JOMBANG – Di tengah angka penularan Covid-19 terus merangkak naik, ternyata juga diikuti dengan tingginya angka perceraian di Kabupaten Jombang. Hal itu diungkapkan Kepala Seksi Pendidik dan Tenaga Kependidikan SD, Bidang Pembinaan Ketenagaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang, Abdul Majid, S.Psi.

Dia mengatakan, selama kurang lebih empat bulan terakhir, pengajuan pelaporan percerain di lingkup pendidik Kota Santri cukup tinggi. “Sekitar duapuluh pengajuan yang kini telah diproses. Sejauh ini masih menunggu kelengkapan administrasi yang kurang,” tutur Abdul Majid.

Ditambahkan pria berkacamata ini, proses perceraian itu memang cukup lama, setidaknya memerlukan waktu lebih kurang lima bulan. Ditambah bagi pendidik yang telah memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP), maka wajib ada kelegalan permohonan izin kepada pejabat terkait. Jika tidak, maka akan dikenakan sanksi berat, hingga pemecatan tidak hormat.

Anggapan negatif terhadap perempuan dalam proses perceraian. Memang kebanyakan yang mengajukan perceraian adalah dari pihak perempuan, tetapi semua pasti ada sebabnya. Tidak sekadar mengajukan perceraian, karena sangat disayangkan kalau sampai biduk rumah tangga berakhir.

Sementara itu Direktur Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah, S.H.I mengakui selama kurun waktu lima bulan terakhir angka perceraian terbilang tinggi dibanding tahun sebelumnya. Dari data yang dihimpun oleh WCC pada Maret 2020 ini mencapai 17 kasus.

“Tidak semuanya karena pandemi, memang kebetulan bersamaan penularan Covid-19 yang semakin marak di Indonesia dan Jombang,” terang Ana Abdillah.

Anggapan Keliru

Lebih lanjut, Ana Abdillah juga menyoroti anggapan negatif terhadap perempuan dalam proses perceraian. Memang kebanyakan yang mengajukan perceraian adalah dari pihak perempuan, tetapi semua pasti ada sebabnya. Tidak sekadar mengajukan perceraian, karena sangat disayangkan kalau sampai biduk rumah tangga berakhir.

Baca Juga: Mama Gowes Bersepeda Tetap Cantik


“Latarbelakang dari beberapa kasus perceraian memang persoalan ekonomi yang tidak stabil, hal itu disebabkan karena adanya perselingkuhan,” terang Ana Abdillah.

Berawal dari perselingkuhan akhirnya tanggungjawab suami sebagai kepala rumah tangga dan mencari nafkah tidak terpenuhi. Kebutuhan hidup sehari-hari pada akhirnya terbengkalai. Berangkat dari situ seolah stigma yang muncul pihak perempuan tertuduh.

Sedangkan kalau terdampak pandemi hingga dipecat atau gulung tikar usahanya, pihak perempuan bisa berdamai dan menerima penghasilan suaminya walaupun terbilang kurang. “Di sisi lain beragam upaya tetap dilakukan untuk memperoleh penghasilan,” pungkas Ana Abdillah.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y./Istimewa
Lebih baru Lebih lama