“Meskipun pada 2017, Sandur Manduro ditetapkan sebagai warisan tak benda oleh pemerintah, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut dan hampir tidak ada generasi muda yang bersedia mempelajarinya. Belum banyak anak muda yang mau belajar. Selain itu, seni sandur sudah kalah sama kesenian modern, sehingga jarang yang nanggap.” - Warito -

JOMBANG – Kesenian Sandur Manduro merupakan kesenian asli Kabupaten Jombang yang mendapat pengakuan dari Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Pengakuan tersebut diterima Bupati Jombang tahun 2017 silam dengan mendapat sertifikat yang ditanda tangani Mendikbud, Muhajar Effendi.

Dinamakan Sandur Manduro karena kesenian rakyat ini terdapat di Desa Manduro Kecamatan Kabuh. Kesenian ini berada di tengah-tengah pemukiman yang masyarakatnya kebanyakan berasal dari etnis Madura. Sandur Manduro sampai saat ini masih memegang teguh keasliannya, meskipun kesenian ini sudah jarang pentas, tetapi keberadaannya masih mewamai khasanah kesenian di Jombang.

Seksi Sejarah dan Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Anom Antono, S.Sn, menjelaskan “Oleh karenanya Disdikbud Kabupaten Jombang menyelenggaran acara Seni Tradisional Macapat dan Sandur Manduro. Kesenian tertidur dan pemainnya banyak yang meninggal dunia hanya menyisakan beberapa orang saja. Sandur Manduro ini sudah ada sejak ratusan lalu dan menggunakan alat musik gamelan, trompet dan bahasa khas Mandura serta bertopeng.”




Pertunjukan Sandur Manduro ini, tambah Anom Antono, adalah usaha untuk mengenalkan dan membangkitan kembali salah satu seni tradisi, sekaligus merupakan upaya konservasi pada kesusastraan tradisi yang hampir tergerus zaman. Sandur Manduro sendiri terdiri atas berbagai unsur, salah satunya adalah bahasa dan sastra. Karenanya seni tradisi tersebut harus diperkenalkan secara lebih dekat kepada generasi muda, agar pewarisan nilai-nilai luhur lewat sastra, seni dan budaya, terfasilitasi dengan baik.

Sementara itu, Seniman Sandur Manduro, Warito, mengatakan bahwa karakter dan ciri pertunjukan topeng Sandur Manduro sangat erat kaitannya dengan sejarah Desa Manduro dan karakter masyarakatnya. Masyarakat ini dikenal dengan keturunan suku Madura. Tradisi yang berkembang di Desa Manduro bahwa asal usul berdirinya desa tersebut adalah adanya dua orang pelarian dari Madura bersembunyi di daerah perbukitan yang kala itu masih berupa hutan, kemudian ke dua pelarian itu bertempat tinggal menetap di daerah tersebut hingga beranak pinak dan membentuk wilayah desa seperti kondisi saat ini.

“Meskipun pada 2017, Sandur Manduro ditetapkan sebagai Warisan Tak Benda oleh Kemendikbud, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut dan hampir tiada ada generasi muda yang bersedia mempelajarinya. Selain itu, Sandur Manduri sudah kalah sama kesenian modern, sehingga jarang yang nanggap,” keluh Warito.

Walaupun dibeberapa daerah lain ada kesenian sandur, namun Sandur Manduro memiliki perbedaan dengan Sandur Bojonegoro, Tubanm dan Lamongan. Sandur Manduro merupakan titik temu antara berbagai unsur tradisi, mulai dari tembang, lakon, tari, topeng dan musik. Ada sembilan lakon dalam Sandur Manduro berdasar jenis topengnya. Adapun dramaturginya lebih dekat dengan Sandur Bangkalan daripada sandur di Jawa. Dimungkinkan karena masyarakat Desa Manduro berasal dari Madura dan sudah menetap di sana sejak zaman Kerajaan Majapahit. Bahkan, bahasa keseharian warga Manduro adalah bahasa Madura. Tentu, sangat disayangkan bila Sandur Manduro sampai hilang tertelan laju zaman, bahkan punah.

Warito sangat bersyukur dengan adanya kegiatan tersebut terlebih dilakukan dengan sasaran generasi muda di Jombang. Dia berharap pada angkatan milenial mampu mereaktualisasikan Sandur Manduro sesuai kondisi kekinian. Apalagi melihat nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Kabuh ini. aditya eko
Lebih baru Lebih lama