Achmad Fathoni, S.Pd.SD *)

Tragedi global yang sangat fenomenal di awal tahun 2020. Diawali saat hari terakhir di tahun 2019, tepatnya pada 31 Desember 2019, menjadi awal malapetaka umat manusia tahun ini. China menginformasikan kepada Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organisation (WHO) tentang kasus-kasus penyakit infeksi saluran pernapasan bawah yang belum diketahui penyebabnya dari Wuhan yang diduga berasal dari pasar makanan laut dan hewan liar. Sepekan kemudian China menemukan penyebab penyakit tersebut berupa Virus Corona jenis baru yang awalnya dinamai 2019-nCoV yang masih satu keluarga dari virus penyebab wabah SARS dan MERS, yaitu pertikel virus RNA tak kasat mata super kecil berukuran 60-140 nanometer. Berikutnya virus ini dinamakan SARS-CoV-2 dan penyakitnya disebut sebagai Coronavirus Disease (Covid-19)

Tanggal 2 Maret tercatat dua kasus pertama di Indonesia yang kemudian meningkat dengan cepat seiring jangkauan Covid-19 mencapai 69 negara dengan 89.242 kasus dan 3.048 korban meninggal. Tanggal 9 Maret Italia melakukan kebijakan lockdown di seluruh wilayah negaranya. Akhirnya 11 Maret WHO Menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global yang menyebabkan semua negara kalang kabut dan berusaha mengatasinya dengan berbagai macam pendekatan.

Mewabahnya Virus Corona (Covid-19) seakan menjadi mimpi buruk, tak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Selain berdampak besar dan jangka panjang bagi kondisi perekonomian dan interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat, juga berpengaruh pada dunia pendidikan. Oleh karenanya, dalam waktu yang relatif singkat pemegang kebijakan dunia pendidikan kita mengambil terobosan dalam proses pembelajaran peserta didik dalam situasi darurat virus corona.

Dampak Signifikan

Pertama, adanya home learning (belajar di rumah). Dalam beberapa pekan terakhir, dengan adanya keputusan pemerintah tentang darurat wabah virus Corona, berimplikasi pada kebijakan dalam dunia pendidikan yaitu peserta didik-siswi diharuskan belajar di rumah masing-masing atau sekolah harus dipindah ke rumah. Akibatnya tak sedikit para peserta didik, guru, bahkan orang tua yang gagap menghadapi perubahan situasi yang sangat drastis ini. Hingga aura “kepanikan” dan stress massal pun terasa di mana-mana.

Baca Juga: Rasanrasan Boenga Ketjil Mempertanyakan Makna Radikalisme

Muncul masalah yang lebih kompleks, di antaranya banyak orang tua terutama para ibu yang tidak siap. Baik secara teknis, keilmuan dan pemahaman, skill, maupun mental sebagai pengajar dan pendidik “dadakan”. Sehingga mereka pun dipaksa melakukan penyesuaian-penyesuaian yang cukup berat. Para orang tua, terutama ibu, mengeluh karena di tengah kerepotan tugas sebagai istri dan ibu, mereka harus mengajari anak dengan mata pelajaran yang belum tentu dipahaminya. Di saat yang sama, mereka pun harus terlibat dalam aspek administrasi berupa tes harian, tes pekanan, dan pelaporan. Padahal, tak sedikit di antara mereka yang gaptek (gagap teknologi) dan fasilitas yang dipunyai kurang memadai.

Peserta didik pun demikian, mereka stres, mengeluh karena bosan, juga merasa tertekan, karena dikejar tugas harian yang menumpuk dalam batas waktu bersamaan. Dunia bermain bersama teman-teman yang sangat menarik bagi peserta didik, saat ini terasa hanya sekedar mimpi. Akhirnya belajar di rumah bagi mereka, makin terasa tak menyenangkan. Yang penting menunaikan kewajiban setor hasil pekerjaan tugas dari sekolah.

Para guru pun tak kalah stress. Karena faktanya, tak semua guru memiliki kompetensi yang memadai dalam sistem kerja dalam jaringan (daring). Apalagi selama ini, kesempatan meng-upgrade kemampuan serta fasilitas dari pihak yang terkait masih belum sesuai harapan. Yang lebih ironis lagi, mereka (para guru dan tenaga kependidikan) seringkali menjadi pihak yang paling banyak dikritisi dan dipersalahkan. Padahal mereka hanya menjalankan kebijakan dari pihak yang berwenang, yang memang sedang gagap dan tak siap menghadapi situasi kritis dan darurat seperti sekarang ini.

Kedua, maraknya pemanfaatan jaringan internet. Belajar di rumah bagi semua peserta didik adalah meningkatnya penggunaan jaringan internet. Pasalnya, para guru diharuskan memberikan tugas belajar peserta didik melalui daring (dalam jaringan), pastinya membutuhkan perangkat ponsel ataupun laptop yang terakses dengan jaringan internet. Tak ayal lagi, para orang tua peserta didik harus menyiapkan dana tambahan untuk pembelian pulsa atau paketan internet bagi putra-putrinya untuk berkomunikasi dengan gurunya. Baik untuk memperoleh informasi tugas yang harus diselesaikan maupun untuk mengirim balik hasil pekerjaan kepada gurunya masing-masing.

Menurut Dr. Amirsyah Tambunan (Sekjen Asosiasi Dosen Indonesia/ADI) di laman http://monitorday.com (22/3/2020), keberadaan Pandemi virus Corona alias Covid-19 memberikan pelajaran berharga khususnya bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, penyebaran Virus Corona ini memaksa pendidikan melakukan pemanfaatan teknologi dan digitalisasi dalam pembelajaran.

Ketiga, Penghapusan Ujian Nasional. Sebagaimana diberitakan di laman www.kompas.tv.com bahwa Ujian Nasional yang seharusnya berlangsung 30 Maret sampai 2 April 2020, kini dihapus karena sebaran Virus Corona yang masih masif di berbagai wilayah di Indonesia. Begitu pun untuk UN SMP dan SD yang menurut jadwal seharusnya berlangsung paling telat akhir April 2020 juga ditiadakan.

Keputusan itu diambil pemerintah mengingat penyebaran Covid-19 akan memuncak pada April ini. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama komisi X DPR RI telah memutuskan penghapusan UN tersebut dalam sebuah rapat yang digelar secara online, Senin malam (23/3/2020). Peniadaan UN merupakan satu dari beberapa hasil keputusan dalam rapat yang juga membahas berbagai persoalan di dunia Pendidikan dan Kebudayaan.

Solusi Alternatif

Pertama, mengoptimalkan peran pendidikan informal (pendidikan di keluarga). Dalam dunia pendidikan, kita mengenal tiga cakupan pendidikan yaitu pendidikan informal (di keluarga), non-formal (di masyarakat), dan formal (di sekolah/lembaga pendidikan formal). Selama ini yang dominan dipahami oleh masyarakat umum bahwa pendidikan adalah sekolah formal yang terlembaga dengan lembaga pendidikan formal (SD, SMP, SMA, SMK, dan Perguruan Tinggi).

Pendidikan informal merupakan wujud dari pembelajaran yang dilakukan di lingkungan keluarga yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, berupa pendidikan oleh keluarga dan lingkungan. Peran keluarga terutama orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku yang baik, penanaman nilai-nilai moral-spiritual, dan sikap hidup yang bertanggunga jawab untuk kebaikan kehidupan masyarakat di masa depan. Lebih dari itu, keluarga merupakan sekolah yang pertama dan utama bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan informal yang merupakan sub sistem dari sistem pendidikan nasional harus juga mendapatkan perhatian dan dukungan yang penuh dari pemegang kebijakan di negeri ini.

Kedua, meningkatkan penyedia layanan internet dan Teknologi Informasi (TI) yang positif dalam dunia pendidikan seluas-luasnya. Internet adalah hal yang tidak bisa dipisahkan di era modern seperti saat ini. Semua bebas mengakses internet mulai dari komputer, latop, tablet, hingga ponsel. Namun rupanya arus informasi yang begitu deras dan mudah didapat dari mengakses internet secara signifikan cukup berdampak buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat, yang notabene sebagian besarnya adalah peserta didik kita.

Patut dicatat bahwa harus ada pengaturan yang ketat terhadap berbagai informasi yang negatif bagi peserta didik. Sehingga peserta didik mudah mengakses informasi yang positif, namun sulit atau bahkan tidak bisa mengakses informasi yang negatif, semisal konten kekerasan, pornografi, dan konten yang tidak mendidik lainnya.

Ketiga, mengembangkan ujian lisan. Selama ini Ujian Nasional di tingkat SD, SMP, dan SMA lebih menitikberatkan pada ujian tulis. Mengambil opsi ujian tulis, memang mengharuskan peserta didik berkumpul di suatu tempat. Karena pemerintah telah menetapkan kebijakan membatasi kerumunan masa (dalam darurat Virus Corona) seperti saat ini, maka pelaksaaan ujian tulis menjadi terkendala.

Namun demikian, ada alternatif lain yang bisa ditempuh oleh dunia pendidikan kita yaitu ujian lisan. Tes lisan/oral tes adalah penilaian yang diberikan secara lisan dan jawaban dari testi (pihak yang diberi tes) juga secara lisan. Biasanya bentuk soal yang diberikan adalah pilihan ganda, uraian terbatas, dan benar- salah (Wahyudin, dkk, 2006). Thoha (2003 : 61) menjelaskan bahwa tes ini termasuk kelompok tes verbal, yaitu tes soal dan jawabannya menggunakan bahasa lisan.

Kita semua harus berjuang, berharap, dan berdoa kepada Ilahi Rabbi, Tuhan seru sekalian alam, agar segera mencabut wabah Covid-19 dari tengah-tengah umat manusia. Dan menyelamatkan umat manusia dari mara bahaya dan kehancuran. Termasuk di antaranya menyelamatkan semua komponen pendidikan di negeri ini, juga para guru, orang tua, dan peserta didik kita semua, generasi penerus dan pelanjut estafet kepemimpinan negeri dan bangsa ini. Semoga perlindungan, pertolongan, dan ridha-Nya senantiasa menyertai kita semua. Wallahu a’lam.

*) Guru SDN Pulorejo Kecamatan Tembelang Kabupaten Jombang
Lebih baru Lebih lama