NASIONAL – Usia organisasi yang panjang, merupakan bukti bahwa organisasi tersebut telah menjadi bagian hidup masyarakat. Menubuh dan mendarah daging ialah istilah yang tepat untuk menggambarkan realitas sosial budaya masyarakat Nahdatul Ulama. Sejak pendiriannya pada tahun 1926, Nahdatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan masih senantiasa hadir memberi tauladan lewat pemikiran para founding father. Tepat pada 8 Februari 2021, dalam rangka memperingati hari lahir Nahdatul Ulama, Kiai Wahab Foundation bersama PCNU Jakarta Pusat mengadakan Webinar Nasional yang mengusung tema, KH. Abdul Wahab Chasbullah : Peran dan Pemikiran dalam Konteks Kekinian.

Dalam webinar yang dihadiri oleh Ketua Lesbumi NU KH. Agus Sunyoto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Ali Munhanif, M.A., Ph.D dan Wakil Sekertaris Jendral PBNU, Suwadi D. Pranoto, ketiganya yang berlaku sebagai pembicara tersebut, masing-masing mengungkapkan perspektif yang berbeda. Namun masih dalam konteks yang sama, yakni mendedah pemikiran serta nilai-nilai perjuangan Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang dimulai sejak era Kolonial Hindia-Belanda sampai pasca Kemerdekaan.

Pada awal pendiriannya, konsep pendidikan pesantren yang bercorak tradisional justru lebih akrab dan terbuka dengan pengetahun di berbagai bangsa.

Ketua Lesbumi NU, KH. Agus Sunyoto mengungkapkan bahwa lahirnya ide-ide keberagaman atau pluralisme, pada dasarnya lahir dari embrio pendidikan pesantren. Dimana corak pendidikan pesantren yang mewajibkan para santri untuk mempelajari berbagai kitab-kitab hasil pemikiran ulama di lintas negara bahkan benua, membuat para santri begitu beragam luas pengetahuannya.

“Pada awal pendiriannya, konsep pendidikan pesantren yang bercorak tradisional justru lebih akrab dan terbuka dengan pengetahun di berbagai bangsa. Karena di dasari oleh bahan pembelajaran berupa kitab-kitab yang banyak ditulis oleh lintas ulama antar bangsa, maka inilah yang menjadi dasar lahirnya pemikiran plural di kalangan santri,” papar penulis buku Atlas Walisongo tersebut.

Baca Juga: Sisi Gelap Jombang

Lebih lanjut, pria berpeci tersebut menambahkan bahwa fitrah perjuangan Kiai Abdul Wahab Chasbullah sudah dimanifestasikan jauh sebelum Nahdatul Ulama resmi berdiri pada tahun 1926. Sikap yang mudah menerima perbedaan pandangan dan pendapat, juga memudahkan Kiai Abdul Wahab Chasbullah dalam menegakkan panji-panji kebangsaan dengan nafas islam yang ramah.

Dari perspektif pemikiran dan perjuangan Kiai Abdul Wahab Chasbullah, pendapat berbeda dikemukakan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Ali Munhanif, M.A. Ph.D. Dalam pandangannya, peran Kiai Abdul Wahab Chasbullah tidak sebatas pada ranah pemikiran, namun juga praktik berorganisasi.

Sementara itu, di akhir sesi diskusi, pemaparan dari Wakil Sekertaris Jendral PBNU, Suwadi D Pranoto juga tak kalah menariknya. Suwadi menambahkan bahwa, pergaulan dan bahasa komunikasi organisasi Kiai Wahab Chasbullah tidak hanya tersentrl di Pulau Jawa. Dari beberapa arsip, manuskrip lama, banyak mencatatkan nama Kiai Wahab Chasbullah sebagai konsolidator ulung.

Dalam webinar nasional yang berlangsung selama dua jam tersebut, tidak banyak menyinggung mengenai buku yang diluncurkan yakni, Pluralitas Dalam Bingkai Nasionalisme. Meski demikian, tidak mengurangi esensi dari peringatan Harlah NU ke 95 yang tidak bisa dilepaskan dari memori perjuangan Kiai Abdul Wahab Chasbullah.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama