Achmad Fathoni, S.Pd.SD *)

Saat ini semua lembaga pendidikan di tingkat dasar maupun menengah sedang sibuk mempersiapkan peserta didiknya menghadapi Ujian Nasional atau istilah sekarang dikenal dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Demikian juga peserta didik dan orang tua siswa semua sibuk menyiapkan diri, baik dengan les tambahan di sekolah, mendatangkan guru les privat ke rumah, ataupun mengikuti les di lembaga bimbingan belajar yang ada. Tentu saja semua berharap peserta didik memperoleh hasil US atau USBN yang baik. Dengan hasil nilai US atau USBN yang tinggi menjadi modal untuk masuk ke sekolah yang favorit atau yang diinginkan oleh peserta didik dan orang tuanya.

Seakan-akan semua pihak tersedot perhatian dan konsentrasinya dalam menyukseskan “hajatan tahunan” berupa Ujian Nasional tersebut. Sebagian besar, atau jika tidak dikatakan seluruhnya, lembaga pendidikan sangat khawatir dan “paranoid” jika hasil UN atau USBN peserta didiknya jelek. Bahkan menjadi momok bagi peserta didik dan orang tuanya, jika hasil US atau USBN memperoleh nilai rendah atau jelek. Bagi orang tua siswa yang mampu secara ekonomi, mengeluarkan biaya banyak tidak masalah asalkan nilai UN/USBN putra-putrinya baik.

Sementara ini, ada semacam adagium dalam dunia pendidikan kita, terutama di tingkat dasar dan menengah bahwa “Nilai UN/USBN bagus berarti nasib peserta didik juga baik, sebaliknya jika NIlai UN/USBN memprihatinkan maka nasib peserta didik akan jelek”. Pertanyaan kita, benarkah adagium tersebut? Tentu saja hal itu harus dikaji dan didalami secara seksama. Jangan sampai peserta didik kita termakan oleh adagium “menyesatkan” tersebut, yang akhirnya membuat peserta didik paranoid bahkan sampai stes/depresi, ataupun ekses negatif yang lain saat akan menghadapi UN/USBN.

Menurut Prof. Agus Taufik Mulyono, ada tiga hal ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap ke suksesan peserta didik (di masa dewasanya kelak) yaitu NEM (Nilai Ebtanas Murni), IPK (Indeks Prestasi Komulatif), dan rangking. Pendapat tersebut sejalan dengan riset dan penelitian yang dilakukan oleh J. Stanley yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di USA (Amerika Serikat). Hasil penelitian tersebut ternyata nilai yang baik/tinggi (yakni NEM, IPK, dan rangking) hanyalah faktor sukses urutan ke-30. Sementara faktor IQ pada urutan ke-21. Dan bersekolah di universitas/sekolah favorit di urutan ke-23. Semuanya itu tidak berpengaruh pada kesuksesan peserta didik.

Lebih lanjut, dalam riset tersebut menyebutkan ada 10 faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan (peserta didik), antara lain:

1. Kejujuran (being honest with all people)

2. Disiplin keras (Being well-disclipined)

3. Mudah bergaul atau friendly (Getting along with people)

4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)

5. Kerja keras (Working harder than most people)

6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving my career/business)

7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)

8. Kepribadian kompetitif atau mampu berkompetisi (Having a very competitive spirit/personality)

9. Hidup teratur (Being very well-organized)

10. Kemampuan menjual idea tau kreatif/inovatif (Having an ability to sell my ideas/product).

Hampir kesemua faktor ini tidak terjangkau dengan NEM atau IPK. Dalam kurikulum semua yang tertera tersebut dikategorikan sebagai softskill. Biasanya peserta didik memperolehnya dari kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan di luar jam pelajaran efektif baik di lingkup sekolah maupun di masyarakat). Pada prinsipnya mengejar kecerdasan akademik semata akan mengerdilkan potensi yang ada pada peserta didik. Maka kecerdasan intelektual itu harus ditopang penuh dengan kecerdasan spiritual. Dengan mengoptimalkan kecerdasan spiritual, maka kecerdasan lain mengikuti dan kesuksesan peserta didik dalam semua aspek kehidupan dapat terwujud dengan baik.

Memprioritaskan nilai hasil UN/USBN saja pada peserta didik itu hanya akan mematikan potensi yang ada pada peserta didik. Justeru hal itu tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan konstitusi negara kita. Karena pendidikan merupakan suatu usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu artinya mencerdaskan anak bangsa yang dimaksud bukan hanya mengupayakan anak untuk cerdas secara intelektual saja, melainkan juga secara emosional dan spiritual.

Dengan demikian, sudah saatnya semua pihak, terutama stake holder, serta pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan kita mengubah paradigma dalam menilai indikator keberhasilan dan kesuksesan peserta didik. Dari hanya melihat hasil nilai USBN/UN berubah dengan melihat hasil yang lebih komprehensif, yaitu implementasi ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik yang ditopang oleh spiritualitas yang tertanam kuat dalam diri peserta didik sejak kecil. Sehingga peserta didik yang lulus akan menjadi insan-insan yang bertanggung jawab atas kebaikan dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsa, dan negaranya, serta agamanya. Itulah indikator kesuksesan dan keberhasilan yang hakiki. Wallahu a’lam.

*) Guru SDN Pulorejo II Tembelang
Lebih baru Lebih lama