KUDU – Nama Setiawan atau yang kerap disapa Pak Sete ini mungkin asing di telinga masyarakat umum. Namun jika dikalangan para pecinta kesenian ludruk laki-laki yang berdomisili di Dusun Ruyung, Desa Kepuhrejo, Kecamatan Kudu ini adalah seorang artis. Pasalnya sejak tahun 1970-an dirinya kerap tampil dalam kesenian ludruk dari kota ke kota dan melalang buana di setiap daerah.

“Saya memang suka dengan kesenian sejak kecil dahulu karena kerap menoton kesenian khususnya ludruk. Saat masih belum berkeluarga dulu saya sempat ikut ludruk dan berperan sebagai tandak ludruk (bermain dalam lakon-lakon ludruk dan terkadang sebagai perempuan). Namun saya tidak pernah berperan menjadi perempuan,” ujar Setiawan ketidak ditemui di kediamannya.

Namun karirnya di dunia ludruk berhenti setelah dirinya menikah. Tidak dilanjutkannya menekuni kesenian ludruk dikarenakan pada masa dahulu penghasilan setiap penampilannya dirasa kurang dalam menghidupi keluarganya. Alhasil pada tahun 1983, Setiawan memutuskan untuk berhenti dan menekuni usaha dalam bidang pertanian tembakau.

“Penghasilan dari ludruk tidak seberapa waktu itu, akhirnya saya memutuskan untuk bertani tembakau dan Alhamdulillah hasilnya cukup. Namun seiring berjalannya waktu saya jenuh dengan hal-hal yang saat ini saya kerjakan. Saya berfikir bahwa saya butuh hiburan, yaitu kembali untuk menekuni kesenian ludruk,” kata bapak tiga anak itu.

Tak disangka pada tahun 2013, Setiawan diajak salah satu temannya untuk menampilkan tari remo dalam acara desa. Karena dirinya tidak pernah dan belum bisa menari remo, pada saat itu dirinya mulai berkeinginan berlatih dan menemui Maestro Tari Remo, Ali Markasa. Sejak saat itu dirinya mulai berlatih gerakan-gerakan tari remo.

“Saya meminjam kaset Compact Disc (CD) yang berisikan tari remo ke Ali Markasa. Dari situ saya belajar menari. Terkadang saya rekam beberapa tarian di gawai saya yang nantinya saya lihat dan peragakan ketika sedang berada di sawah sambil bertani tembakau. Terkadang saya juga berlatih di rumah saat istri dan anak-anak saya tidak ada di rumah. Pokoknya pas sepi,” papar Setiawan sambil tersenyum lebar.

Setelah menguasai beberapa gerakan, tak lupa dirinya memperlihatkan kepada Ali Markasa untuk menilai kekuarangan dalam setiap gerakannya. Ketekunan dalam berlatihnya membawakan hasil yang memuaskan. Pasalnya pada penampilannya yang pertama dapat membuat penonton terpukau dan heran karena selama ini Setiawan tidak pernah menari.

Sejak saat itu banyak masyarakat setempat yang ingin mengajak Setiawan untuk manggung dan menari remo. Hingga pada tahun 2015 laki-laki berumur 63 tahun tersebut masuk di grup Ludruk Karya Budaya sebagai penari remo. Tidak hanya itu, Setiawan juga mahir dalam Tari Remo Boletan, Remo Mojokertoan, dan Remo Suroboyoan.

“Kalau dahulu pas awal-awal nari, kostum tarinya masih sewa karena memang mahal. Tetapi saat ini saya sudah memiliki tiga kostum tari remo yang berbeda. Ada yang berwarna hijau dan merah, hitam, serta ungu. Tetapi yang paling sering saya pakai biasanya yang warna ungu karena lain dari pada yang lain dan terlihat nyentrik,” ungakpnya.

Kesuksesannya saat ini, Setiawan mengaku karena dorongan dari sang istri. Pasalnya setiap kali dirinya tampil, istrinya selalu ikut menemaninya. Selain itu membantu mengenakan pakaian remonya, Siti Yumaroh juga terkadang ikut merias Setiawan ketika akan ngeremo.   aditiya eko

Lebih baru Lebih lama