Pemantik Diskusi, Chamim Kohari saat menguraikan pendapatnya mengenai Antologi Puisi Santri Celeng. (Donny)


JOMBANG – Ketika pandemi Covid-19 mulai mereda, Selasastra Boenga Ketjil yang dahulunya rutin digelar sebelum serangan virus mematikan itu merundung Jombang akhirnya dapat dilaksanakan kembali pada Sabtu (13/11) di Bale Kopi Rakyat Desa Plandi, Kecamatan Jombang. Di edisi ke 46 ini membedah kumpulan puisi Santri Celeng karya Binhad Nurrohmat dengan dua narasumber yakni Penyair dari Mojokerto, Chamim Kohari dan Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Jombang, Anton Wahyudi, M.Pd.

Hujan yang mendera selama diskusi tak menyurutkan antusias peserta yang hadir. Demikian pun dengan Chamim Kohari yang memaparkan daya kreasi penulisan puisi tak sebatas permainan rima saja. Melainkan ada semiotika yang ditunjukkan oleh Binhad Nurrohmat yang sangat lekat dengan dunia pesantren dengan memberikan aksara pegon pada tiap baitnya.

“Meski diketahui dalam struktur kebahasaan antara Bahasa Arab dan Indonesia berbeda, bukanlah menjadi permasalahan mendasar. Misalkan saja didalam Bahasa Arab dalam struktur kalimatnya pastilah menggunakan jumlah Ismiyah dan Fi’liyah. Demikian pun dalam kesusastraanya tentunya beda. Tetapi langkah ini bisa jadi akan mengilhami penyair lain dalam mengembangkan kreatifitasnya,” jelas Chamim Kohari.

Dipilihnya salah satu judul antologi puisi ini Santri Celeng dikemukakan Binhad Nurrohmat berangkat dari kisah perjuangan KH. Ahmad Rifa’i.

Sebaliknya, Anton Wahyudi melihat antologi (baca: Kumpulan) puisi Santri Celeng ini ternyata kalau ditelaah merenik, keseluruhan terdapat 222 kata, 53 larik, dan setebal 24 halaman. Selain itu tak terasa gelap, sebab penulis mengejawantahkan maksud daripada setiap puisi secara gamblang.

Anton Wahyudi mengatakan, “Kerap penyair memilih menyembunyikan makna sebenarnya dari puisi tersebut. Sehingga membuat pembaca menduga-duga dengan pelbagai tafsir terkait suatu puisi. Tetapi tidak didalam himpunan puisi Santri Celeng ini. Membuat pembaca tak dibiarkan memiliki imaji yang terlampau jauh, sebab sudah sangat jelas sekali maknanya.”

Baca Juga: Sejarah Hari Ibu Nasional

Puisi didalam Santri Celeng ini termasuk dalam jenis puisi epos, imbuh Anton Wahyudi. Hal itu dapat dilihat mengambil tema-tema kepahlawanan perjuangan para kyai. Baik ketika melawan tentara kolonial Hindia-Belanda ataupun perjuangan mendirikan pondok pesantren bagi para santri.

Dipilihnya salah satu judul antologi puisi ini Santri Celeng dikemukakan Binhad Nurrohmat berangkat dari kisah perjuangan KH. Ahmad Rifa’i. Seorang kyai mashyur kelahiran Kendal, Jawa Tengah yang menghabiskan sisa usianya menjadi tahanan Hindia-Belanda dan mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 2004.

Suasana Selasastra yang bertempat di Bale Kopi Rakyat Desa Plandi pada Sabtu (13/11). (Donny)

“Kegigihan KH. Ahmad Rifa’i ini sendiri juga tercermin dalam sikap beliau yang selalu menuliskan syair sebagai syiar agama di masyarakat menggunakan Bahasa Jawa. Atas sikapnya inilah, pihak Hindia-Belanda merasa dalam ancaman, sebab bahasa yang digunakan KH. Ahmad Rifa’i mudah dimengerti dan diterima masyarakat. Membuat sang kiai diasingkan ke Manado, sementara santri dan masyarakat pengikutnya mendapat stigma dengan sebutan celeng,” tandas Binhad Nurrohmat.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama