Pengawas SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Dra. Susiana, M.Si menegaskan bahwa secara dasar dalam penyelenggaraan pendidikan, sekolah memang harus berlandaskan dan menerapkan delapan SNP.

JOMBANG – Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan tentu harus memperhatikan kualitas pelayanan agar mampu bersaing dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Beragam upaya tentu disiapkan guna menyokong keberhasilan program yang berdampak pada citra sekolah.

Secara aturan pemerintah telah menetapkan standar minimal tentang sistem pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi lembaga penyelenggara pendidikan. Standar tersebut tertuang dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang terdiri atas delapan poin yakni Standar Kompetensi Kelulusan, Standar Isi, Proses, Pengelolaan, Penilaian, Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Sarana dan Prasarana, dan Pembiayaan Pendidikan.

SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu; menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat; dan SNP yang disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.


Baca Juga : Mahasiswa UT Pokjar Jombang Implementasikan Hasil Pembelajaran di Panggung

Pengawas SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Dra. Susiana, M.Si menegaskan bahwa secara dasar dalam penyelenggaraan pendidikan, sekolah memang harus berlandaskan dan menerapkan delapan SNP.

“Ibaratnya SNP adalah pondasi dasar. Setiap penyelenggara pendidikan diharapkan mampu untuk memenuhi dan mencapai kriteria dan indikator yang ditetapkan di dalamnya,” ujar Susiana.

Dalam SNP yang telah dikuatkan dalam beberapa Peraturan Menteri Pendidikan, selain mengatur tentang standar yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pendidikan, di dalamnya juga terdapat indikator mutu berikut penjabaran yang dapat dijadikan kriteria penilaian penilaian mutu atau kualitas sekolah. Seperti misalnya dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) terdapat pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik. Hal-hal yang diatur dalam SKL mencakup standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran. Disamping itu di dalam SKL juga terdapat indikator mutu yang dibagi dalam kompetensi pengetahuan, keterampilan, serta sikap. Pemenuhan dari indikator tersebut yang nantinya dijadikan dasar penilaian untuk penilaian mutu sebuah sekolah.

Sekolah yang telah berhasil mencapai SNP minimal diperbolehkan untuk menetapkan standar baru di atas batas yang telah ditetapkan. Namun standar baru yang ditetapkan seyogianya telah dianalisis serta dilandaskan dalam Evaluasi Diri Sekolah (EDS) yang merupakan bagian dari proses Sitem Penjaminan Mutu Internal (SMP). EDS merupakan suatu proses evaluasi yang bersifat internal dengan melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan SNP yang digunakan sebagai dasar penyusunan RKS dan RKAS dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah secara konsisten dan berkelanjutan, serta sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota.

“Misalnya dalam Standar Pendidik dan Tenaga Pendidikan pada awalnya guru yang dimiliki rata-rata berpendidikan minimal S1 dan telah memiliki sertifikat kependidikan, untuk peningkatan mutu jadi ditetapkan persentase minimal bahwa guru yang ada di sekolah tersebut harus berpendidikan S2,” tutur Susiana.

Ditambahkan oleh perempuan berhijab itu penentuan standar baru oleh sekolah juga harus selaras dengan visi-misi yang telah dirancang sebelumnya. Disamping itu, pihak sekolah juga harus memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki agar standar baru yang ditetapkan dapat dijadikan sebagai capaian prestasi baru yang kedepannya bisa digunakan untuk nilai jual lembaga.

Melanjutkan berbicara mengenai mutu atau kualitas lembaga, Susiana mengatakan bahwa mutu adalah derajat keunggulan atau atribut pembeda (karakteristik) yang dimiliki oleh sesuatu atau seseorang. Mutu juga dapat didefinisikan sebagai semua karakteristik produk dan pelayanan yang memenuhi persyaratan dan harapan. Mutu dapat diciptakan sesuai dengan standar, harapan pelanggan, harapan pihak-pihak terkait, dan apa yang dijanjikan.

“Untuk itu ada sekolah yang menjadi dianggap bermutu karena berhasil memenuhi harapan masyarakat dengan kualitasnya. Namun itu juga tidak terlepas dari usahanya dalam mencapai mutu sesuai dengan standar,” jelas Susiana.

Perempuan yang pernah menjadi pengawas berprestasi tingkat kabupaten tersebut lantas menjelaskan secara prosedur, penjaminan mutu pendidikan dilakukan oleh dua pihak. Secara internal melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang dilakukan oleh lembaga sekolah sendiri dan secara eksternal melalui Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) yang dilakukan oleh pihak di luar lembaga sekolah seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Akreditasi Nasional (BAN), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), atau pihak lain yang berhak untuk memberikan penilaian.

Salah satu wujud nyata dari penilaian mutu pendidikan adalah nilai akreditasi. Akreditasi dapat menjadi patokan penilaian mutu karena dilakukan oleh badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan satuan pendidikan dengan mengacu pada SNP.

Kondisi di Jombang, dari empat puluh lima SMP negeri yang ada mayoritas telah mendapatkan akreditasi A dan hanya lima sekolah yang masih berakreditasi B. Sehingga dapat dikatakan bahwa mayoritas sekolah yang ada di Jombang telah memenuhi SNP.

Ketika seluruh proses penjaminan mutu pendidikan dilakukan dengan baik dan benar seharusnya akan menunjukkan hasil yang konsisten. Sehingga hasil yang ditunjukkan antara SPMI, SNP, Akreditasi, dan hasil nilai Ujian Nasional (UN) dapat muncul selaras.

Kerja sama dan Kepedulian

Sementara itu, menurut Kepala SMP Negeri 3 Peterongan, Safak Efendi M.Pd.I menjelaskan bahwa untuk mewujudkan sekolah yang bermutu diperlukan kerja sama dari beragam pihak. Setelah berhasil mencapai target minimal SNP, sekolah melakukan pengembangan pengelolaan sekolah yang didasarkan pada kebutuhan yang diperlukan di sekitar lingkungan sekolah. Penambahan standar lain seperti menjadi cinta lingkungan (melalui program adiwiyata) dan penujukan sebagai sekolah rujukan menjadi dorongan dalam peningkatan mutu.

Dalam upaya pengembangan pengelolaan juga mengembangkan ekosistem sekolah, membentuk budaya mutu, budaya literasi, dan pendidikan karakter. Dalam membentuk budaya mutu kegiatan difokuskan pada peningkatan kualitas sekolah serta pembelajaran yang dilakukan

Peserta didik akan diajak untuk mengikuti beragam diklat atau pelatihan untuk juga meningkatkan mutu. Dengan ilmu yang didapatkan dari beragam pelatihan, peserta didik diajak untuk turut berkontribusi dalam peningkatan mutu sekolah.

Usaha peningkatan mutu ini pun tidak hanya oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Melainkan juga melibatkan wali peserta didik dan warga di sekitar lingkungan sekolah.

“Misalnya untuk pengembangan terhadap peserta didik yang dinilai mampu unggul di bidang Olimpiade Sains Nasional (OSN), kami adakan kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga bimbingan OSN. Untuk pengembangan lingkungan dan kesehatan bekerjasama dengan dinas terkait yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Kesehatan. Sementara untuk manajerial bisa menggandeng LPMP juga pengawas pembina untuk konsultasi serta pengembangan inovasi yang lebih baik. Selain itu melakukan studi banding terhada sekolah unggul untuk mendapatkan insight lain dalam pengembangan kualitas sekolah,” jelas Safak Efendi.




Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Jombang, M. Syarif Hidayatullah berpendapat, “Dalam pengelolaan sekolah, kepala sekolah memegang peran yang dominan. Tanggung jawab yang berat ini menuntut adanya sinergitas multilini dengan jajarannya, serta dukungan komprehensif dari masyarakat. Sehingga sebelum pembelajaran untuk satu tahun pelajaran digelar seyogyanya perencanaan pembelajaran telah melewati perumusan yang matang, dimana dengan melibatkan tim pengembang kurikulum.” 

Selain itu, penilaian kinerja sekolah juga harus selalu ditinjau, tambah M. Syarif Hidayatullah, penilaian kinerja sekolah memiliki komponen-komponen utama yang menjadi tolok ukur penilaian kinerja sekolah. Tidak hanya terbatas pada aspek tertentu saja, melainkan meliputi berbagai aspek yang bersifat menyeluruh. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat menggambarkan secara utuh kondisi kelayakan dan kinerja sekolah tersebut.

“Komponen-komponen penilaian juga harus mencakup aspek input sekolah, proses sekolah dan output sekolah yang secara integratif saling berkaitan satu sama lain. Sehingga membangun kinerja baik secara individu maupun sekolah,” tegasnya.

Input suatu sekolah dapat berupa input yang berkaitan dengan aspek tenaga kependidikan, aspek peserta didik, dan aspek sarana dan pembiayaan (tangible). Disamping aspek intangible juga harus diperhatikan. Walaupun aspek yang bersifat intangible (visi, misi, tujuan, dan sasaran) tidak ditekankan dalam identifikasi sekolah, namun dalam rencana pengembangan sekolah tetap harus ditekankan sebagaimana dijelaskan pada Buku Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), visi adalah gambaran masa depan yang ingin dicapai.

Dengan istilah lain, visi merupakan cita-cita yang ingin dicapai di masa depan. Bagi sekolah, tentunya visi merupakan ‘sosok sekolah’ yang diharapkan di masa datang. Sedangkan misi adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Perumusan misi harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak terkait dan memperhatikan sumberdaya yang dimiliki sekolah maupun sumberdaya yang dapat diupayakan untuk digunakan dalam mewujudkan visinya. Selanjutnya misi yang terumuskan dengan jelas sangat penting, karena akan memberikan panduan kepada semua pihak, khususnya warga sekolah dalam berpartisipasi dalam mewujudkan visi bersama. Bahkan jika penyusunan misi telah melibatkan semua stakeholder, sangat mungkin masing-masing stakeholder sudah faham tentang apa yang perlu dan harus dilakukan dalam mendukung misi tersebut.

Menurut Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESO, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd yang dilansir dari republika.co.id (29 Januari 2016) menyebutkan bahwa sekolah yang bagus adalah sekolah yang memiliki kepemimpinan profesional, seluruh warga sekolah memahami visi dan misi sekolah, memiliki suasan pembelajaran yang menyenangkan, saling mendukung kegiatan yang dilakukan, guru memiliki perencanaan pembelajaran, program positif, monitoring, dipahami serta dilaksanakan dengan baik hak dan kewajiban peserta didik, terjalinnya kemitraan antara sekolah dengan rumah tangga atau wali peserta didik, dan munculnya kreativitas dalam organisasi untuk pengembangan pendidikan. fitrotul aini /aditya eko
Lebih baru Lebih lama