NASIONAL - Setiap tahun, perayaan Idul Fitri atau 1 Syawal jatuh pada tanggal yang berbeda. Perbedaan sistem penanggalan yang dipakai di kalender Masehi dan kalender Hijriah menjadi alasannya.

Melansir laman platform edukasi Zenius Education, sekitar 10.000 tahun yang lalu, belum ada orang yang mengetahui tentang konsep hari, bulan maupun tahun. Setiap hari, manusia diperkirakan melakukan kegiatan yang sama, seperti berburu dan mencari tumbuhan untuk dimakan.

Namun, seiring dengan hewan buruan yang bermigrasi di waktu tertentu, tanaman tidak tumbuh karena pergantian cuaca, dan perubahan siklus alam lainnya, menyebabkan manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan seperti biasa. Perubahan kondisi tersebutlah yang membuat manusia mulai menyadari ada sebuah siklus yang berulang. Sehingga, pada saat itulah konsep tahun mulai muncul.

Menjadi cikal bakal sejumlah negara membuat sistem penanggalan masing-masing, mulai dari Mesipotamia, Arab, Maya hingga daratan Cina. Sistem penanggalan tersebut ada yang menggunakan fenomena terbit dan tenggelamnya matahari (solar), ada yang berbasis pada siklus penampakan bulan (lunar) dan ada juga menggabungkan keduanya (luni-solar). Sehingga, masing-masing negara punya tolak ukur dan indikator yang berbeda-beda dalam menjelaskan pola siklus alam yang begitu misterius pada waktu itu.

Perbedaan Penanggalan Sesuai Benda Langit yang Digunakan

Lunar atau bulan
Sistem ini berbasis revolusi bulan mengelilingi Bumi. Sistem ini yang paling sederhana dan diduga dipakai pertama kali oleh peradaban peradaban awal. Keunggulannya adalah mudah diterapkan oleh tiap orang, karena hanya melihat perubahan bentuk bulan di langit tiap malam.

Ada saatnya bulan berbentuk bulat sempurna (purnama), ada saatnya bulan separuh, bulan sabit, sampe ada malam ketika bulan tidak nampak sama sekali (bulan mati). Perubahan tampilan dari bulan itu terjadi akibat dari revolusi bulan mengelilingi Bumi. Fase antara bulan mati (tidak terlihat sama sekali) sampai ada secercah cahaya tipis dari pantulan sinar matahari pada bulan yang membentuk sabit itulah yang disebut Hilal.

Perubahan penampakan dari bulan ini yang adalah fenomena yang paling mudah terlihat dan konsepnya cukup sederhana sehingga diduga dipakai pertama kali oleh peradaban-peradaban awal di berbagai belahan dunia seperti Babilonia di Sumeria (sekitar 1800 SM). Pada jazirah Arab Pra-Islam (pada masa Agama Islam belum ada di Arab), peradaban manusia di daerah itu sudah menggunakan sistem bulan yang dimodifikasi.

Ada 12 bulan dalam penanggalan Arab. Tidak mengherankan bila nama-nama bulannya sama dengan Kalender Islam Hijriah.

1. Muharram: 30 hari
2. Safar: 29 hari
3. Rabiul Awal: 30 hari
4. Rabiul Akhir: 29 hari
5. Jumadil Awal: 30 hari
6. Jumadil Akhir: 29 hari
7. Rajab: 30 hari
8. Sha’ban: 29 hari
9. Ramadan: 30 hari
10. Syawal: 29 hari
11. Dhulqaidah: 30 hari
12. Dhulhizah: 29/30 hari

Totalnya hari pada penanggalan ini hanya 354 hari, berbeda dengan kalender Masehi yang sehari-hari dipakai yakni 365 hari. Artinya, pada jaman itu manusia berpikir bahwa siklus alam kembali pada titik awal dalam tempo waktu 354 hari, sedangkan sistem Gregorian/Masehi yang umum dipakai sekarang menginterpretasikan bahwa perubahan siklus alam akan kembali pada titik awal pada 365 hari.

Untuk peradaban yang tidak bergantung pada pertanian, hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Sayangnya, di peradaban yang menggantungkan pada perubahan musim untuk menentukan kapan menanam dan kapan memanen, ini menjadi masalah besar. Sehingga, mulailah beberapa peradaban melibatkan benda langit lainnya, yaitu Matahari.

Solar Atau Matahari
Matahari awalnya dipakai hanya untuk siklus harian. Ketika matahari terbit dan tenggelam disebut siang, sedangkan waktu "ketiadaan" Matahari antara matahari tenggelam dan terbit disebut malam, dan gabungan keduanya disebut dengan 1 hari. Namun ketika fenomena terbit/tenggelamnya matahari ini digunakan untuk melakukan perhitungan siklus jangka panjang, ternyata tidak akurat.

Sehingga, sistem solar itu tidak disadari oleh manusia karena pola pergerakannya tidak mudah terlihat. Sampai pada suatu ketika manusia sadar bahwa pergerakan terbit/tenggelamnya matahari itu tidak berulang pada orbit yang sama. Hal itu disadari ketika para pendeta yang tinggal di kuil-kuli seperti di Tenothlican, Thebes dan Acropolis, mulai melihat jalur matahari di langit lewat bayangan patung dan pilar-pilar di kuil.

Para pendeta ini melihat bahwa posisi Matahari di langit dapat menunjukan musim dengan lebih tepat dibanding kalender sistem bulan. Sistem Solar membagi 1 tahun langsung dengan 365 posisi Matahari di langit. Kenapa 365 hari? Karena setelah angka tersebut, matahari kembali di posisi awalnya. Selain dapat melihat posisi matahari, Analemma juga dapat melihat pergantian musim. Dengan melihat pola pergerakan matahari sepanjang tahun, mereka bisa memprediksi datangnya Musim Panas, Gugur, Dingin dan Musim Semi.

Jadi, manakah yg dipakai? Kalender bulan yang mudah diamati tapi akurasinya rendah atau kalender matahari yang sulit diamati tapi dengan akurasi yang lebih tinggi? Jawabnya adalah kedua-duanya, kompromi antara pragmatisme dewi bulan dan akurasi dewa matahari.

Luni-Solar (Bulan dan Matahari)
Luni Solar seperti pada namanya adalah gabungan antara siklus bulanan dan siklus matahari. Konsepnya adalah dengan melihat tanggal berdasarkan perubahan penampakan bulan, tapi sekaligus dikalibrasi (interkalasi) dengan perubahan posisi matahari untuk melihat perubahan musim dalam sirkulasi tertentu (1 tahun).

Baca Juga: KMD Kwaran Kecamatan Mojowarno Melahirkan Pembina Pramuka

Contoh interkalasi yang terkenal digunakan adalah pada peradaban arab Pra-Islam dan pada kalender Yahudi. Pada kalender bulan yang digunakan oleh peradaban Arab sebelum Islam, pada satu tahun terdapat sekitar 354 hari, sedangkan jumlah hari 1 revolusi Bumi ke matahari adalah 365 ¼ hari. Ada selisih 11 ¼ hari tiap tahunnya, yang membuat kalender bulan selalu tertinggal. Inilah yang menyebabkan tanggal di tahun Hijriah selalu bergeser pada penanggalan Masehi.

Metode untuk menentukan Hari Raya Idul Fitri

Penentuan Hari Lebaran bisa didasarkan pada 2 metode, yaitu:

Metode Pengamatan
Pada tanggal 29 Ramadhan, pada waktu senja akan banyak orang yang mengamati bulan. Jika adanya Hilal, yaitu bentuk bulan sabit tipis di cakrawala, menandakan esok harinya adalah 1 Syawal yang berarti jatuhnya hari raya Idul Fitri. Akan tetapi, jika kita tidak dapat melihat Hilal, maka esok harinya belum 1 Syawal melainkan jadi tanggal 30 Ramadhan.

Itulah yang menyebabkan interpretasi hari Lebaran bisa berbeda-beda antar para pengamat. Tetapi ada interpretasi yang berbeda antar pengamat yang menggunakan metode ini. Pasalnya, beberapa kaum ulama melarang penggunaan alat bantu teleskop, binokular dan teleskop infra merah.

Kesaksian yang sah, kata sebagian kaum ulama dianggap sebagai kesaksian dengan mata telanjang, akibatnya proses pengamatan bisa menjadi lebih sulit. Kendati demikian, banyak pendapat di kalangan ulama yang sudah memperbolehkan pemakaian alat bantu tersebut.

Metode Perhitungan
Metode yang kedua untuk penentuan hari adalah dengan cara Hisab atau perhitungan, yaitu menghitung waktu rata-rata bulan untuk mengitari Bumi, dan ditetapkannya sebagai 1 bulan Hijriah. Hingga saat ini, metode perhitungan ini juga mendapat banyak tentangan di kalangan ulama, sebab dinilai punya kelemahan, dari pertentangan sideris dan sinodis.

Dengan kata lain, Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal bisa jatuh pada tanggal berbeda tiap tahun, bahkan di tahun yang sama bisa berbeda hari, karena bergantung pada metode yang digunakan.

Sumber/Rewrite: kompas.com/Tiyas Aprilia

Lebih baru Lebih lama