Di wilayah Gunung Pucangan, Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan pada bulan Suro lalu menggelar Budaya Kirab Pusaka dan Kirab Budaya dalam menyambut satu Suro. Lima tombak pusaka dan tujuh potongan bambu berisi air dari tujuh sendang diarak keliling desa.

NGUSIKAN – Indonesia sebagai negara dengan ragam suku, agama, ras, dan antar golongan membuat kebudayaan yang berkembang dalam masyarakatnya juga turut bewarna. Bermacam-macam kebudayaan yang telah diwariskan oleh para leluhur pun juga sudah seyogianya untuk dijaga bahkan dilestarikan.

Memasuki bulan Suro (menurut penanggalan Jawa), masyarakat Jawa memiliki sebuah tradisi untuk membersihkan pusaka yang dikeramatkan. Penyucian pusaka keramat ini di beberapa daerah menjadi sebuah ritual yang menarik untuk diikuti dan disaksikan. Karena seringkali pusaka yang dikeramatkan itu tidak hanya sekedar dicuci dan dibersihkan kemudian disimpan kembali ke tempatnya, melainkan juga diarak keliling desa atau daerah dengan harapan bisa mendapatkan berkah.

Di wilayah Gunung Pucangan, Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan pada bulan Suro lalu atau tepatnya pada Selasa (3/9) menggelar Budaya Kirab Pusaka dan Kirab Budaya dalam menyambut satu Suro. Lima tombak pusaka dan tujuh potongan bambu berisi air dari tujuh sendang diarak keliling desa.


Baca Juga : Profesional dalam Berkendara

“Belum dikaji secara mendalam bagaimana tombak tersebut berasal. Namun jika ditinjau dari susunan keprajuritan ketika masa perang kerajaan, tombak merupakan salah satu senjata pertahanan diri sekaligus untuk melakukan penyerangan terhadap lawan. Untuk itu, saat ini tombak bisa lebih diartikan sebagai simbol kekuatan masyarakat sekitar,” jelas Kepala Seksi Sejarah dan Budaya, Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Anom Antono, S.Sn.

Pria bertubuh gemuk itu menyebut bahwa tombak yang diarak pada Budaya Kirab Pusaka Cupak dipercaya memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat sekitar. Sehingga untuk menyimpannya tidak bisa diletakkan di sembarang tempat. Tombak itu disimpan di dalam makam Dewi Kilisuci atau Sangkramawijaya Tunggadewi putri Raja Airlangga yang menolak menjadi pewaris takhta Kerajaan Kahuripan dan memilih menjadi pertapa.


Namun nyatanya Budaya Kirab Pusaka ini tidak hanya dilakukan di wilayah Situs Pucangan, namun juga di sekitar wilayah Makam Pangeran Benowo di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam. Di wilayah Makam Pangeran Benowo, pusaka yang dikeramatkan berbentuk terbang dan keris. Keduanya sudah tampak berumur bahkan kulit terbang sudah mengelupas akibat termakan usia.

“Terbang ini dulunya dipercaya sebagai alat Pangeran Benowo dalam syiar Islam di wilayah Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam. Sementara kerisnya tidak diketahui secara pasti asal muasalnya. Namun kedua benda tersebut harus disimpan berdampingan di dalam area makam Pangeran Benowo. Karen jika tidak disimpan bersamaan ada kepercayaan bahwa pusaka itu akan saling mencari satu sama lain,” Anom Antono kembali mengurai cerita.

Meski lekat dengan kebudayaan serta kental dengan aura mistis, prosesi pemandian pusaka yang dilanjutkan dengan kirab namun tujuan utama dari seluruh kegiatan tersebut adalah sebuah bentuk penghargaan kepada leluhur. Disisi lain juga sebagai wujud rasa syukur akan apa yang sudah didapatkan selama hidup di sekitar lokasi pusaka disimpan dan sekaligus sebagai sarana kirim doa agar masyarakat selalu diberikan keselamatan, kemakmuran dan dijauhkan dari segala macam bencana juga marabahaya. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama