PETERONGAN – Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi mengeluarkan surat edaran terkait dengan beribadah menyambut Ramadan dan Idulfitri 1 Syawal 1441 Hijriah sebagai dampak dari wabah Korona. Edaran tersebut dimaksudkan guna memberikan panduan beribadah yang sejalan dengan Syariat Islam sekaligus upaya mencegah dan mengurangi penyebaran, tertutama melindungi masyarakat dari risiko Covid-19.

Imbauan tertulis itu juga mengatur tidak adanya pelaksanaan sahur on the road dan buka puasa bersama. Selain itu, salat tarawih dan tadarus Alquran juga turut menjadi imbauan agar dilaksanakan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah. Begitu halnya dengan pelaksanaan salat Idulfitri, yang seharusnya dilaksanakan secara berjamaah di masjid maupun di lapangan, juga ditiadakan. Peniadaan ini diterapkan pula untuk takbir keliling serta budaya halal bihalal yang lazim dilaksanakan ketika hari raya Idul fitri. Sejalan pada edaran tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut.

Menyikapi hal itu, Ketua MUI Kabupaten Jombang KH. Cholil Dahlan menuturkan, “Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Komisi Dahwah MUI Pusat menjadi rujukan kami pelaksana di daerah. Saya sampaikan fatwa tersebut sebagai solusi yang dianjurkan bersama. Isinya, penyelenggaraan ibadah yang disarankan atas situasi wabah Covid-19.”

KH. Cholil Dahlan menjelaskan, ketika wilayah yang belum dikategorikan sebagai zona merah, bisa menyelenggarakan salat di masjid. Namun perlu diingat kembali, menjaga jarak antara masing-masing jamaah minimal satu meter wajib dilakukan.

“Selain menyikapi anjuran dari Kementerian Kesehatan, secara teknis berdasarkan nakri dan rujukan Alquran serta hadits, keputusan salat di rumah juga sah dilaksanakan selama masa Ramadan dan Hari Raya Idul fitri. MUI sudah menelaah dengan menyesuaikan kondisi yang cukup mengancam bagi keselamatan umat Islam. Kondisi daerah zona merah atau tak bisa dikendalikan perkembangan wabahnya, disarankan melakukan salat di rumah masing-masing sesuai tuntunan Allah SWT. Zaman dulu, hal tersebut dilakukan pula oleh para sahabat dan ulama,” terang KH. Cholil Dahlan.

KH. Cholil Dahlan menjelaskan tentang hukum melaksanakan salat hari raya. Pelaksanaan khusus utamanya salat Idulf itri dan Idul adha memang tidak ada tuntunan untuk melaksanakan salat di rumah. Sehingga salat Idul fitri bisa diganti dengan salat dhuha.

“Berdasarkan pengamatan saya, selama ini pelaksanaan salat Idulfitri tak ada tuntunan yang dilaksanakan secara masing-masing di rumah. Belum juga saya temui dalam Hadits Rasullulah dan dari Ulama Salaf. Sehingga pengganti salat Idul fitri yakni melaksanakan Salat Dhuha dengan menambah rakaat. Biasanya hanya dua rakaat ditambah menjadi empat rakaat atau maksimal delapan rakaat,” ungkapnya.

KH. Cholil Dahlan berpendapat, hukum syariat itu ada kalanya terikat dengan situasi dan kondisi, begitu pula sebaliknya. Salat berjamaah di masjid memang dianjurkan, tetapi terikat dengan situasi dan kondisi seperti zaman Rosullulah jika umatnya yang terkendala akibat bencana banjir dan lain sebagainya yang mengancam diri sendiri dan umat yang lain, maka dianjurkan untuk salat di rumah.

KH. Cholil Dahlan menyarankan, “Budaya sungkeman usai salat Idulfitri, tak juga diwajibkan berjabat tangan, memeluk atau interaksi lainnya yang sifatnya berkelompok. Masyarakat tetap bisa berlebaran namun tetap menjaga jarak. Jika bersalaman cukup dengan memberi penghormatan dari yang muda kepada yang tua. Demikian halnya dengan suguhan yang ingin dibagikan, disiapkan dengan satu porsi dan diminta untuk mengambil secara mandiri serta tidak makan di tempat.”

Menjaga kesehatan bersama lebih utama, pahalanya juga lebih besar terlebih hikmahnya. KH. Cholil Dahlan menjelaskan, ketimbang melaksanakan tradisi dan melupakan keselamatan sesama yang justru mudaratnya tinggi. Sehingga seperti halnya dalam melakukan sesuatu perlu memilah setiap keputusan. Memikirkan terlebih dulu manfaatnya dan juga sebaliknya. Jika perbandingan manfaatnya lebih besar, baik untuk dilakukan. Sehingga bersabar dulu untuk tak berkumpul.

“Kejadian yang sama pernah saya alami antara tahun 1960-an, tetapi tak segencar serta seberpengaruh seperti saat ini. Lantaran terbatas alat komunikasi. Saat itu wabah ini dikatakan pagebluk begitu orang tua menyebutnya,” kilas balik KH. Cholil Dahlan.


KH. Cholil Dahlan menuturkan, selain melaksanakan ketentuan berdasarkan atas tuntunan ibadah dalam Alquran maupun oleh Rasulullah lewat sunahnya, juga penting menyertakan ilmu, akal, dan juga rasa atau perasaan. Keseluruhan terjalin, tingkat kekhusuan akan terlaksana secara maksimal serta memperoleh kepuasan hati.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Jombang, Dr. Ir. Abdul Malik, MP. menyampaikan, “Hindari mudarat lebih baik daripada mendatangkan kemaslahatan. Secara sederhana salat Jumat yang hukumnya wajib dilaksanakan berjamaah di masjid, disarankan untuk dilaksanakan di rumah, apalagi dengan salat Idul fitri yang sunnah.”

Mengulas berbagai anggapan dan juga spekulasi yang mengatakan ada alternatif tetap bisa melaksanakan salat berjamaah, berdasarkan pandangan Abdul Malik justru meragukan. Memang sudah mematuhi untuk berjaga jarak aman antara jemaah lainnya. Tetapi perilaku sosial yang menyapa sahabat dan kerabat inilah terkadang tak bisa dihindari. Berawal tegur sapa, berlanjut menjadi berbincang dan berkelompok.

“Jika timbul sebuah pernyataan ketika tak pergi ke masjid, mayoritas beralasan nggak penak. Hal ini yang disampaikan sebagian besar mereka para jemaah yang sudah berusia lanjut. Selama puluhan tahun menjadi jemaah di masjid, baru kali ini dihalangi salat berjamaah. Namun perlu berkilas pada bekal ilmu yang kita miliki. Bahwa beragama itu berilmu, bukan tertuju pada rasa sungkan. Penerapan ini sudah terbukti bisa dilakukan dibeberapa masjid yang saya kunjungi.

Reporter/Fotografer: Chicilia Risca
Lebih baru Lebih lama