JOGOROTO – Akulturasi budaya di Indonesia seolah tidak pernah surut untuk terus dikaji dan diperbincangkan. Jenisnya pun beragam, mulai dari warisan budaya benda hingga tak benda. Keduanya menggurat nadi dalam kebudayaan masyarakat, tidak terkecuali yang juga tumbuh di Kota Santri ini. Salah satu wujud bangunan musala beraksitektur Tionghoa yang berada di Dusun Dongeng, Desa Jarak Kulon, Kecamatan Jogoroto.

Diutarakan oleh pendiri musala bergaya arsitektur Tionghoa ini, Hj. Sulani, bahwa musala ini berdiri di lahan pribadi milik keluarga besarnya tersebut merupakan hasil renovasi yang dilakukan oleh kedua anaknya. Renovasi yang dilakukan sejak dua tahun belakangan ini memang mencuplik corak arsitektur Masjid Ceng Ho. Hal itu lantaran menjadi simbol akulturasi Tionghoa-Islam, sebab berkaitan dengan latarbelakang keluarga besarnya yang juga berstatus keturunan Tionghoa namun beragama Islam.

“Musala ini merupakan hasil renovasi dari kedua anak saya. Sengaja dipercantik dengan perpaduan Budaya Tionghoa, karena tersinpirasi dari Masjid Ceng Ho.”

“Keluarga besar kami memang Tionghoa, dan sebelum menjadi seorang muslim sepeninggal suami saya. Uniknya, kelima anak saya memilih masuk Islam dan atas kesadarannya sendiri sejak duduk di bangku sekolah. Kemudian selang berjalannya waktu, mendiang anak saya yang pertama, H. Irwan Dianto/Poo Sing Bekh mendirikan musala ini pada lima tahun silam. Awalnya, musala tersebut masih bercorak sama laiknya musala pada umumnya, kemudian direnovasi oleh adiknya, yang juga putri saya, Heni Rahmawati/Poo Ling Ling,” tutur Hj Sulani.

Baca Juga: Menatap Yakin Jalankan Sekolah Penggerak

Perempuan kelahiran Kaliwungu tahun 1951 memiliki nama Tionghua Tan Siuw Lan ini menambahkan bahwa musala yang didirikan dengan dana pribadi tersebut memang sengaja diwakafkan bagi masyarakat sekitar. Tujuannya ialah agar musala yang berdiri di lahan seluas satu hektar miliknya ini tidak terkesan eksklusif.



Hj. Sulani menjelaskan, “Sebelum dilakukan renovasi dan diubah atapnya dengan desain arsitektur Tionghoa memang statusnya sudah diwakafkan. Mengingat anak-anak saya semuanya, mengikuti suami dan istrinya di Surabaya. Mengingat tak akan ada ruginya juga kalau mampu berbuat baik dan menolong sesama. Demikian dengan musala ini, dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosial maupun keagamaan.”

Penjaga musala sekaligus rumah keluarga besar Tan Siuw Lan, Diwas Setiawan juga merasakan manfaat dari musala yang didirikan oleh mendiang H. Irwan Dianto dan Heni Rahmawati. Karena terbuka untuk siapa pun yang berkenan melakukan peribadatan.



“Selain itu pula dijadikan tempat beteduh sekaligus beristirahat bagi masyarakat yang sedang melakukan perjalanan. Mengingat letaknya yang cukup strategis berada di Jalan Raya Dusun Dongeng dan bersebelahan dengan Puskesmas Desa Jarak Kulon,” kata Dimas Setiawan.

Dimas menambahkan, meski nuansa budaya Tionghoa masih kental, namun tidak mengurangi antusias masyarakat sekitar untuk salat berjamaah. Artinya, masyarakat sudah menerima keberagamaan sebagai identitas budaya di lingkungannya.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama