BARENG – Ditemani rintik gerimis yang mengguyur sejak siang, (11/2) pada pukul 19.30 WIB, saya bertandang ke kediaman Mujiono atau yang lebih akrab dikenal dengan Man Muji oleh masyarakat Desa Mojounggul Kecamatan Bareng. Pria kelahiran 12 Agustus 1951 ini, sekilas tidak jauh berbeda dari pria sebayanya.

Nampak tua dengan ciri khas uban yang semakin menebal. Namun ketika tiba di halaman depan kediamannya dan bersalaman, saya menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Genggaman tangannya kuat dan erat, ditambah otot-otot di tangannya yang kekar, seolah menegaskan bahwa usia hanya angka, akan tetapi semangat dan daya juangnya tidak kalah dengan kawula muda.

Setelah bersalaman dengan Man Muji, saya dipersilahkan duduk di bale dan menikmati suguhan jamu rempah hangat. Lepas meminum satu dua teguk jamu rempah hangat tersebut, kakek dari tiga orang cucu tersebut menceritakan masa mudanya yang gandrung bertanding ujung. Bagi generasi milenial ujung mungkin sudah menjadi suatu yang asing. Akan tetapi, bagi generasi Man Muji, ujung ibarat sebuah palagan, dimana dua laki-laki dipertemukan untuk saling adu keberanian, keluwesan serta ketepatan dalam bertahan, menahan sabetan rotan.

“Ujung bukan soal menang kalah, namun yang terpenting adalah keberanian dan persaudaraan.”

“Ujung termasuk seni tradisi yang mengandalkan keberanian. Meski dalam bentuk pertandingan, namun sisi seninya bisa dilihat dari musik dan tarinya. Dalam Seni Tradisi Ujung, saat bergantian menyabetkan rotan, harus diselingi dengan irama kendang dan berjoget. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur tempo sekaligus mempersiapkan kembali mental pemain,” ungkap Man Muji.

Kakek dari tiga orang cucu ini berkisah, Seni Tradisi Ujung sendiri masih belum pasti siapa dan kapan mulai dipertandingkan. Dia hanya mengingat dari penuturan para pendahulunya bahwa kesenian yang didominasi kaum pria ini, sudah dipertontonkan sejak periode sebelum kemerdekaan dan sempat mati suri pasca peristiwa G-30S.

“Seni Tradisi Ujung di Jombang, khususnya wilayah Bareng sudah dimulai sebelum masa kemerdekaan, dan dulu tidak terbuka, sebab ketika tentara kolonial Hindia-Belanda tahu ada tontonan ujung. Maka yang bertanding akan dibawa sebab dikiranya orang sakti dan kebal,” urainya.

“Dan setelah masa Kemerdekaan, ujung kembali banyak dipertontonkan untuk memeriahkan semangat Proklamasi. Namun menginjak periode 1965, kesenian yang sarat akan goresan luka ini terhenti total akibat polarisasi politik di tubuh masyarakat. Baru pada 1969 digalakkan kembali secara besar-besaran oleh Camat Bareng sampai penghujung 1980-an,” tutur Man Muji.

Simbol Keberanian dan Perekat Persaudaraan

Dari kilas balik dan pasang surut Seni Tradisi Ujung dari periode sebelum kemerdekaan sampai penghujung 1980-an, Man Muji masih ingat betul awal mula dirinya terpacu secara mental untuk memasuki arena ujung dan berduel secara sportif. Semua dia awali dari kegemarannya menyaksikan keseruan duel para lelaki dewasa, saling menyabet rotan serta berjoget dengan diiringi alunan kendang dan jidor.

Baca Juga: Desa Senden, Kecamatan Peterongan Jejak Kesaktian Ki Singosetro dan Dewi Pucung Sari

“Dulu saya dan teman-teman sepermainan, hampir tidak pernah absen untuk menyaksikan Seni Tradisi Ujung, utamanya di wilayah Kecamatan Bareng. Dari kegemaran itulah saya akhirnya memutuskan untuk berlatih ujung bersama teman teman. Ketika berlatih ujung di usia 15 tahun, bagian punggung saya lindungi dengan karung goni, agar tidak luka,” ungkapnya sambil tersenyum lebar.

Setelah gigih berlatih teknik dan fisik sejak usia anak-anak, dan ketika memasuki usia remaja, Man Muji mulai menjajal laga perdanananya pada 1971 di Desa Jambangan. Masih segar dalam ingatannya, dari laga perdananya tersebut dia mendapat uang saku sebesar Rp 7.500.

“Jadi dalam Seni Tradisi Ujung sendiri, tidak ada yang kalah dan menang, semua mendapat kesempatan memukul 4 kali dengan porsi seimbang sekaligus lawan yang sepadan. Awalnya saya juga grogi, karena disaksikan banyak orang dan beradu ketangkasan dalam memukul dan menangkis sabetan rotan. Walhasil saya tetap nekad, dan hasilnya bekas lukanya masih ada sampai sekarang, dan uang saku dari yang memiliki hajat tersebut, saya belikan es dawet bersama teman-teman,” paparnya sembari tertawa.

Perihal hajat dan kaitannya dengan Seni Tradisi Ujung, Man Muji menjelaskan bahwa seni tradisi yang digelar lewat sajian pertandingan duel saling sabet rotan ini, pada perkembangannya khusus untuk menunaikan nazar. Sekalipun digelar diluar penunaian nazar, hanya boleh dipertontokan saat sedekah desa maupun hari kemerdekaan.

Menurut Man Muji, seni tradisi ujung di Jombang ataupun di daerah lain, memiliki karakteristik yang berbeda dari segi aturan mainnya. Ada yang bebas memulai sabetan, ada juga yang harus menunggu kesiapan lawan sembari berjoget dan memasang kuda-kuda. Semua ini memiliki muara yang sama, yakni sebagai perwujudan nazar ataupun meminta hujan ketika kemarau panjang.

Dulu ketika Man Muji masih remaja, ketika gelaran ujung berlangsung di siang hari, dan tak lama kemudian hujan mengguyur dengan derasnya, memang ini sebagai salah satu nilai sakral yang terkadung dalam seni tradisi itu.

“Selain itu yang tak kalah pentingnya ialah, menanamkan tali persaudaraan di setiap pagelaran seni tradisi ujung. Ini menjadi penting, sebab dari tradisi inilah antar masyarakat dulu bersatu padu, tidak sampai terjadi dendam ketika ujung selesai dipertontonkan,” jelas Man Muji.

Malam semakin larut, pria paruh baya ini masih asyik mengungkapkan seluk-beluk seni ujung yang menjadi pembentuk identitas generasinya di Wilayah Kecamatan Bareng. Man Muji menambahkan bahwa pagelaran ujung paling menegangkan yang dia ikuti ialah, ketika bilah-bilah rotan yang dipakai sebagai peralatan wajib bagi para peserta harus direndam dengan air cabai selama seharian penuh.

“Dulu memang sering, untuk menambah keberanian para peserta ujung, rotan sepanjang satu meter yang dipakai, mesti direndam dengan air cabai terlebih dahulu. Ini dimaksudkan untuk memberi sensasi panas pada rotan. Meski begitu dari awal 1960-an, seni tradisi tersebut sudah memperhatikan keselamatan pesertanya, dengan wajib memakai pelindung kepala dari topi ataupun peci,” kata Man Muji berkisah.

Dari beberapa laga yang diikuti Man Muji, terbanyak adalah mendapat uang saku sebesar Rp 10 ribu rupiah. Hal itu terjadi pada 1985. Uang yang didapat ini dari si punya nazar ataupun dari desa, jika digelar saat sedekah desa.

“Jadi jumlah peserta ujung ketika gelaran berlangsung memang spontan, hanya bermodal keberanian dan dana dari si pemilik nazar, semakin besar semakin banyak pesertanya. Dan berlaku sebaliknya. Tahun 1985 adalah periode terakhir bagi saya dalam unjuk kebolehan memainkan rotan, sesudahnya saya gantung rotan karena pekerjaan,” kenang Man Muji tersenyum.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama