Kondisi CFD di Kabupaten Jombang. (aditya)

JOMBANG – Persoalan Car Free Day (CFD) di setiap kota hampir serupa yakni berjamurnya pedagang di sepanjang jalan yang digunakan hingga menyelenggarakan kegiatan yang tak ada kaitannya sama sekali untuk hari bebas kendaraan bermotor tersebut. Hal ini jelas sangat mengganggu aktivitas masyarakat yang sengaja datang untuk berolahraga. Laiknya juga di Jombang, dari mulai di gelar beberapa tahun silam bukannya semakin berkurang melainkan kian bertambah membentang di kedua sisi jalan aktivitas yang bertolakbelakang dengan CFD.

Bila tidak dikontrol dan di awasi maka lambat laun akan menimbulkan permasalahan baru. Selain sudah keluar dari esensi konsep CFD, dampak paling cepat terasa ialah produksi sampah semakin meningkat. Padahal hanya berlangsung beberapa jam saja, namun sampah yang dihasilkan bisa menambah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Jombang dalam hal ini yaitu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.

Baca Juga: Mutasi dan Promosi Kepala Sekolah Mengisi Kekosongan Jabatan

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Konservasi Dinas Lngkungan Hidup (DLH) Jombang, M Amin Kurniawan, S.T., M.Ling membenarkan hal tersebut. Menurut pantauannya bersama tim terhitung lebih kurang 223 pedagang yang berjajar di ruas Jalan KH. Wahid Hasyim pada saat CFD.

“Itu cukup banyak dan tidak tertata dengan rapi. Alhasil sampah yang dihasilkan juga tidak sedikit. Padahal sejatinya CFD merupakan ajang cinta terhadap lingkungan, bukan hanya untuk bebas dari asap kendaraan bermotor. Melainkan untuk lingkungan secara keseluruhan,” ujar Amin Kurniawan saat ditemui tim Majalah Suara Pendidikan (31/1).

Selain melakukan penataan kembali CFD di Jombang, pihaknya juga berkeinginan untuk menambah tempat sampah di sepanjang area CFD. Hal itu dilakukan agar masyarakat dapat dengan mudah dan tidak membuang sampah sembarangan.

Wacana memindahkan area CFD ke jalan lain rasanya pula ada kemungkinan ungkap Amin Kurniawan. Selain sebagai jalur poros di Kota Santri, JL. KH. Wahid Hasyim menjadi akses utama ke pelbagai fasilitas publik. Baik itu RSUD Jombang hingga Gereja Katolik Santa Maria, akibatnya ketika ada masyarakat hendak berobat atau beribadah kesulitan aksesnya.

“Wacana tersebut memang ada benarnya. Kalaupun akan dilakukan pemindahan area CFD harus ada pengkajian ulang dan persiapan lebih matang. Selain mesti berada di jantung kota, tentunya representatif. Namun diketahui bahwa tak banyak jalan di sini yang memiliki ukuran memadai dan lokasinya sesuai,” terang Amin Kurniawan.

Sementara itu, salah satu pegiat Bike to Work Indonesia, Putut Sudaryanto menjelaskan bahwa, saat ini kegiatan CFD mengalami penambahan fungsi. Dari yang awalnya hanya untuk kegiatan olahraga, kini menjadi ajang kegiatan selain olahraga. CFD bermetamorfosisi sebagai New Trend Activism yang cenderung pada suatu ajang hiburan bagi masyarakat kota dalam menikmati hiburan dan berbelanja. Beberapa kegiatan seperti pertunjukan kesenian, panggung hiburan, permainan anak-anak, dan kegiatan festival jalanan lainnya.

“CFD sebenarnya adalah pembentuk character building untuk mengurangi pencemaran udara, kemacetan, dan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun saat ini sudah beralih fungsi yaitu untuk promosi, kampanye dan sosialisasi sebuah produk. Selain itu banyak juga ditemui pedagang kaki lima yang berjualan makanan dan minuman, pakaian maupun barang lainnya,” tambah Putut Sudaryanto saat dihubungi melalui gawai.

CFD di Indonesia sudah ada sejak 2002 tambahnya. Kegiatan ini dilatarbelakangi kondisi kemacetan yang semakin parah dibeberapa kota besar khususnya Jakarta. Tingkat polutan semakin tinggi menandakan kualitas udara yang dihirup semakin menurun. Kondisi diperparah dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang membuat kota bukan lagi disinggahi manusia, melainkan kendaraan.

Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan, pukul 07.00 WIB merupakan waktu ketika polutan (bahan pencemaran) di udara berada pada ketinggian 0-500 meter. Debu polutan tersebut naik menjelang siang hingga ketinggian 2.000 meter. Kualitas udara polutan kembali turun ke permukaan menjelang malam. Akibatnya, berolahraga pada pagi atau malam hari tidak sehat lagi karena debu polutan pada saat itu berada di dekat permukaan tanah. Sementara itu, berolahraga pada siang hari sangat melelahkan. Semua itulah yang menjadi latar belakang CFD. Misi utamanya adalah menciptakan kualitas udara yang lebih baik.

Putut Sudaryanto mengatakan, “Dalam CFD ada pesan yang di kirim kepada masyarakat agar mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Dengan demikian, perbaikan kualitas udara pun terasa. Kemudian, lokasi CFD juga dapat menjadi ruang publik serta tempat warga bertegur sapa dan berolahraga sambil berekreasi.”

Oleh sebab itu, makna CFD untuk saat ini seharusnya dikembalikan kepada konsep awal terbentuknya. Karena kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi lingkungan terutama kesehatan masyarakat yang setiap harinya menghirup udara tidak baik. aditya eko
Lebih baru Lebih lama