rumah di RT/RW: 001/004, Dusun Mojoroto, Desa Mojowangi, Mojowarno. Bangunan ini menjadi saksi nyata rumah induk kala itu usai babat alas serta menjadi pusat berkumpulnya para petinggi daerah.

Rumah yang didirikan pada tahun 1901 ini, kini dihuni oleh generasi ketiga dari Aris Pertama atau setingkat Camat di Desa Mojowangi, Kyai Pahing Carolus Wiryoguno. Berdasarkan silsilah keluarga, Raden Wirjo Santoso yang kala itu juga berperan dan mewarisi kedudukan untuk menjadi pemimpin penerus setelah ayahnya. Kini putra ketiga dari Raden Wirjo Santoso menjadi pemilik hak waris atas rumah induk keluarga tersebut. Sekarang ditinggali dan dirawat oleh keluarga Setiawan Jebus.

Rumah ini berdiri di atas lahan dengan luas lebih kurang 2.000 m² dengan bangunan rumah yang memiliki lebar 1.100 cm dengan panjang 5.000 cm. Rumah tersebut terbagi atas beberapa ruang, mulai dari pendopo, ruang tamu, empat kamar tidur, dapur, dan dua kamar mandi. Setiap ruangan dipisahkan oleh pintu besar, misalnya dari ruang tamu beranjak ke kamar harus melalui pintu pembatas. Demikian selanjutnya ke dapur dan ruang paling belakang yakni kamar mandi.

Masuk bagian halaman rumah, terdapat pendopo yang masih terlihat kokoh karena menggunakan tiang penyangga dari besi cor dan kayu jati. Empat pilar besi peyangga berbentuk lingkaran memiliki keliling 28 cm dan tinggi 200 cm, sedangkan pilar kayu jati tingginya 400 cm dengan dimensi 20 cm. Bagian tepi pendopo terdapat tembok pembatas dengan ketebalan 47 cm, sedangkan dibagian atap berjajar rapi lisplang berbahan kayu jati memanjang 200 cm yang difungsikan sebagai pelindung sinar matahari dan percikan air hujan.

Berlanjut ke ruang tamu, bertandang tiga pintu yang berjajar sebagai pintu utama rumah. Pintu kayu dengan kombinasi kaca ini memiliki konsep kupu-kupu tarung serta bertumpu pada gawang dengan tinggi 250 cm dan memiliki dimensi 13 cm.

Rasa sejuk dan nyaman terasa ketika memasuki ruang tamu. Bagaimana tidak, atapnya yang tinggi dan dinding rumah yang dibangun menggunakan material batu bata berdimensi 45 cm dapat menyerap suhu panas matahari. Ubin yang terbuat dari marmer pun menambah rasa dingin pada ruangan dan menambah kesan kokoh pada rumah tersebut


Memasuki ruang tengah terdapat empat kamar tidur dengan ukuran 400 cm x 400 cm. Dua kamar tersebut saling berhadapan dengan kamar yang lainnya. Setiap kamar terdapat satu jendela dengan ukuran tinggi 150 cm dan lebar 100 cm dengan konsep kupu-kupu tarung. Disambung ruangan paling belakang terdapat, kamar mandi beserta dapur.

Menurut pemilik rumah, faktor yang membuat rumah kolonial Belanda masih banyak berdiri hingga saat ini ialah materialnya yang kuat. Material banyak yang diboyong langsung dari sana, sehingga bahan tersebut memiliki tekstur atau motif yang berbeda dengan material lokal.

“Kami enam bersaudara diberikan hak tanah serta bangunan rumah dengan arsitektur ciri khas perumahan zaman kolonial yang terkenal memiliki atap tinggi beserta pilar penyangga berukuran besar. Sesuai jumlah keturunan, di sini juga terdapat enam bangunan rumah dengan ciri khas serupa. Hanya saja sebagian besar ditinggal penghuninya untuk merantau dan di waktu tertentu datang berkunjung sekedar berberes,” terang Setiawan Jebus.

Ukuran masing-masing bangunan cenderung besar dan tinggi, karena pada umumnya rumah dengan ciri tersebut dimiliki oleh seorang petinggi atau pejabat. Ketinggian rumah merupakan salah satu lambang kesejahteraan serta kemapanan finansial si pemilik.

Menyusuri bangunan ini seakan merasa lega dan tampak luas dengan nuansa klasik yang masih melekat. Pada dasarnya mulai dari model bangunan masih 100% serupa dengan bangunan asli. Hanya beberapa perbaikan yang diberikan nuansa senada dari bahan hingga modelnya. Sifatnya hanya mempercantik tampilan lantai yang dipasang keramik serta nuansa pembatas didinding pada enam tahun silam. Hal itu sudah menjadi mandat yang perlu dijaga dari pesan leluhur untuk tidak merubah arsitektur bangunan. Sampai saat ini masih dipercaya terdapat dampak buruk dari pelanggaran yang dilakukan keluarga dan keturunannya. chicilia risca
Lebih baru Lebih lama